Nazaruddin Umar
Faculty of Medicine Universitas Sumatera Utara Medan

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Penatalaksanaan Perioperatif Perdarahan Intraserebral Sandhi Christanto; Nazaruddin Umar; A Himendra Wrgahadibrata
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 3, No 2 (2014)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (507.573 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol3i2.136

Abstract

Perdarahan intraserebral spontan nontraumatik didefinisikan sebagai ekstravasasi spontan darah ke dalam parenkim otak yang dapat meluas ke ventrikel otak atau pada kasus yang jarang dapat sampai ke ruang subarachnoid. Perdarahan intraserebral merupakan penyakit yang sering dijumpai, di Amerika Serikat tiap tahunnya terdapat sekitar 37 ribu sampai 52 ribu orang mengalami perdarahan intraserebral.1,2 Tercatat sekitar 10–30% dari semua kasus stroke di rumah sakit merupakan akibat perdarahan intraserebral, angka mortalitas mencapai 30–50% pada 30 hari pertama perawatan dan hanya sekitar 20% pasien yang mendapatkan kembali kemampuan dan kemandirian fungsionalnya dalam jangka waktu 6 bulan.2,3,4Faktor resiko paling penting dan paling sering untuk PIS adalah hipertensi, yang rata-rata mencapai 60–70% dari semua kasus PIS.1,3 Seorang wanita, 41 tahun berat badan 60 kg datang dengan kesadaran menurun sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit disertai bagian tubuh sebelah kanan yang terasa lemas. Keluhan tersebut dirasa semakin lama semakin berat sampai keesokan harinya kesadaran makin menurun dan bagian tubuh kanan tidak bisa digerakkan. Pada pemeriksaan didapatkan jalan napas bebas, laju napas 18–20 x/menit, tekanan darah 200/100 mmHg, laju nadi 70x/menit, skor GCS E2M5V–, Hasil Ctscan menunjukkan adanya perdarahan intraserebral di basal ganglia kiri volume 52 ml dengan midLine shift ke kanan sejauh 1,1 cm, skor PIS 2. Keputusan kraniotomi evakuasi hematoma dilakukan untuk keselamatan pasien. Penatalaksanaan berkesinambungan dengan memperhatikan prinsip neuroresusitasi, neuroanestesia, neurointensive care serta neuroproteksi sangat penting dilakukan dalam menangani pasien dengan perdarahan intraserebral. Perioperative Management of Intracerebral HemorrhageSpontaneous non traumatic intracerebral hemorrhage is devined as an extravasation of blood into the brain parenchym that may extend into the ventricles and, in a rare case, to the subarachnoid space. Each year, approximately 37,000 to 52,000 people in the United States are suffered from an intracerebral hemorrhage. Intracerebral hemorrhage accounts for 10 to 30 percent of all cases of stroke with the 30-days mortality rate, ranges from 30%–50% and only 20% of survivors expected to have full functional recovery within 6 months. Hypertension is by far the most important and prevalent risk factor, directly accounted for about 60–70% of cases. A 41-year old woman weighted 60 kgs was admitted to the hospital with decreased level of conciousness and weak right side of her body, which became worsen in the next morning. On examination, airway was clear, respiratory rate was 18–20 x/min, blood pressure was 200/100 mmHg, heart rate was 70 bpm, GCS score was E2M5V–, CT-scan examination showed a 52 cc of intracerebral hemorrhage in left basal ganglia, mid line shifted 1,1 cm to the right and ICH score was 2. The decision of emergency hematoma evacuation was immediately made for life saving. Continuous and comprehensive management with neuro-resuscitation, neuroanestesia, neuro intensive care and brain protectio.
Subdural Empiema L1-5 Pasca Anestesi Anestesi Neuraksal M. Jalaludin A. Chalil; Nazaruddin Umar
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 2, No 1 (2013)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (8107.905 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol2i1.187

Abstract

Komplikasi infeksi dapat saja terjadi setelah tehnik anestesi regional apapun, namun hal ini menjadi perhatian yanga sangat penting ketika infeksi terjadi disekitar medulaspinalis atau di dalam kanalis spinalis. Infeksi bakteri pada medulla spinalis dapat berupa meningitis atau penekanan medulla yang sekunder terhadap pembentukan abses. Sumber infeksi dapat berasal dari kolonisasi kuman yang jauh atau dari infeksi pada tempat insersi, yang menyebar secara hematogen dan menginvasi ke system saraf pusat. Seorang wanita 35 tahun dengan berat badan 55 kg, dating ke RSUP H. Adam Malik Medan dengan keluhan utama kedua tungkai tidak dapat diogerakkan, yang dialami pasien sejak lebih kurang 2 minggu sebelum masuk ke rumah sakit. Sekitar 2 bulan sebelumnya, pasien ini menjalani operasi melahirkan dengan tindakan pembiusan spinal di rumah sakit lain. Seminggu kemudian, dia merasakan nyeri pinggang terutama disekitar tempat suntikan disertai adanya demam. Keluhan ini berlanjut dengan dirasakannya nyeri yang menjalar dari pinggang ke kedua tungkai diikuti dengan rasa kebas dan kesemutan, kemudia tidak dapat digerakkan lagi. Pasien ini juga mengeluhkan beser buang air besar dan buang air kecil. Tidak ada riwayat penurunan kesadaran, kejang, dan muntah menyembur pada pasien ini. Juga tidak didapati adanya riwayat terjatuh, Dari pemeriksaan fisik, laju nafas 18 x/menit, regular, suara pernafasan vwsikuler, suara tambahan tidak dijumpai, tekanan darah 130/80 mmHg, laju nadi 88 x/menit, regular, temperature 37,8 0C. Kesadaran composmentis, dengan paraplegia pada kedua tungkai, paraestasia (+). Pemeriksaan laboratorium : Hb: 10,3 g%, Ht: 32,4%, leukosit: 24.900/mm3. MRI: dijumpai adanya gambaran abses, Dilakukan anestesi umum posisi telungkup, pasien menjalani tindakan laminektomi untyk evakuasi abses. Durante operasi dijumpai adanya pus sekitar 40 ml di daerah subdural L1 sampai L5. Kultur pus: dijumpai Staphylococcus epidermidis. Selanjutnya pasien dirawat di ICU pascabedah dan diberikan terapi antibiotik meropenem 1 gram per 8 jam, metronidazole 1500 mg per hari, gentamisin 80 mg per 12 jam. Pasca operasi sampai pasien pulang, tidak dijumpai adanya perbaikan yang siognifikan. Namun demikian dijumpai adanya pengurangan keluhan berupa hilangnya demam, nyeri pinggang, serta hilangnya nyeri pada kedua tungkai dengan perbaikan fungsi motorik dari 0 menjadi 2.Empyema Subdural L1-5 After Neuraxial AnesthesiaInfectious complications may occur after any regional anesthetic techniques, but are of greatest concern if the infection occurs around the spinal cord or within the spinal canal. Bacterial infection of the central neural axis may present as meningitisor cord compression secondary to abscess formation. The infectious source for meningitisand epidural abscess may result from distant colonization or localized infection with subsequent hematogenous spread and central nervous system (CNS) invasion. A woman 35-year old weight 55kg, came into RSUP H. Adam Malik Medan with the main complaint can not be moved both legs, since approximately 2 weeks before entering the hospital, where previously she was performed to caesarean section with spinal anesthesia techniques, a week later she was feeling numb and tingling feer, then can not moved anymore, She alspo complained incontinensia of defecation and urination, History offever (+), low back pain (+). A history of trauma (-). From physical examination, breath rate 18 c/min, regular, vesicular breathing sounds, extra sounds not found, blood pressure 140/90 mmHg, heart rate 100 x/min, regular, temperature 37.80C.mAwareness is compomentis, with paraplegia in both legs, paraestesia (+). Laboratory tests: Hb: 10.3g%, Ht: 32.4%, leukocytes: 24.900/mm3, platelet 496.000/mm3. MRI: found a picture of an abscess, By general anesthesia with prone position, the patient underwent debridement laminectomy for evacuation of abscess, Durante operation encountered about 40ml of pus in the subdyral L1 to L5. Furthermore, patients trated in the ICU after surgery and antibiotic therapy meropenem 1 gram per 8 hours, metronidazole 1500mgday, gentamicin 80mg per 12 hours was given. During post operative care until the patient discharge from hospital, there were no improvement significantly, howefer, there were reducing in low back pain, fever, and loss of pain in both legs with improved motor function from 0 to 2.
Tatalaksana Anestesi pada Direct Clipping Aneurisma Otak Buyung Hartiyo Laksono; Nazaruddin Umar; Marsudi Rasman
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 4, No 3 (2015)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2386.28 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol4i3.123

Abstract

Perdarahan subarachnoid (SAH) yang diakibatkan oleh pecahnya aneurisma otak menyumbang sekitar 85% dari kejadian SAH non traumatik. Insidensi sekitar 8–10 per 100.000 penduduk per tahun atau sekitar (0,008%). Rangkaian tatalaksana kasus SAH mempengaruhi outcome dari hasil terapi, mulai dari pertolongan pertama pada prehospital, transportasi, diagnosis awal, manajemen kegawatdaruratan dini, tindakan neuroradiologi intervensi ataupun pembedahan dan perawatan intensif pasca tindakan definitif. Pada laporan kasus ini, pasien wanita usia 65 tahun, berat badan 50 kg dengan diagnosa SAH hari ke 18 karena pecahnya aneurisma arteri serebri media disertai defisit neurologis ringan. Pembedahan dilakukan tindakan kraniotomi direct clipping aneurisma. Prinsip anestesi yang dilakukan adalah pemeliharaan homeostasis dan Cerebral Perfusion Pressure (CPP)/Transmural Pressure (TMP) yang efektif, tindakan pencegahan peningkatan tekanan intrakranial (Intracranial Pressure-ICP), pembengkakan otak dan manajemen vasospasme serebral. Operasi berjalan 6 jam dan dilakukan rapid emergence. Outcome pembedahan sesuai yang diharapkan. Anestesi mempunyai peranan yang sangat penting dalam manajemen secara keseluruhan pada pasien ini untuk memberikan manajemen proteksi otak yang maksimal selama pembedahan sehingga memperoleh hasil akhir pembedahan yang sukses. Anesthetic Management in Direct Clipping Cerebral AneurysmaSubarachnoid hemorrhage (SAH) caused by rupture of a brain aneurysm accounts for about 85% of the incidence of non-traumatic SAH. The incidence is approximately 8-10 per 100,000 populations per year, or about (0.008%). The management of SAH affects the outcome, ranging from first aid in Prehospital, transportation, early diagnosis, early emergency management, neuroradiology action or surgical interventions and intensive therapy after definitive care. In this case report, a 65 years old female, 50 kgs, diagnosised with SAH day 18 due to middle cerebral artery aneurysm rupture with mild neurological deficits. Craniotomy was performed using direct aneurysm clipping. The anesthesia principle is to maintain adequate homeostasis and effective Cerebral Perfusion Pressure (CPP)/Transmural Pressure (TMP), preventing increase in ICP, brain swelling and management of cerebral vasospasm. The operation was done in 6 hours with rapid emergence. The outcome of surgery was as expected. Anesthesia has a very important role in the overall management of these patients to provide optimal brain protection management during surgery in obtaining successful outcome.
Gangguan Koagulasi dan Hubungannya dengan Luaran Pascacedera Otak Traumatik Kenanga Marwan; Nazaruddin Umar; Siti Chasnak Saleh; A Himendra Wargahadibrata
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 3, No 2 (2014)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (590.262 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol3i2.135

Abstract

Gangguan koagulasi umum terjadi pada cedera otak traumatik (COT) dan seringkali memperburuk luaran. Gangguan ini diawali dengan lepasnya faktor jaringan dan trombin secara berlebihan pada bagian otak yang rusak, yang selanjutnya mengaktifkan jalur koagulasi. Gangguan koagulasi pada COT bersifat kompleks dan berupa kombinasi koagulopati dan hiperkoagulabilitas. Hiperkoagulabilitas dikaitkan dengan terjadinya disseminated intravascular coagulation (DIC) secara sistemik dan secara lokal dengan terbentuknya mikrotrombi di area penumbra daerah yang mengalami kontusi. Nilai abnormal fungsi koagulasi dapat terjadi karena kerusakan endotel saat cedera langsung dan tidak langsung oleh proses inflamasi, toksin dan iskemia. Koagulopati terjadi akibat turunnya jumlah platelet dan faktor pembekuan akibat kehilangan darah atau karena kosumsi oleh DIC, dan dipercepat dengan dilusi, asidosis dan hipotermi. DIC merupakan prediktor penting luaran COT yang buruk. Coagulation Disorders Post Traumatic Brain Injury Related OutcomeTraumatic disorder of hemocoagulation is common in traumatic brain injury (TBI) and frequently related to poor outcome. It begins with the massive release of thrombin or tissue factor from damage brain cells, following the activation of coagulation pathway. Coagulation disorder in TBI are complex and characterised by combination of coagulopathy and hypercoagulability. A hypercoagulable state may be generalised in the case of disseminated intravascular coagulation (DIC) or local with the development of microthrombi in the penumbra of a contusion. The presence of abnormal coagulation test in traumatic brain injury may be caused by cerebral vascular endothelial damage after direct injury, as well as indirect damage through inflammation, toxins, and ischaemia. Coagulopathy may result from depletion of platelets and clotting factors following blood loss or comsumption due to DIC, and may further be enhanced by dilution, acidosis and hypothermia. DIC is an important predictor of poor outcome in TBI.
Anestesi Untuk Drainase Abses Otak pada Pasien dengan Tetralogy Fallot yang tidak Dikoreksi Raka Jati Prasetya; Nazaruddin Umar
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 2, No 1 (2013)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (8729.093 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol2i1.186

Abstract

Kejadian abses otak sangat jarang terjadi tapi sangat berpotensi untuk mengancam jiwa. Yang termasuk faktor predisposisi untuk abses otak termasuk jantung bawaan sianotik, dengan faktor predisposisi sekitar 5 sampai 18,7% pasien dengan PJK didapati abses otak. Abses otak dapat terjadi dikedua hemisfer, dan sekitar 64-76% abses berada di daerah perietal, lobus frontal atau temporal. Kebanyakan abses otak terjadi pada satu lobus, namun 10-27% melibatkan melibatkan lebih dari satu lobus. Sebagian besar penyakit jantung bawaan yang menyebabkan komplikasi di dalam otak termasuk di dalam golongan penyakit jantung bawaan sianotik yang terbanyak adalah Tetralogi of Fallot (TOF) dan transposisi arteri besar. Pada penyakit jantung bawaan sianotik serimg di temukan Sterptococcus, sedangkan bila abses terjadinya pasca kraniotomi sering ditemukan Staphylococcus atau Streptococcus. Dasar pengobatan abses otak adalah mengurangi efek masa dan menghilangkan kuman penyebab. Penatalaksanaan abses otak dapat dibagi menjadi terapi bedah dan terapi konservatif. Untuk menghilangkan penyebab, dilakukan operasi baik aspirasi maupun eksisi dan pemberian antibiotik. Penatalaksanaan anestesi pada pasien ini merupakan gabungan pemahaman tentang patofisiologik TOF dan tehnik neuroanestesi. Tujuan dari manajemen anestesi pada pasien dengan TOF adalah dengan mempertahankan volume intravaskular dan sytemic vascular resistance (SVR). Peningkatan pulmonary vascular resistance (PVR), seperti yang mungkin terjadi akibat asidosis atau tekana di saluran napas yang berlebihan, harus dihindari. Kematian adalah obat induksi yang sering digunakan karena efeknya pada SVR.Anesthesia for Brain Abscess Drainage in Patient with UncorrectedTetralogy of FallotIncidence of barin abscess is a rare but potentilly highly threatening . That included predisposing factors for brain abscess including cyanotic congenital heart disease, with a predisposing factor of about 5 to 18.7% of patients with CHD found a brain abscess. A brain abscess can occur in both hemispheres, And about 64-76% abscess in the parietal, frontal or temporal lobes. Most brain abscesses occur in the lobe, but 10-27% involving  involving more than one lob. Most congenital heart disease cause complications in the brain, including within the category of cyanotic congenital heart disease, the vast majority were tetralogy of fallot (TOF) and transposition of the great arteries. In cyanotic congenital heart disease often found streptococcus, whereas when the post-craniotomy abscesses are often found Staphylococcus or Streptococcus. Primary brain abscess treatment is to reduce the mass effect and eliminate germs. Management of brain abscess therapy can be divided into surgical and conservative teratment. To eliminate the cause, either aspiration or surgical excision and antibiotics. Management of anesthesia in these patients is a combination of undrstanding neuroanesthesia techniques and pathophysiologic TOF. The purpose of the management of anasthesia in patients wuth TOF is to maintain intravascular volume and systemic vascular resistance (SVR). The increase in pulmonary vascular resistance (PVR), as might occur due to acidosis or airway pressure overload, should be avoided. Ketamine is the common drug for induction, because its effect on SVR.