Zulfiqar Bhisma Putra Rozi
Unknown Affiliation

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

PANDANGAN HUKUM ISLAM MENGENAI YURISPRUDENSI TENTANG DELIK ZINA DALAM PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA NASIONAL Zulfiqar Bhisma Putra Rozi
Jurnal Pro Hukum : Jurnal Penelitian Bidang Hukum Universitas Gresik Vol 8 No 2 (2019): Jurnal Pro Hukum: Jurnal Penelitian Bidang Hukum Universitas Gresik
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Gresik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (387.012 KB) | DOI: 10.55129/jph.v8i2.967

Abstract

Latar Belakang dari Penelitian ini adalah adanya kelemahan terkait pengaturan atas Tindak Pidana zina sebagaimana yang diatur dalam pasal 284 KUHP yang mana pada pasal tersebut pemidanaannya terbatas pada ruang lingkup perkawinan dan Tidak dapat dipidana bila kedua pelakunya masing-masing masih sama-sama tidak terikat perkawinan. Hal ini mengacu kepada konsep rumusan KUHP yang merupakan adopsi dari Wetboek van Straftrecht Belanda yang menganggap persetubuhan yang dilakukan oleh kedua pelaku yang masing-masing sama-sama tidak sedang terikat perkawinan tidak dianggap sebagai delik zina karena berasumsi tidak adanya korban yang dirugikan. Sementara menurut hukum islam persetubuhan kategori apapun tetap dianggap sebagai perzinaan dan dapat dikenakan hukuman. Untuk dapat mengakomodir kelemahan dalam rumusan pasal 284 KUHP tersebut, dengan berdasarkan pada UU Kekuasaan Kehakiman maka Hakim diberi kewenangan untuk menggali dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat agar dapat memutuskan perkara. Selanjutnya putusan hakim tersebut menjadi Yurisprudensi bagi hakim selanjutnya untuk kasus yang serupa. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dimana penulis melakukan pengkajian dari studi peraturan perundang-undangan serta putusan-putuan pengadilan yang berkaitan dengan tema penelitian sebagai kajian terhadap pembaharuan hukum pidana khususnya pada rumusan delik zina dalam pasal 284 KUHP. Kata kunci:Yurisprudensi, Pasal 284, KUHP, Perzinaan, Hukum Pidana Nasional, Hukum Islam AbstractThe background of this research is the weaknesses related to the regulation of adultery as stipulated in article 284 of the Criminal Code which in that article the punishment is limited to the scope of marriage and cannot be convicted if the two perpetrators are still each not bound by marriage. This refers to the concept of the Criminal Code formulation which is the adoption of Wetboek van Straftrecht of the Netherlands which considers intercourse committed by both actors who are both not currently bound by marriage is not considered as an adultery offense because it assumes there are no injured victims. While according to Islamic law intercourse, any category is still considered adultery and may be subject to punishment. To be able to accommodate the weaknesses in the formulation of article 284 of the Criminal Code, based on the Judicial Power Act, the Judge is given the authority to explore the values that apply in the community in order to decide on a case. Furthermore, the judge's decision becomes Jurisprudence for the next judge in a similar case. This research was conducted using the normative juridical research method in which the writer conducted a study of the study of legislation and court rulings relating to the research theme as a study of criminal law reform, especially in the formulation of zina adultery in article 284 of the Criminal Code. Keywords:Jurisprudence, Article 284, Penal Code, Adultery, National Criminal Law, Islamic Law
BENTUK PERLINDUNGAN DAN JAMINAN HAK PEKERJA/BURUH OUTSOURCING PADA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-IX/2011 Mashudi Mashudi; Zulfiqar Bhisma Putra Rozi; Sugeng Prayitno
Jurnal Pro Hukum : Jurnal Penelitian Bidang Hukum Universitas Gresik Vol 8 No 2 (2019): Jurnal Pro Hukum: Jurnal Penelitian Bidang Hukum Universitas Gresik
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Gresik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (487.588 KB) | DOI: 10.55129/jph.v8i2.1003

Abstract

Keberadaan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja atau dalam istilah lain disebut outsourcing bagi sebagian orang dinilai seperti perbudakan gaya modern. Dinilai demikian karena perusahaan tersebut seolah-olah memperdagangkan tenaga kerja sebagai pemenuhan terhadap kebutuhan pelaku usaha. Namun bagi sebagian orang lainnya pendapat demikian tak sepenuhnya benar. Perlindungan pekerja/buruh outsourcing diatur dalam Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Namun setelah adanya uji materi pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 menganulir ketentuan dalam Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.