Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

TELAAH KOMPILASI HUKUM ISLAM PASAL 173HURUF A TERHADAP PELAKU EUTHANASIA PASIF PERSPEKTIF MAQASHID SYARI’AH Abd Rouf; Zaenul Mahmudi
Muslim Heritage Vol 7, No 1 (2022): Muslim Heritage: Jurnal Dialog Islam dengan Realitas
Publisher : IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/muslimheritage.v7i1.3676

Abstract

AbstractPassive euthanasia is an attempt to hasten death by stopping a treatment or letting a patient die because of a doctor's diagnosis that the patient's disease can no longer be cured. In contrast, in the Compilation of Islamic Law, it is mentioned that determining the obstruction of inheritance with the cause of the disappearance of life must be guided by the judge's ruling that the heirs are blamed for killing or trying to kill or severely mistreat the heist. The purpose of this study is to review the Compilation of Islamic Law article 173 letter A about the obstruction of heirs from receiving inheritances due to the judge's ruling that the heirs are blamed for killing or attempting to kill or severely mistreat the testator,which in passive euthanasia perpetrator, the three-element is not contained in it, but has the same result that accelerates the death of the heist. In this research, the researcher used maqashid sharia. This research is normative juridical and empirical juridical research with qualitative descriptive analysis and using the maqashid sharia approach. In this research, it was obtained that: 1) Passive euthanasia if viewed from the perspective of the principle of maqashid sharia then there will be two conflicting indicators, namely hifz al-nafs (guarding the soul) and hifz al-mᾱl (guarding property), of these two indicators that are more favored is hifz al-nafs. The passive euthanasia perpetrator cannot own the assets of the heist, or in other words, his inheritance rights are hindered following what is instructed in Article 173 letter A. 2) because there are no clear rules regarding passive euthanasia in KHI or other laws, the judge can make legal findings to decide the case to achieve legal certainty.AbstrakEuthanasia pasif merupakan sebuah usaha untuk mempercepat kematian dengan cara menghentikan pengobatan atau melakukan pembiaran terhadap pasien dikarenakan adanya diagnosa dokter bahwa pasien tersebut penyakitnya tidak lagi dapat disembuhkan. Sebaliknya di Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa dalam menentukan terhalangnya kewarisan dengan sebab adanya penghilangan nyawa harus berpedoman pada putusan hakim bahwa ahli waris tersebut dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris. Tujuan dari penelitian ini adalah menelaah kembali Kompilasi Hukum Islam pasal 173 huruf A tentang terhalangnya ahli waris untuk menerima warisan dengan sebab putusan hakim bahwa ahli waris dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris, yang mana pada pelaku euthanasia pasif unsur tersebut tidaklah terdapat di dalamnya,namun memiliki akibat yang sama yaitu mempercepatnya kematian pewaris. dalam penganalisahan tersebutpeneliti menggunakan maqashid syari’ah.Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris dengan analisisa deskriptif kualitatif serta menggunakan pendekatan maqashid syariah. Dalam penelitian ini memperoleh hasil bahwa: Euthanasi pasif jika ditinjau dari perspektif prinsip maqashid syariah maka akan terdapat dua indikator yang saling bertentangan yaitu hifz al-nafs(menjaga jiwa) dan hifz al-mᾱl(menjaga harta), dari dua indikator ini yang lebih diunggulkan adalah hifz al-nafs. Maka pelaku euthanasia pasif tidak dapat mewarisi harta dari pewaris atau dengan kata lain terhalang hak kewarisannya sesuai dengan yang diintruksikan pada pasal 173 huruf A. 2) dikarenakan belum adanya aturan yang jelas terkait euthanasia pasif dan dalam KHI maupun perundang-undangan yang lain, maka hakim dapat melakukan penemuan hukum.
EFEKTIFITAS PERATURAN DIRJEN BIMAS ISLAM NOMOR 189 TAHUN 2021 TENTANG PELAKSANAAN BIMBINGAN PERKAWINAN CALON PENGANTIN PERSPEKTIF TEORI SISTEM HUKUM LAWRENCE M. FRIEDMAN: (Studi Di Kantor Urusan Agama Blimbing Kota Malang) Choiru Fata; Zaenul Mahmudi; Moh. Toriquddin; Abdul Rouf
KABILAH : Journal of Social Community Vol. 7 No. 1 (2022): Juni
Publisher : LP2M IAI Nazhatut Thullab Sampang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak: Pelaksanaan bimbingan perkawinan sebagai bekal pengetahuan dan keterampilan (lifeskills) tentang membangun kesadaran bersama, memperkokoh komitmen, mengatasi berbagai konflik keluarga, menghadapi berbagai tantangan yang semakin berat dan mewujudkan keluarga sehat dan berkualitas serta sebagai upaya pemerintah dalam menekan tingginya angka perceraian, kekerasan dalam rumah tangga dan problem keluarga lainnya. Kantor Urusan Agama memberikan pelayanan dalam bentuk bimbingan perkawinan. Sehingga terbitlah Peraturan Dirjen Bimas Islam Nomor 189 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Bimbingan Perkawinan Calon Pengantin. Jenis penelitian ini menggunakan penelitian lapangan (field research) dengan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini tentang pelaksanaan bimbingan perkawinan belum maksimal dilaksanakan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan ekternal. Yang dianalis menggunakan Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman yang meneliti pada seluruh bagian sub sistem hukum pelaksana bimbingan perkawinan. Sub sistem hukum yang ada pada teori Lawrence M. Friedman yaitu pertama; Struktur Hukum yaitu yang mengkaji pada penyelenggara dan pelaksanaan bimbingan perkawinan. Kedua; Subtansi Hukum yaitu melihat pada peraturan sebagai dasar pelaksanaan bimbingan perkawinan. Ketiga; Budaya Hukum yaitu yang melihat mulai dari struktur hukum dan respon peserta calon pengantin terhadap pelaksanaan bimbingan perkawinan. Kata Kunci: Pelaksanaan Bimbingan Perkawinan, Teori Sistem Hukum
The Judge’s Decision on Rejection of Polygamous Marriage Proposal in Sadd adz-Dzari'ah Perspective Zaenul Mahmudi; Thariqul Khaira
Sakina: Journal of Family Studies Vol 6 No 3 (2022): Sakina: Journal of Family Studies
Publisher : Islamic Family Law Study Program, Sharia Faculty, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/jfs.v6i3.1966

Abstract

Polygamy is permitted in Islamic law and also in Indonesian marriage law when fulfilled the requirements. In decision number 280/Pdt.G/2020/PA.Sbh the application for a polygamy permit was rejected by the Judges, despite the fact that the first wife had granted permission for polygamy and the husband had met the polygamy requirements. As a result, the focus of this research is on discussing the Judge’s considerations then analyzing them using sadd adz-dzari’ah. This is normative research using a case approach, and it is carried out by tracing, searching, and reviewing materials in the form of decisions, laws, books, journals, and other sources related to polygamy and sadd adz-dzari’ah. The Judges rejected the case because the application for a polygamy permit do not comply with Law numbern1nof 1974, and Lawnnumbern9nofn1975. Sadd adz-dzari’ah states that whether the case is accepted or rejected, both contain mafsadah. The differences are in the mafsadah’s quality; if the case is accepted, the mafsadah’s quality is qath’i. Whereas if the case is rejected, the mafsadah’s quality is ghalib. Closing the definite mafsadah takes precedence, so this case is better rejected based on the sadd adz-dzari’ah analysis because the quality of the mafsadah is lower.
Penyelesaian Perkara Kewarisan Bertingkat Perspektif Maqashid Syariah Diffada Achmadiansyah; Zaenul Mahmudi
Sakina: Journal of Family Studies Vol 6 No 4 (2022): Sakina: Journal of Family Studies
Publisher : Islamic Family Law Study Program, Sharia Faculty, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/jfs.v7i1.2507

Abstract

Perkara kewarisan di Indonesia sering kali muncul karena didasari oleh perasaan kurang adilnya pembagian harta waris, kemudian menjadi awal dari perselisihan antar ahli waris, karena kurangnya ilmu pengetahuan di tengah masyarakat tentang pentingnya pembagian waris, menyebabkan masyarakat menganggap remeh dan menunda pembagian waris hingga berlarut-larut yang akhirnya dapat menimbulkan persoalan baru dalam sistem kewarisan yakni terjadinya kewarisan bertingkat (munasakhat). Permasalahan seperti ini pernah terjadi di Desa Pemecutan Kelod, Kota Denpasar. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pendapat Hakim dan Ulama terkait penyelesaian perkara kewarisan bertingkat di Desa Pemecutan Kelod, Denpasar, Bali dalam perspektif maqashid syariah. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum empiris dengan pendekatan kualitatif. Data penelitian empiris diperoleh melalui studi lapangan yang meliputi wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian ini adalah ditemukan dua pendapat yang berbeda di antara Hakim dan Ulama. Hakim berpendapat kosnep takharuj dapat digunakan dalam penyelesaian perkara kewarisan bertingkat ini, sedangkan ulama mengatakan tidak karena harus sesuai dengan ketentuan syara’. Pendapat hakim ini sudah sesuai dengan bunyi pasal 174 KHI dan KUHP pasal 832 yang membolehkan istri untuk menmahjub saudara pewaris serta menurut maqashid syariah yang dimana konsep takahruj jika diterapkan maka akan mengakomodir maslahat al-khamsah yakni hifdz din, hifdz nafs, hifdz nasl dan hifdz mal.
TELAAH KOMPILASI HUKUM ISLAM PASAL 173HURUF A TERHADAP PELAKU EUTHANASIA PASIF PERSPEKTIF MAQASHID SYARI’AH Abd Rouf; Zaenul Mahmudi
Muslim Heritage Vol 7, No 1 (2022): Muslim Heritage: Jurnal Dialog Islam dengan Realitas
Publisher : IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (501.568 KB) | DOI: 10.21154/muslimheritage.v7i1.3676

Abstract

AbstractPassive euthanasia is an attempt to hasten death by stopping a treatment or letting a patient die because of a doctor's diagnosis that the patient's disease can no longer be cured. In contrast, in the Compilation of Islamic Law, it is mentioned that determining the obstruction of inheritance with the cause of the disappearance of life must be guided by the judge's ruling that the heirs are blamed for killing or trying to kill or severely mistreat the heist. The purpose of this study is to review the Compilation of Islamic Law article 173 letter A about the obstruction of heirs from receiving inheritances due to the judge's ruling that the heirs are blamed for killing or attempting to kill or severely mistreat the testator,which in passive euthanasia perpetrator, the three-element is not contained in it, but has the same result that accelerates the death of the heist. In this research, the researcher used maqashid sharia. This research is normative juridical and empirical juridical research with qualitative descriptive analysis and using the maqashid sharia approach. In this research, it was obtained that: 1) Passive euthanasia if viewed from the perspective of the principle of maqashid sharia then there will be two conflicting indicators, namely hifz al-nafs (guarding the soul) and hifz al-mᾱl (guarding property), of these two indicators that are more favored is hifz al-nafs. The passive euthanasia perpetrator cannot own the assets of the heist, or in other words, his inheritance rights are hindered following what is instructed in Article 173 letter A. 2) because there are no clear rules regarding passive euthanasia in KHI or other laws, the judge can make legal findings to decide the case to achieve legal certainty.AbstrakEuthanasia pasif merupakan sebuah usaha untuk mempercepat kematian dengan cara menghentikan pengobatan atau melakukan pembiaran terhadap pasien dikarenakan adanya diagnosa dokter bahwa pasien tersebut penyakitnya tidak lagi dapat disembuhkan. Sebaliknya di Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa dalam menentukan terhalangnya kewarisan dengan sebab adanya penghilangan nyawa harus berpedoman pada putusan hakim bahwa ahli waris tersebut dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris. Tujuan dari penelitian ini adalah menelaah kembali Kompilasi Hukum Islam pasal 173 huruf A tentang terhalangnya ahli waris untuk menerima warisan dengan sebab putusan hakim bahwa ahli waris dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris, yang mana pada pelaku euthanasia pasif unsur tersebut tidaklah terdapat di dalamnya,namun memiliki akibat yang sama yaitu mempercepatnya kematian pewaris. dalam penganalisahan tersebutpeneliti menggunakan maqashid syari’ah.Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris dengan analisisa deskriptif kualitatif serta menggunakan pendekatan maqashid syariah. Dalam penelitian ini memperoleh hasil bahwa: Euthanasi pasif jika ditinjau dari perspektif prinsip maqashid syariah maka akan terdapat dua indikator yang saling bertentangan yaitu hifz al-nafs(menjaga jiwa) dan hifz al-mᾱl(menjaga harta), dari dua indikator ini yang lebih diunggulkan adalah hifz al-nafs. Maka pelaku euthanasia pasif tidak dapat mewarisi harta dari pewaris atau dengan kata lain terhalang hak kewarisannya sesuai dengan yang diintruksikan pada pasal 173 huruf A. 2) dikarenakan belum adanya aturan yang jelas terkait euthanasia pasif dan dalam KHI maupun perundang-undangan yang lain, maka hakim dapat melakukan penemuan hukum.