Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

Keberlanjutan dan Perubahan Pakarena Paolle Sukman, Fifie Febryanti
Journal of Urban Societys Arts Vol 12, No 1 (2012): April 2012
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kehadiran Tarian Paolle dalam masyarakat Bantaeng merupakan latar belakangkebiasaan yang mengikuti tradisi leluhur mereka yang dilakukan sejak zaman dahulumelalui upacara adat yang memiliki Paolle Dance di dalamnya. Perubahan dari segibentuk Tarian Paolle terletak pada seorang penari, tempat, dan kostum. Para penariPaolle hari ini juga berbeda dari penari pertama pada zaman Kerajaan Paolle. Sepertipada hari-hari tertentu, para penari Raya Paolle adalah gadis remaja yang masihdalam keadaan suci atau tidak menstruasi, di saat para penari menjadi orang tua,mereka memiliki banyak pengalaman hidup dalam menari, sebuah praktik yangpada awalnya merupakan milik kerajaan, yang dapat dipilih dan dilihat oleh publikdi lapangan. Kostum atau pakaian yang digunakan para penari adalah irisan hitambodo yang sangat tipis dan sekarang hal itu berubah menjadi merah. KeberlanjutanTarian Paolle di masa sekarang harus dilihat dalam pernikahan atau baby shower.Masyarakat Bantaeng masih menunjukkan tarian ini dalam siklus hidup, misalnya,dalam acara pernikahan, sunat atau hanya berfungsi sebagai hiburan Tarian Paolle. Continuities and Changes of Pakarena Paolle. The background presence of PaolleDance in Bantaeng societies is a habit that follows the customs of their ancestors whohave practiced them since the time immemorial through the traditional ceremony that hasPaolle Dance in it. Changes in terms of the shape of Paolle Dance depend on a dancer,a venue, and costumes. Today’s Paolle Dancers are also different from the first dancers inKingdom era of Paolle. On the days of the Kingdom Paolle, dancers were teenage girls whowere still in a state of purity or not menstruation, but now dancers are the parents becausethey have a lot of life experiences in dancing, a practice that was originally familiarizedin the kingdom can be seen by the public in the field. Costume outfit that used a very thinblack wedge of bodo now turns into red. Paolle Dance sustainability in the present can beseen in a wedding ceremony or a baby shower. Bantaeng societies still show this dance intheir life cycle e.g. marriage, circumcision, or they have done a tinja’, it only serves as anentertainment in the form Paolle Dance.
EKSISTENSI AKKAWARU, UPACARA ADAT KEPERCAYAAN DI BUTTA TOA KABUPATEN BANTAENG Fifie Febryanti Sukman
Puitika Vol 14, No 1 (2018)
Publisher : Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/puitika.14.1.25--38.2018

Abstract

Belief in traditional ceremony can not be separated in a community system. The existence now serves as a tool for people to engage in activities related to various beliefs or religions. The purpose of this research is to know Akkawaru ceremonial procession procession in Bantaeng Regency, South Sulawesi. This research uses a qualitative method. Data collection techniques in this research consisted of direct observation and in-depth interviews. Data analysis technique used is an interactive analysis model that includes four components of data collection, data reduction, data presentation and conclusion. Based on the results of research that has been done can be concluded Akkawaru is a ceremony of customs to reject the reinforcement has become one of custom trust that can not be separated from community life in Bantaeng Regency. Keywords: traditional ceremony, Akkawaru, Butta Toa
TARI SEUDATI INONG SEBAGAI WUJUD REPRESENTASI KESETARAAN GENDER DIKABUPATEN ACEH BESAR Nadra Akbar Manalu; Fifie Febryanti Sukman
Gorga : Jurnal Seni Rupa Vol 9, No 2 (2020): Gorga : Jurnal Seni Rupa
Publisher : Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24114/gr.v9i2.20673

Abstract

AbstrakAceh erat kaitannya dengan syariat Islam. Kesenian dimanfaatkan sebagai media dakwah untuk mensyiarkan agama Islam kepada seluruh masyarakat diberbagai wilayah Provinsi Aceh. Tari Seudati Inong merupakan tarian tradisonal masyarakat Aceh yang ditarikan oleh perempuan dan gerakannya merupakan imitasi dari Tari Seudati yang ditarikan oleh laki- laki. Tari Seudati Inong biasa juga disebut sebagai Tari Laweut, tarian ini berkembang di pesisisr utara hingga timur daerah Aceh dengan menggambarkan semangat, perjuangan dan doa-doa dalam syair tari tersebut. Tujuan dalam penelitian ini membahas bagaimana bentuk tari Seudati Inong di Kabupaten Aceh Besar dan mengetahui bagaimana tari Seudati Inong sebagai wujud reperesentasi kesetaraan gender di Kabupaten Aceh Besar. Pengumpulan data dan penelitian dilakukan dengan beberapa tahap seperti tinjauan pustaka untuk mendapatkan berbagai informasi tertulis, observasi, wawancara dan dokumentasi untuk mengamati secara langsung perkembangan dan pristiwa yang terjadi dilapangan dan lokasi penelitian berada di Desa Cucum, Kecamatan Kota Jantho, Kabupaten Aceh Besar. Data-data yang telah didapatkan kemudian dianalisa sehingga menghasilkan hasil penelitian lalu disajikan ke dalam bentuk deskriptif. Tari Seudati Inong merupakan salah satu wujud dari representasi kesetaraan gender yang telah ada sejak zaman dahulu. Mengingat Aceh yang merupakan daerah dengan syariat Islam, tarian ini muncul dan berkembang ditengah masyarakat dengan wujud representasi kesetaraan gender, gerakkan tarian dari tari Seudati yang dilakukan oleh laki-laki dan saat ini dengan perkembangan zaman ditarikan oleh perempuan. Tari Seudati Inong tidak memiliki perbedaan gerak dengan tari Seudati, perbedaan hanya berada pada gerak pukulan tangan dimana laki-laki pukulannya di bagian dada dan perempuan di bagian paha. Pola lantai juga memiliki kesamaan dan juga semangat dari tariannya sama dengan tari Seudati.  Kata Kunci: seudati inong, kesetaraan gender, Aceh.AbstractAceh culture is closely related to Islamic law. Art is used as a medium of preaching to broadcast Islam to all communities in various regions of Aceh Province. Seudati Inong dance is a traditional Acehnese dance that is danced by women and its movement is an imitation of Seudati Dance which is danced by men. Seudati Inong dance, also known as Laweut Dance, is a dance that develops in the northern to eastern coast of Aceh by depicting the spirit, struggle and prayers in the lyrics of the dance. The purpose of this research is to discuss how the Seudati Inong dance form in Aceh Besar District and to find out how the Seudati Inong dance is a form of representation of gender equality in Aceh Besar District. Data collection and research were carried out in several stages such as literature review to obtain various written information, observations, interviews and documentation to directly observe developments and events that occurred in the field and the research location was in Cucum Village, Jantho City District, Aceh Besar District. The data that has been obtained are then analyzed so that the results of the research are then presented in a descriptive form. Seudati Inong dance is a form of representation of gender equality that has existed since ancient times. Given that Aceh is an area with Islamic law, this dance appears and develops in the community with a form of representation of gender equality, moving the dance from the Seudati dance which is performed by men and nowadays it is danced by women. Seudati Inong dance has no different movements with Seudati dance, the only difference is in the motion of the hand strokes where the male punches on the chest and the female on the thigh. The floor pattern also has similarities and the spirit of the dance is the same as that of the Seudati dance.Keywords: seudati inong, gender equality, Aceh. 
Saman dan Bines : Pertemuan Tari Tradisi Pada Peristiwa Budaya Bejamu Saman di Gayo Lues, Aceh Sabri Gusmail; Fifie Febryanti Sukman; Prasika Dewi Nugra
Journal of Education, Humaniora and Social Sciences (JEHSS) Vol 3, No 2 (2020): Journal of Education, Humaniora and Social Sciences (JEHSS) December
Publisher : Mahesa Research Center

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (395.969 KB) | DOI: 10.34007/jehss.v3i2.392

Abstract

Saman and Bines dance is a traditional art from Gayo Lues, a very inherent existence in the supporting community as a dance that is specifically danced by men for Saman and women for Bines. In this article, the author describes the presentation of the arts at the Bejamu Saman cultural event. As a cultural heritage, the presentation of Saman and Bines in Bejamu Saman activities is the focus of research, how to present Saman and Bines in Bejamu Saman cultural events. This research uses qualitative methods, namely data that has been collected in the field regarding the Saman and Bines dance on Bejamu Saman activities and other data related to the object and focus of the research. The data obtained were then analyzed descriptively-analytically with a textual analysis approach. The purpose of this research was to describe the presentation form of the Saman and Bines dance in Bejamu Saman activities. So that the results of this research can be used as supporting material in future Saman and Bines dance research. Understand the differences in the presentation of Saman and Bines as a spectacle and or as a series of cultural activities. Obtain information related to Bejamu Saman, a cultural event of the Gayo Lues community that represents the social identity of the Gayo Lues community in a reflection of the nation's character.
PENERAPAN KONSEP KEPEMIMPINAN DAN KEKUATAN TENGKU CIK TANOH ABEE MELALUI MEDIA GERAK Fitra Airiansyah; Fifie Febryanti Sukman
Gorga : Jurnal Seni Rupa Vol 11, No 1 (2022): Gorga : Jurnal Seni Rupa
Publisher : Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24114/gr.v11i1.29117

Abstract

The process of creating this dance work aims to reconstruct the figure of a warrior and ustadz in Aceh, namely Tengku Cik Tanoh Abee. A familiar story for the people of Aceh Besar is the story of Tengku Cik Tanoh Abee slashing and cutting Bak Leubu (taro leaves) when Tengku Cik Tanoh Abee found out that the Dutch were heading to his place, so all the Dutch were killed. at the Lambaroe Café roundabout. Killing without touching is part of Tengku Cik Tanoh Abee's practice of wisdom in fighting the Dutch colonialists. The process of creating this dance is a form of remembering the figure of leadership and strength by Tengku Cik Tanoh Abee and then becoming the idea or idea of creating this dance work. The method of creating this work consists of 4 stages, namely: exploration, improvisation, evaluation, and formation. The results of this study is that the creation of a work with the title Teulebah contains three scenes, each scene visualizing a figure, leadership and strength by going through the stages of a choreographic approach.Keywords: dance, Tengku Cik Tanoh Abee. AbstrakProses penciptaan karya tari ini bertujuan untuk merekonstruksi sosok pendekar dan ustadz di Aceh yaitu Tengku Cik Tanoh Abee. Kisah yang akrab bagi masyarakat Aceh Besar adalah kisah Tengku Cik Tanoh Abee menebas dan memotong Bak Leubu (daun talas) ketika Tengku Cik Tanoh Abee mengetahui bahwa Belanda sedang menuju ke tempatnya, sehingga semua orang Belanda terbunuh. di bundaran Lambaroe Café. Membunuh tanpa menyentuh adalah bagian dari amalan makrifat ilmu Tengku Cik Tanoh Abee dalam memerangi penjajah Belanda. Proses penciptaan tarian ini merupakan bentuk mengenang sosok kepemimpinan dan kekuatan oleh Tengku Cik Tanoh Abee dan kemudian menjadi ide atau gagasan penciptaan karya tari ini. Metode penciptaan karya ini terdiri dari 4 tahapan yaitu:  eksplorasi, improvisasi, evaluasi, dan pembentukan. Hasil penelitian ini yaitu pembuatan karya dengan judul Teulebah terdapat tiga adegan yang masing-masing adegan memvisualisasikan sosok, kepemimpinan serta kekuatan dengan melalui tahapan pendekatan secara koreografis.Kata Kunci: tari, Tengku Cik Tanoh Abee.Authors:Fitra Airiansyah : Institut Seni Budaya Indonesia AcehFifie Febryanti Sukman : Institut Seni Budaya Indonesia Aceh References:Abdullah, Irwan. (2006). Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Budi Wibowo, Agus dan Faisal. (2014). Kepemimpinan Tradisional di Indonesia (Aceh Besar dan kajang). Aceh: Pemerintah Aceh.Hadi, Y. Sumandiyo. (2007). Kajian Tari Teks dan Konteks. Yogyakarta: Press FSP ISI Yogyakarta.Hadi, Y. Sumandiyo. (2012). Koreografi Bentuk-Teknik-Isi. Yogyakarta: Press FSP ISI.Hidajat, Robby. (2011). Koreografi dan Kreativitas Pengetahuan dan Petunjuk Praktikum Koreografi. Kendil: Cipta Media.Hwakins, Alma. Terj I Wayan Dibia. (2005). Moving From Within, Bergerak Meurut Kata Hati. Yogyakarta: Cipta Media.Juaini, Imam. (2014). Saman di Aceh. Banda Aceh: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya Banda Aceh.Soedarsono. (1985). Elemen-Elemen Dasar Komposisi Tari. Terjemahan dari La Meri. Yogyakarta: Lagaligo.Sukman, F. F., & Gusmail, S. (2020). The Pattern of Vertical Inheritance and the Role of Sheikh in Inheritance System of Ratoeh Bantai Dance in Aceh Province. e-Prosiding Pascasarjana ISBI Bandung, 1(1).
EXISTENCE OF RATOH BANTAI DANCE IN THE STUDIO OF BUANA BANDA ACEH Fifie Febryanti Sukman; Sabri Gusmail
Ekspresi Seni : Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Karya Seni Vol 21, No 2 (2019): Ekspresi Seni : Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Karya Seni
Publisher : LPPMPP Institut Seni Indonesia Padangpanjang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (751.211 KB) | DOI: 10.26887/ekspresi.v21i2.961

Abstract

Ratoh Bantai dance is one of traditional dances from South Aceh that has its unique characteristics. According to its name, Ratoh Bantai uses property that is different from ordinary dances in Aceh province namely pillow. In the past, this dance became the popular dance in the society but the appearance of various dances that are more upbeat and energetic make Ratoh Bantai dance starting to become unpopular in the society. This research took the subject “effort of maintaining the existence of Ratoh Bantai dance. The purposes of this research are to know and describe the effort of maintaining the existence of Ratoh Bantai dance. Research method used is descriptive qualitative method. Data were obtained through observation, interview, and library research. Research result obtained is Buana studio as one of studios that maintain the traditional dance of Ratoh Bantai conducts teaching effort to its protégés in the studio every month so the protégés of Buana studio still know the repertoire of dances in Aceh, especially Ratoh Bantai dance that’s almost forgotten by today young generation. Besides that, this research also described the choreography aspect of Ratoh Bantai dance in Buana studio.        
POWER PEREMPUAN DALAM TRADISI MUSIK BECANANG DI BENER MERIAH Rika Wirandi; Fifie Febryanti Sukman
Gorga : Jurnal Seni Rupa Vol 11, No 2 (2022): Gorga : Jurnal Seni Rupa
Publisher : Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24114/gr.v11i2.40085

Abstract

This study aims to identify and examine the existence and role of women in the bronze musical tradition: becanang in Bener Meriah. The extent of the role of men in Aceh, including various forms of performing arts activities known as Islamic – the becanang music culture has survived for a long time until now with supporters and performers of the culture being women. The importance of this research to be carried out for several reasons and considering the lack of studies on traditional music from a gender perspective to date in Indonesia, especially in Aceh. In addition, the reason for the low interest of traditional music researchers to conduct studies on the presence of women in Indonesian music culture from a gender perspective. This research uses descriptive qualitative research methods using several data collection techniques, including: literature studies and static archives, direct observation, interviews with sources from various backgrounds, documenting object events contextually, to the selection stage to field data analysis. The gender perspective is an analytical perspective that will later be used to look at gender issues in becanang music culture and the role and existence of women in the life of this musical tradition. This study concludes that, becanang can be regarded as entertainment music and music to encourage work whose musical traditions are brought to life by women. All types of traditional music that use canang musical instruments (bronze and bamboo) as well as arts that use the term "canang" are played and brought to life by women and are only spread around the Central, South, and Southeast regions of Aceh Province.Keywords: becanang, women, bener meriah, Aceh. AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui serta menilik keberadaan dan peranan perempuan dalam tradisi musik perunggu: becanang di Bener Meriah. Luasnya peran laki-laki di Aceh, termasuk berbagai bentuk aktivitas seni pertunjukan yang dikenal Islami – kebudayaan musik becanang bertahan sejak lama sampai saat ini dengan pendukung dan pelaku kebudayaannya adalah perempuan. Pentingnya penelitian ini untuk dilakukan atas beberapa alasan serta menimbang masih minimnya sampai hari ini kajian tentang musik-musik tradisional dalam perspektif gender di Indonesia, terutama di Aceh. Di samping itu, alasan rendahnya minat peneliti-peneliti musik tradisional untuk melakukan studi tentang keberadaan perempuan dalam budaya musik di Indonesia dalam perspektif gender. Penelitian ini mengunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dengan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, di antara: studi literatur dan arsip statis, observasi langsung, wawancara dengan narasumber dari berbagai latar belakang, pendokumentasian peristiwa objek secara kontekstual, hingga tahap seleksi hingga analisis data lapangan. Perspektif gender merupakan sudut pendang analisis yang nantinya akan dipakai dalam melihat persoalan gender dalam kebudayaan musik becanang serta peran dan keberadaan perempuan dalam kehidupan tradisi musik tersebut. Penelitian ini menyimpulkan bahwa, becanang dapat dikatakan sebagai musik hiburan dan musik penyemangat bekerja yang tradisi musiknya dihidupkan oleh perempuan. Semua jenis musik tradisi yang menggunakan alat musik canang (perunggu dan bambu) maupun kesenian yang menggunakan istilah “canang” dimainkan serta dihidupkan oleh perempuan dan hanya tersebar di sekitar wilayah Tengah, Selatan, dan Tenggara di Provinsi Aceh.Kata Kunci: becanang, perempuan, bener meriah, Aceh.Authors:Rika Wirandi : Institut Seni Budaya Indonesia AcehFifie Febryanti Sukman : Institut Seni Budaya Indonesia Aceh References:Bungin, B. (2015). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Edisi Kedua. Jakarta: Prenada Media Groups.Hurgronje, C. S. (1996). Tanah Gayo dan Penduduknya. Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS).Hutajulu, R. (2003). Power, Gender, dan Musik pada Masyarakat Batak Toba: Opera Batak sebagai Wadah ekspresi Perempuan. Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, XII. 113-136.Jannah, R. (2020). Sakdiah: Negosiasi Gender dalam Musik Pop Gayo. Semarang: Elsa Press.Koskoff, E. (2014). A Feminist Ethnomusicology: Writings on Music and Gender. Urbana: University of Illinois Press.Manalu, N. A., & Sukman, F. F. (2020). Tari Seudati Inong sebagai Wujud Representasi Kesetaraan Gender Dikabupaten Aceh Besar. Gorga: Jurnal Seni Rupa, 9(2), 367-376. https://doi.org/10.24114/gr.v9i2.20673.Nettl, B. (2012). Theory and Method in Ethnomusicology. Terj. Nathalian H.D.P Putra. Teori dan Metode dalam Etnomusikologi. Jayapura: Jayapura Center of Music.Saraswati, I. (2022). Mencari Perempuan dalam Kritik Kiwari. Serunai.co. https://serunai.co/2019/03/26/mencari-perempuan-dalam-kritik-musik-kiwari/ (diakses tanggal 01 Maret 2022).Wirandi, R., & BP, M. M. (2021). Fungsi Musik dalam Upacara Perayaan Ritual Thaipusam Etnis Hindu Tamil di Banda Aceh. Gorga: Jurnal Seni Rupa, 10(2), 415-422. https://doi.org/10.24114/gr.v10i2.28379.
HIBRIDITAS DALAM PERTUNJUKAN KETOPRAK DOR GRUP RAHAYU CIPTO RUKUN DI KOTA TEKENGON Rika Wirandi; Fifie Febryanti Sukman
Gorga : Jurnal Seni Rupa Vol 12, No 1 (2023): Gorga : Jurnal Seni Rupa
Publisher : Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24114/gr.v12i1.48198

Abstract

This study aims to explain the forms of cultural hybridity in the Ketoprak Dor Rahayu Cipto Rukun performance in Takengon. Historically, Ketoprak Dor is an art brought by the Javanese overseas community who became plantation workers during the colonial period, in Deli, North Sumatra. This art is another form of Javanese ketoprak art that developed in Surakarta and Yogyakarta. The art form and performance of Ketoprak Dor in Takengon has undergone flexing and adjustment so that there are many new local cultural elements blending into the performance packaging, such as language, dialect, story themes, to the music. This research uses descriptive qualitative research methods using several data collection techniques, including: literature studies, online data searches, direct observation, interviews with sources from various backgrounds, documentation of object events contextually, up to the selection stage to field data analysis. This research problem is solved by using a cultural hybridity approach which is one of the postcolonial theories. According to Homi K. Babha, hybridity is when the boundaries of a system or culture become unclear so that the culture experiences a flexion of meaning which in turn experiences an assimilation of cultural space. Babha's view becomes an analytical point of view in observing and reviewing the issue of cultural hybridity in the Ketoprak Dor Rahayu Cipto Rukun performance in Paya Tumpi Village, Takengon. The results of this study found that the hybrid culture in the Ketoprak Dor Rahayu Cipto Rukun performance, there are three aspects: first, the theme of the story; secondly, music and musical instruments; third, language and dialect. This third aspect is also reinforced by the background of the Ketoprak Dor players consisting of Javanese, Gayo and Acehnese ethnicitie.Keywords: ketoprak Dor, hybridity, Java, Takengon. AbstrakPenelitian ini bertujuan menjelaskan bentuk-bentuk hibriditas budaya dalam pertunjukan Ketoprak Dor Rahayu Cipto Rukun di Takengon. Secara historis, Ketoprak Dor adalah kesenian yang dibawa oleh masyarakat perantauan Jawa yang menjadi pekerja perkebunan pada masa penjajahan, di Deli Sumatera Utara. Kesenian ini merupakan bentuk lain dari seni ketoprak Jawa yang berkembang di Surakarta dan Yogyakarta. Bentuk kesenian dan pertunjukan Ketoprak Dor di Takengon telah mengalami pelenturan dan penyesuaian sehingga banyak terdapat unsur-unsur budaya baru yang bersifat lokal membaur ke dalam kemasan pertunjukannya, seperti bahasa, dialek, tema cerita, hingga musiknya. Penelitian ini mengunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dengan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, di antara: studi kepustakaan, penelusuran data online, observasi langsung, wawancara dengan narasumber dari berbagai latar belakang, pendokumentasian peristiwa objek secara kontektual, hingga tahap seleksi hingga analisis data lapangan. Permasalah penelitian ini dijabarkan menggunakan pendekatan hibriditas budaya yang menjadi salah satu teori Postkolonial. Menurut Homi K. Babha, hibriditas adalah ketika batasan-batasan sebuah sistem atau budaya menjadi tidak jelas sehingga budaya tersebut mengalami pelenturan makna yang pada akhirnya mengalami suatu pembauran ruang budaya. Pandangan Babha tersebut menjadi sudut pandang analisis dalam mengamati dan mengulas persoalan hibriditas budaya dalam pertunjukan Ketoprak Dor Rahayu Cipto Rukun di Desa Paya Tumpi, Takengon. Hasil penelitian ini mendapati bahwa hibriditas budaya dalam pertunjukan Ketoprak Dor Rahayu Cipto Rukun, terdapat tiga aspek: pertama, tema cerita; kedua, musik dan instrumen musik; ketiga, bahasa dan dialek. Ketiga aspek ini juga dikuatkan oleh latar belakang pemain Ketoprak Dor yang terdiri dari etnik Jawa, Gayo, dan Aceh. Kata Kunci: ketoprak Dor, hibriditas, Jawa, Takengon. Authors:Rika Wirandi : Institut Seni Budaya Indonesia AcehFifie Febryanti Sukman : Institut Seni Budaya Indonesia Aceh References:Gandhi, L. (2001). Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta: Penerbit Qalam.Gultom, J. (2017). Ketoprak Dor, Hiburan di Tengah Perbudakan Kuli Kotrak. https://medanbisnisdaily.com/news/online/read/2017/09/09/4954/ketoprak_dor_hiburan_di_tengah_perbudakan_kuli_kontrak/ (diakses tanggal 10 Maret 2023).Suroso, P. (2018). Tinjauan Bentuk dan Fungsi Musik pada Seni Pertunjukan Ketoprak Dor. Gondang: Jurnal Seni dan Budaya, 2(2), 66-78. https://doi.org/10.24114/gondang.v2i2.11283.Suyadi, S. (2019). Hibriditas Budaya dalam Ketoprak Dor. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 191-202.https://doi.org/10.14203/jmb.v21i2.817.Wirandi, R., & Sukman, F. F. (2022). Power Perempuan dalam Tradisi Musik Becanang di Bener Meriah. Gorga: Jurnal Seni Rupa, 11(2), 572-580.https://doi.org/10.24114/gr.v11i2.40085. 
REKONSTRUKSI KARYA TARI PAKINANGAN SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN TRADISI ACEH Sukman, Fifie Febryanti; Airiansyah, Fitra; Saputra, Andi Taslim; Arifin, Irfan; Jayadi, Karta
Sureq: Jurnal Pengabdian Masyarakat Berbasis Seni dan Desain Vol 3, No 2 (2024): Juli-Desember
Publisher : Universitas Negeri Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26858/srq.v3i2.69570

Abstract

Penelitian ini membahas rekonstruksi Tari Pakinangan sebagai upaya pelestarian tradisi Aceh, khususnya kebiasaan menginang yang kian terlupakan di masyarakat. Tari Pakinangan dirancang untuk merepresentasikan nilai-nilai sosial, budaya, dan tradisi Aceh melalui pengolahan estetika gerak, konsep penari, musik, properti, serta rias dan busana. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan observasi, wawancara, dan studi literatur. Observasi dilakukan terhadap kebiasaan dan simbolisme tradisi Pakinangan, sementara wawancara melibatkan tokoh masyarakat yang memahami makna budaya tersebut. Studi literatur digunakan untuk mendukung proses analisis data dan pengembangan koreografi. Hasilnya adalah karya tari yang mengangkat aktivitas memakan sirih dan pinang sebagai simbol solidaritas sosial masyarakat Aceh. Musik tradisional, seperti rapa’i dan serune kalee, digunakan untuk memperkuat suasana naratif tarian. Properti yang dipilih, seperti tepak sirih dan dulang, melengkapi koreografi yang estetis dan bermakna budaya. Rekonstruksi ini menunjukkan bahwa sinergi antara lembaga pendidikan dan institusi kebudayaan mampu menciptakan inovasi seni yang relevan sekaligus menjadi media edukasi dan pelestarian budaya. Tari Pakinangan diharapkan dapat memperkenalkan kembali tradisi lokal kepada generasi muda dan masyarakat luas.