Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

PENENTUAN PERUBAHAN KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA SEKAM PADI DAN TULANG SAPI MENGGUNAKAN DSC (DIFFERENTIAL SCANNING CALORIMETRY) I Made Griya Adi Parta; Made Vivi Oviantari; Gede Agus Beni Widana
Wahana Matematika dan Sains: Jurnal Matematika, Sains, dan Pembelajarannya Vol. 10 No. 1 (2016): APRIL 2016
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (465.743 KB) | DOI: 10.23887/wms.v10i1.12658

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan karakteristik fisika kimia sekam padi dan serbuk tulang sapi karena pengaruh perubahan suhu. Hal ini dilakukan karena keberhasilan sintesis senyawa anorganik berbasis solid state ditentukan oleh pemilihan suhu yang tepat dan ini dapat diketahui dengan menggunakan scanning calorimetry. Subjek dalam penelitian ini adalah sekam padi dan tulang sapi, sedangkan objek penelitian ini yaitu karakteristik fisika kimia sekam padi dan dari serbuk tulang sapi. Metode yang digunakan untuk menentukan karakteristik fisika kimia adalah dengan menggunakan DSC. (Differential Scanning Calorimetry) yang ditunjukkan dengan timbulnya reaksi endotermik dan eksotermik. Hasil penelitian ini menunjukan karakteristik fisika kimia sekam padi dan tulang sapi yang teramati dari rentangan suhu 50-600°C. Karakteristik yang ditunjukkan oleh sekam padi yaitu, pada rentangan suhu 140-253°C terjadi proses endotermik yaitu penguapan H2O, rentangan suhu 253-415°C terjadi proses endotermik yaitu penghilangan senyawa organik  serta pembakaran karbon dan pada rentangan suhu 415-581°C terjadi proses eksotermik yaitu pembentukan kristal SiO2. Karakteristik yang ditunjukkan oleh tulang sapi yaitu pada rentangan suhu 135-157°C  terjadi proses endotermik yaitu penguapan H2O, pada rentangan suhu 157-195°C terjadi proses endotermik yaitu penghilangan senyawa organik hal ini juga terjadi pada rentangan suhu 195-231°C yang menunjukkan terjadi proses endotermik yaitu penghilangan senyawa organik.  
Chemistry and Biology of Cyanides: A Literature Review I Wayan Muderawan; I Wayan Karyasa; I Nyoman Tika; Gede Agus Beni Widana
Indonesian Journal of Chemistry and Environment Vol 6, No 2 (2023): DECEMBER 2023
Publisher : Universitas Negeri Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21831/ijoce.v6i2.67030

Abstract

The term cyanide is used to describe compounds that contain the cyano, -C≡N, group. The cyanides exist in nature as inorganic as well as organic compounds in the forms of gas or liquid such as HCN, CNCl and acetonitrile, or solids such as NaCN, KCN, and Ca(CN)2. Cyanide compounds are also found in addible plants as cyanogenic glycosides. Compounds that can release cyanide are known as cyanogenic compounds. HCN has a low boiling point (25.63 oC) and is as weakly acidic with a pKa 9.2. It partially ionizes in water to give the cyanide anion, -CN. Cyanide ion from salt reacts with acid to give HCN, but at high pH (8-10), it remains as cyanide ion even if the temperature of the water is 80.0-100.0 °C. Cyanide is one of the deadliest poisons, LC50 is 1.1 and 5.0 mg/kg for HCN and NaCN, which can cause death to those who come into contact within a few minutes or hours of exposure, depending on the level and route of exposure. It is a rapidly acting, potentially deadly chemical that interferes with the body’s ability to use oxygen. Due to its toxicity, cyanide has many roles in industry such as pesticides and medicines as nitrile-containing pharmaceuticals. Organic compounds that have a −C≡N functional group are called nitriles. Over 30 nitrile-containing pharmaceuticals are currently marketed for a diverse variety of medicinal indications with more than 20 additional nitrile-containing leads in clinical development. In addition, over 120 naturally occurring nitriles have been isolated from terrestrial and marine sources.  In plants, cyanides are usually bound to sugar molecules in the form of cyanogenic glycosides. Hydrogen cyanide can be released from hydrolysis of cyanogenic glycosides which are commonly present in edible plants. Because it is a relatively common toxin in the environment, the body can detoxify a small amount of cyanide. The major route of metabolism for cyanides is detoxification in the liver by the mitochondrial enzyme rhodanese, which catalyzes the transfer of the sulfane sulfur of thiosulfate to the cyanide ion to form thiocyanate. Ingested cyanide may be countered by administering antidotes, such as natural vitamin B12 and sodium thiosulfate, that detoxify cyanide or bind to it.
Learning Innovation Together with Community: Inventing and Commercializing Slow-Release Organic Nano Fertilizer Pellets for Healthy and Sustainable Rice Agriculture Karyasa, I Wayan; Widana, Gede Agus Beni; Astawa, I Putu Gede Banu; Mudianta, I Wayan
Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat (Indonesian Journal of Community Engagement) Vol 10, No 4 (2024): December
Publisher : Direktorat Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jpkm.100798

Abstract

The village of Jagaraga, located in the Sawan district of Buleleng Regency, Bali Province, had significant potential in both culture and agriculture, particularly in rice farming. More than half of the village’s land area was rice fields, and over two-thirds of the villagers were rice farmers. However, ensuring healthy soils and crops through effective fertilizer solutions remained a major challenge. The aim of the community development initiative was to empower the village farmers to become innovative through collaborative learning and by inventing and commercializing a slow-release nano fertilizer. A participatory action and learning approach was used to engage the rice farming community. The Subak Babakan farmer organization and the local rice milling enterprise, PB Suwela Amertha, were involved in the empowerment activities, which included information sessions, training, technology application, guidance, evaluation, and sustainability planning. As a result, four formulas of slow-release organic nano fertilizers in pellet form were successfully developed. Additionally, a four-helix partnership involving academicians, the farmer community, enterprises, and the government was established to build a business platform for commercializing the innovation. Through this collaboration, academicians and community farmers successfully learned to address the primary challenges in rice agriculture innovatively while promoting sustainable practices to maintain the health of the land and the well-being of the villagers.
TEKNOLOGI TEPAT GUNA PENGOLAHAN LIMBAH TEKSTIL BAGI INDUSTRI TENUN BINTANG TIMURTEKNOLOGI TEPAT GUNA PENGOLAHAN LIMBAH TEKSTIL BAGI INDUSTRI TENUN BINTANG TIMUR Yuningrat, Ni Wayan; Ayuni, Ni Putu Sri; Martiningsih, Ni Wayan; Gunamantha, I Made; Widana, Gede Agus Beni
JURNAL WIDYA LAKSANA Vol 7 No 1 (2018)
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (275.317 KB) | DOI: 10.23887/jwl.v7i1.12673

Abstract

Pada umumnya industri tekstil khususnya tenun menggunakan zat warna sintetis untuk proses pencelupannya, dengan pertimbangan warna yang dihasilkan akan lebih menarik dan tidak mudah pudar. Zat warna yang telah selesai digunakan dalam pencelupan seringkali dibuang langsung ke lingkungan tanpa diolah terlebih dahulu. Hal ini juga dilakukan oleh industri bintang timur, yang mana zat warna hanya ditampung dalam tanah yang digali sedalam 1 meter, sedangkan lokasinya dekat dengan persawahan. Kegiatan pengabdian diawali dengan identifikasi pengetahuan peserta tentang karakteristik, bahaya, penanggulangan dan penanganan awal zat warna tekstil melalui kuisioner. Sosialisasi alat pengolahan limbah dilakukan melalui penyerahan reaktor fotokatalitik fixed bed TiO2-batu apung dan dilanjutkan dengan demonstrasi pengoperasiannya menggunakan zat warna sisa pencelupan. Berdasarkan hasil kuisioner, sebagian besar peserta belum mengetahui karakteristik zat warna tekstil dan proses pengolahan yang diperlukan agar zat warna tekstil tidak mencemari lingkungan. Proses degradasi zat warna tekstil berjalan kurang efektif (26%) yang disebabkan kurangnya sinar matahari yang diperlukan untuk proses fotodegradasi tersebut. Pada umumnya industri tekstil khususnya tenun menggunakan zat warna sintetis untuk proses pencelupannya, dengan pertimbangan warna yang dihasilkan akan lebih menarik dan tidak mudah pudar. Zat warna yang telah selesai digunakan dalam pencelupan seringkali dibuang langsung ke lingkungan tanpa diolah terlebih dahulu. Hal ini juga dilakukan oleh industri bintang timur, yang mana zat warna hanya ditampung dalam tanah yang digali sedalam 1 meter, sedangkan lokasinya dekat dengan persawahan. Kegiatan pengabdian diawali dengan identifikasi pengetahuan peserta tentang karakteristik, bahaya, penanggulangan dan penanganan awal zat warna tekstil melalui kuisioner. Sosialisasi alat pengolahan limbah dilakukan melalui penyerahan reaktor fotokatalitik fixed bed TiO2-batu apung dan dilanjutkan dengan demonstrasi pengoperasiannya menggunakan zat warna sisa pencelupan. Berdasarkan hasil kuisioner, sebagian besar peserta belum mengetahui karakteristik zat warna tekstil dan proses pengolahan yang diperlukan agar zat warna tekstil tidak mencemari lingkungan. Proses degradasi zat warna tekstil berjalan kurang efektif (26%) yang disebabkan kurangnya sinar matahari yang diperlukan untuk proses fotodegradasi tersebut.