Muh. Syahrul Qodri
Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Universitas Mataram

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Hibriditas Kebahasaan dalam “Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru”: Sebuah Kajian Etnopuitika: Linguistic Hybridity in “Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru”: An Ethnopuitics Study Saharudin Saharudin; Sapiin Sapiin; Muhammad Syahrul Qodri; Rahmad Hidayat
Jurnal Bastrindo Vol. 3 No. 1 (2022): Edisi Juni 2022
Publisher : Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/jb.v3i1.677

Abstract

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi unsur-unsur pembentuk struktur dan bunyi bahasa puitika-pentas teks Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru (WRMPB) dan menjelaskan pernik-pernik budaya lokal yang mewarnai teks WRMPB ketika dilisankan/dinyanyikan. Secara metodologis, metode pengumpulan data (baik data primer maupun sekunder) dalam penelitian ini mencakup studi kepustakaan (khususnya yang terkait dengan data teoretis), observasi partisipasi, wawancara mendalam, rekaman (audiovisual), foto, dan transkripsi-penerjemahan. Sementara metode analisis data menggunakan metode analisis puitika yang dikemukakan Tedlock (1992), yakni membuat konvensi-konvensi ortografis baru dan menambahkannya ke dalam sistem tulisan yang ada (dari teks WRMPB saat dilisankan) yang dilanjutkan dengan analisis intertekstual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari segi the art of sounding the narrative texts ‘seni pengucapan teks’, teks WRMPB memiliki konvensi-konvensi ortografis baru yang sekaligus melekat dalam sistem tulisan yang ada. Sementara dari segi budaya lokal yang mewarnai bahasa dan pentas sastra teks WRMPB, kearifan lokal Sasak-Lombok menjadi salah satu fitur penguat dan pengunci teks tersebut. Misalnya, kearifan lokal berupa sesenggak ‘peribahasa’, idiom, dan sejenisnya dipakai untuk mengunci maksud bait-bait tertentu. Ini merupakan wujud kesadaran pengarang bahwa dalam bahasa lokal terkandung nilai-nilai, konsep-konsep, dan ciri-ciri budaya tertentu yang tidak ada pada bahasa lain. Dengan demikian, pengetahuan lokal berperan besar dalam mewadahi totalitas kandungan maksud teks tersebut. Abstract: This study aims to identify the elements that make up the structure and sound of the poetic language of the text of the Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru  (WRMPB) and explain the local cultural trinkets that color the WRMPB text when it is spoken. Methodologically, the data collection methods (both primary and secondary data) in this study include literature study (especially those related to theoretical data), participatory observation, in-depth interviews, recordings, photographs, and transcription-translation. Meanwhile, the data analysis method uses the poetic analysis method proposed by Tedlock (1992), namely making new orthographic conventions and adding them to the existing writing system (from the WRMPB text when it is spoken) followed by intertextual analysis. The results show that from the point of view of the art of sounding the narrative texts, the WRMPB text has new orthographic conventions which are at the same time inherent in the existing writing system. Meanwhile, in terms of local culture that characterizes the language and literary performances of the WRMPB text, the local wisdom of Sasak-Lombok is one of the reinforcing and locking features of the text. For example, local wisdom in the form of proverbs, idioms, and the like is used to lock the meaning of certain verses. This is a manifestation of the author's awareness that the local language contains certain values, concepts, and cultural characteristics that do not exist in other languages. Thus, local knowledge plays a major role in accommodating the totality of the content of the text's intent.
Kesempurnaan Wong Menak dalam Wayang Sasak Muh. Syahrul Qodri
PANGGUNG Vol 28, No 3 (2018): Identitas Kelokalan dalam Keragaman Seni Budaya Nusantara
Publisher : LP2M ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (302.249 KB) | DOI: 10.26742/panggung.v28i3.471

Abstract

AbstractThe problem discussed in this article is the values of perfection in the main character of Jayengrana in Wong Menak story of Wayang Sasak in its relation to other figures in the puppet. To explore this issue, the analysis method used is Roland Barthes’ semiotic perspective. Data were collected from interviews and literature study. After applying the stages of semiotic analysis, which is based on 5 codes of Roland Barthes’ semiotics (i. e. hermeneutic, connotation, symbolic, proaretic, and cultural codes), it can be concluded that the perfection of Wong Menak story lies on the glory of himself as wong menak as represented through the his nicknames which prevails on every journey of life. This is because of his ability to manage the five characters that exist in companions and manifest themselves in wong menak itself. Keywords: perfection, wong menak, puppet sasak. AbstrakMasalah yang dibahas dalam artikel ini adalah tentang nilai kesempurnaan yang dimiliki oleh tokoh utama Jayengrana dalam Wong Menak di dalam Wayang Sasak yang dikaitkan dengan tokoh-tokoh lainnya dalam wayang tersebut. Untuk mengupas persoalan tersebut, metode analisis yang digunakan adalah semiotika perspektif Roland Barthes. Data yang dianalisis adalah data dari hasil wawancara dan studi pustaka. Setelah melewati tahapan analisis semiotika yang berlandaskan pada lima kode Roland Barthes (yaitu kode hermeneutik, konotatif, simbolik, proaretik, dan kode kultural), dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kesempurnaan Wong Menak terletak pada kejayaan dirinya sebagai wong menak yang direpresentasikan lewat nama-nama julukan yang disandangnya, sehingga senantiasa berjaya pada setiap perjalanan kehidupannya. Hal ini disebabkan oleh kemampuannya mengelola kelima karakter yang ada pada diri sahabat-sahabatnya dan  menyatu dalam diri wong menak itu sendiri. Kata kunci: kesempurnaan, wong menak, wayang sasak
Hubungan Novel Demian The Story of Emil Sinclair’s Youth Karya Hermann Hesse dengan Lirik Lagu Grup Musik BTS dalam Album Wings, serta Pengaruhnya Terhadap ARMY Indonesia: The Connection of Demian’s Novel the Story of Emil Sinclair’s Youth by Hermann Hesse with the Song Lyrics of the BTS Music Group in the Wings Album, and Its Effect on the Indonesian ARMY Miftahul Jannah; Mochammad Asyhar; Muhammad Syahrul Qodri
Jurnal Bastrindo Vol. 3 No. 2 (2022): Edisi Desember 2022
Publisher : Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/jb.v3i2.344

Abstract

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan novel Demian The Story of Emil Sinclair’s Youth karya Hermann Hesse dengan lirik lagu yang terdapat dalam album Wings yang dibawakan oleh BTS, serta pengaruhnya terhadap ARMY Indonesia. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif menggunakan teori interpretatif simbolik Clifford Geertz dengan pendekatan sosiologi sastra. Berdasarkan hasil analisis diketahui terdapat tiga simbol kebudayaan, yakni simbol agama, simbol pantang menyerah, dan simbol kritik. Adapun pengaruh terhadap ARMY Indonesia adalah (1) sikap toleransi antarumat beragama di kalangan ARMY semakin kuat, (2) sikap pantang menyerah yang diteladani ARMY diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, dan (3) menumbuhkan sikap berani berpendapat terhadap fenomena sosial  yang ada  melalui berbagai cara, seperti saling berbagi pesan kebaikan melalui forum ARMY di sosial media, membantu me-repost berita terkait dengan isu sosial, dan menulis. Abstract: The study aims to find out the relation of Demian’s novel The Story of Emil Sinclair’s Youth by Hermann Hesse and the  lyrics from the Wings album, as well as its effect on the Indonesian ARMY. The gathered data is analysed using Clifford Geertz's symbolic interpretation theory with a sociology of literature approach and is presented using qualitative method. The result reveals that three cultural symbols are used in the album, namely religious symbols, signs of permissiveness, and symbols of criticism. Furthermore, three major impacts on the Indonesian ARMY are found, they are: (1) the growing religious tolerance among the ARMY community, (2) exemplifying of unyielding attitude and their implementation in daily life, and (3) increasing courage to speak up about social issues, including sharing messages of kindness in the ARMY forums, and rising awareness about social issues by reposting news and writing.
Peristiwa Nika Baronta Sebagai Upaya Perlawanan Terhadap Penjajahan: Nika Baronta: Narrative of the Struggle in Maintaining the Dignity of Bima Women from Japanese Colonizers Nur Atirah Khaerani; Saharudin Saharudin; Muh. Syahrul Qodri
Jurnal Bastrindo Vol. 3 No. 2 (2022): Edisi Desember 2022
Publisher : Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/jb.v3i2.717

Abstract

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah mengetahui tindakan-tindakan yang dilakukan Sultan Bima dalam melawan penjajahan sebagaimana tergambarkan pada novel Nika Baronta karya Alan Malingi. Metode penelitian yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode studi pustaka dan metode baca-catat. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode deskriptif. Hasil penelitian ini menemukan bahwa tindakan sosial yang dilakukan oleh Sultan Bima dalam novel Nika Baronta, yaitu tindakan rasional instrumental, tindakan rasional nilai, tindakan afektif, dan tindakan tradisional. Adapun tujuan dilakukan tindakan-tindakan ini adalah melindungi gadis-gadis Bima dari kekejaman para penjajah yang ingin merusak gadis-gadis Bima dan ingin menjadikan gadis-gadis Bima tersebut sebagai jugun ianfu (wanita penghibur atau pemuas kebutuhan seksual) oleh penjajah Jepang, tindakan melindungi gadis-gadis ini melalui “nikah paksa” dikenal dengan tindakan nika baronta. Abstract: This research aims to find out the actions taken by Sultan Bima against colonialism as described in the novel Nika Baronta by Alan Malingi. The research methods used in data collection are the literature study and note-reading methods. The data analysis method used in this research is the descriptive method. The results of this study found that the social actions carried out by Sultan Bima in the novel Nika Baronta were rational instrumental actions, value rational actions, affective actions, and traditional actions. The purpose of these actions was to protect the Bima girls from the cruelty of the colonialists who wanted to destroy the Bima girls and wanted to make the Bima girls as jugun ianfu (comfort women or satisfying sexual needs) by the Japanese colonialists. Protecting these girls through “forced marriages” is known as the nika baronta act.
Spiritualitas Lawas dalam Tradisi Ponan di Sumbawa Besar: Kajian Semiotika Roland Barthes: Lawas Spirituality in the Ponan Tradition in Sumbawa Besar: Roland Barthes' Study of Semiotic Bety Yulia Safitri; Saharudin; Muh. Syahrul Qodri
Jurnal Bastrindo Vol. 4 No. 1 (2023): Edisi Juni 2023
Publisher : Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/jb.v4i1.1052

Abstract

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan makna spiritualitas lawas dalam tradisi ponan di Desa Poto, Kecamatan Moyo Hilir, Sumbawa Besar melalui perspektif semiotika Roland Barthes. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data, yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi. Metode analisis data menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menemukan sebanyak 13 leksia dalam 99 bait lawas tradisi ponan, yaitu kewa singin Nene kita, Gapar nomo tengan mole, tutit ai kurang ujan, tusenramo lako Nene, ngayapmo lako Sang Raja, peno tudatang bajango, desa darat senap semu, kareng olo pang panungkas, tanda nongka turet adat, sala lema ngeneng ampin, desa tau no to manto, siwa puluh siwa, dan palangan dunia aherat. Hasil analisis leksia menunjukkan bahwa spiritualitas lawas dalam tradisi ponan meliputi ketergantungan kehidupan manusia sebagai seorang hamba dengan Penciptanya, ketergantungan antara manusia dengan manusia lainnya, saling ketergantungan manusia dengan alam, serta saling ketergantungan antara manusia dengan makhluk Tuhan lainnya. Tiga belas leksia dalam lawas tradisi ponan paling banyak mengacu pada hubungan manusia dengan Sang Pencipta dan hubungan antarsesama manusia. Ini menunjukkan bahwa relasi manusia secara vertikal dan horizontal harus seimbang. Abstract: The purpose of this research is to describe the meaning of lawas spirituality in the ponan tradition in Poto Village, Moyo Hilir District, Sumbawa Besar through the semiotic perspective of Roland Barthes. The methods used in data collection, namely observation, interviews, and documentation. Methods of data analysis using descriptive qualitative method. The results of this study found as many as 13 lexia in 99 lawas stanzas of the ponan tradition, namely kewa singin Nene kita, Gapar nomo tengan mole, tutit ai kurang ujan, tusenramo lako Nene, ngayapmo lako Sang Raja, peno tudatang bajango, desa darat senap semu, kareng olo pang panungkas, tanda nongka turet adat, sala lema ngeneng ampin, desa tau no to manto, siwa puluh siwa, and palangan dunia aherat. The results of the lexia analysis show that lawas spirituality in the ponan tradition includes the dependence of human life as a servant and the Creator, the dependence of humans on other humans, the interdependence of humans on nature, and the interdependence of humans on other God's creatures. The thirteen lexia in the lawas ponan tradition mostly refer to the human relationship with the creator and the relationship between human beings. This shows that vertical and horizontal relations must be balanced.
Kesempurnaan Wong Menak dalam Wayang Sasak Muh. Syahrul Qodri
PANGGUNG Vol 28 No 3 (2018): Identitas Kelokalan dalam Keragaman Seni Budaya Nusantara
Publisher : LP2M ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26742/panggung.v28i3.471

Abstract

AbstractThe problem discussed in this article is the values of perfection in the main character of Jayengrana in Wong Menak story of Wayang Sasak in its relation to other figures in the puppet. To explore this issue, the analysis method used is Roland Barthes’ semiotic perspective. Data were collected from interviews and literature study. After applying the stages of semiotic analysis, which is based on 5 codes of Roland Barthes’ semiotics (i. e. hermeneutic, connotation, symbolic, proaretic, and cultural codes), it can be concluded that the perfection of Wong Menak story lies on the glory of himself as wong menak as represented through the his nicknames which prevails on every journey of life. This is because of his ability to manage the five characters that exist in companions and manifest themselves in wong menak itself. Keywords: perfection, wong menak, puppet sasak. AbstrakMasalah yang dibahas dalam artikel ini adalah tentang nilai kesempurnaan yang dimiliki oleh tokoh utama Jayengrana dalam Wong Menak di dalam Wayang Sasak yang dikaitkan dengan tokoh-tokoh lainnya dalam wayang tersebut. Untuk mengupas persoalan tersebut, metode analisis yang digunakan adalah semiotika perspektif Roland Barthes. Data yang dianalisis adalah data dari hasil wawancara dan studi pustaka. Setelah melewati tahapan analisis semiotika yang berlandaskan pada lima kode Roland Barthes (yaitu kode hermeneutik, konotatif, simbolik, proaretik, dan kode kultural), dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kesempurnaan Wong Menak terletak pada kejayaan dirinya sebagai wong menak yang direpresentasikan lewat nama-nama julukan yang disandangnya, sehingga senantiasa berjaya pada setiap perjalanan kehidupannya. Hal ini disebabkan oleh kemampuannya mengelola kelima karakter yang ada pada diri sahabat-sahabatnya dan  menyatu dalam diri wong menak itu sendiri. Kata kunci: kesempurnaan, wong menak, wayang sasak