Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN TERKAIT PEMBERANTASAN KORUPSI Mirza Sahputra; Husniati
Jurnal Transformasi Administrasi Vol 11 No 01 (2021): JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI
Publisher : Puslatbang KHAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56196/jta.v11i01.181

Abstract

Based on the report from Corruption Eradication Commission, notes that since 2014 to 2019 there were 34 members of the DPR and DPRD, 164 Ministry Officials and Institutions, 39 BUMN and BUMD officials, 75 Provincial Government Officials and 227 Officials of District and city governments involved in corruption and abuse of authority cases. Therefore, the Government form the Law No. 30 Year 2014 on Government Administration is to ensure government agencies/officials use their authority in accordance with the provisions applied. This study resulted in several conclusions, including the minimum implementation of the Law of Government Administration as the main reference for agencies and/or government officials in efforts to improve the quality of government administration. Lack of understanding, commitment and the role of each stakeholder, have several implications for the minimum contribution of UUAP as an instrument for preventing criminal acts of corruption and in handling abuse of power cases.
PERKEMBANGAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA PADA MASA PANDEMI Mirza Sahputra
Jurnal Transformasi Administrasi Vol 11 No 01 (2021): JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI
Publisher : Puslatbang KHAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56196/jta.v11i01.187

Abstract

Perkembangan masyarakat cenderung selangkah lebih maju dari perkembangan hukum, tentu saja hukum harus bisa mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat. Perkembangan Hukum Administrasi Negara yang berifat dinamis tentu saja harus bisa menjawab permasalahan hukum yang terjadi dalam masyarakat. Membuat suatu kebijakan tentu saja merupakan kewenangan dari Pemerintah. Proses pembuatan kebijakan tersebut tentu harus disesuaikan dengan kondisi dan keadaan yang terjadi dalam masyarakat yaitu dengan memperhatikan unsur filosofi, yuridis dan sosiologis sehingga aturan tersebut dapat dilaksanakan dan diterima oleh masyarakat. Hukum Administrasi Negara merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari tata kelola pemerintahan yang baik (Good Government). Lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan merupakan terobosan dalam perkembangan hukum administrasi negara. Salah satu yang melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yaitu pejabat pemerintahan mempunyai hak untuk mengambil diskresi dan memperoleh perlindungan hukum dalam menjalankan tugasnya. Kondisi saat ini pemerintah dihadapkan dengan masa pandemi covid 19 yang masih mewabah di dunia tidak terkecuali di Indonesia. Pemerintah dituntut oleh masyarakat agar dapat mengambil kebijakan-kebijakan yang tepat dan cepat untuk menanggulangi wabah pandemi covid 19. Tentu saja diskresi kebijakan merupakan jawaban terhadap permasalahan yang sedang terjadi di masyarakat. Tujuan dari diskresi yaitu 1) Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; 2) Mengisi kekosongan hukum; 3) Memberikan kepastian hukum; dan 4) Mengatasi stagnansi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Untuk mengambil kebijakan diskresi di tengah pandemi saat ini bukanlah hal yang mudah, dimana ancaman pidana korupsi tentu “menghantui” para pengambil kebijakan. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan bisa menjadi jawaban atas ketakutan yang dihadapi para pengambil kebijakan. Sehingga dengan adanya pengambilan diskresi yang cepat dan perlindungan hukum yang diatur dalam Undang-Undang 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dapat menjadi dasar kebijakan yang cepat dan tepat yang diputuskan oleh pejabat pemerintahan dalam menangani wabah covid 19.
RESTORATIVE JUSTICE SEBAGAI WUJUD HUKUM PROGRESIF DALAM PERATURAN PERUDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Mirza Sahputra
Jurnal Transformasi Administrasi Vol 12 No 01 (2022): JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI
Publisher : Puslatbang KHAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56196/jta.v12i01.205

Abstract

Saat ini banyak penyelesaian tindak pidana yang dilakukan dengan pendekatan Restrorative Justice baik di tingkat kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan. Hal ini tentu menjukan hal positif terkait penegakan hukum di Indonesia. Indonesia sebagai negara yang menganut sistem hukum civil law yang megedepankan hukum posif dalam proses penegakan hukumnya. Salah satu ciri dari sistem hukum civil law yaitu adalah hakim seagai corong undang-undang. Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang menitik beratkan kepada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan, bagi pelaku adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, hal tersebut merupakan salah satu tujuan hukum yaitu keadilan selain dari kepastian hukum dan dan kemanfaatan. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana konsep restorative justice sebagai wujud hukum progresisf dalam peraturan perudang-udanngan di Indonesia?. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep restroratice justice sebagai wujud hukum progresif dalam peraturan perudang-udanngan di Indonesia. Adapun hasil penelitian menunjukan bahwa penerapan restroactive justice atau keadilan restoratif telah diterapkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan dan peraturan teknis lainnya. Penerapan keadilan restoraktif sudah diterapkan di beberapa peraturan perundang-undangan dan beberapa peraturan teknis terkait penerapan keadilan restoraktif (restoractive justice) dengan pendekatan deversi yaitu penyelesaian perkara di luar persidangggan. Bahwa penerapan keadilan restoraktif ini merupakan tonggak baru dalam pembaharuan reformasi hukum pidana (criminal justice system) yang masih mengedepankan hukum penjara.
A Comparative Analysis of Smoke-Free Compliance in Aceh Heru Syah Putra; Mirza Sahputra; Muazzinah
Jurnal Promkes: The Indonesian Journal of Health Promotion and Health Education Vol. 12 No. SI2 (2024): Jurnal Promkes: The Indonesian Journal of Health Promotion and Health Educat
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/jpk.V12.ISI2.2024.113-118

Abstract

Background: Aceh Province has a smoke-free area policy. At the district level, 22 of 23 have implemented the policy. However, the effectiveness has varied significantly. One aspect of concern is compliance with establishing indoor smoke-free environments. Aims: This study conducts a comparative analysis of the success of implementing smoke-free policies in Aceh. Methods: The effectiveness is calculated based on seven indoor compliances: signage, cigarette butt, smoking, ashtray, the smell of smoke, selling, as well as cigarette advertising/promotion/ sponsorship. The data utilized are from compliance surveys conducted by the Aceh Institute in 2022 and 2023. Results: The average signage compliance is 28.45 percent with Banda Aceh City having the highest compliance at 50,8 percent. Regarding compliance with no smoking activities, the average is 88.48 percent. However, the existence of cigarette butt is relatively high, with an average of 17,69 percent with Nagan Raya having the lowest rate. This study finds three main conditions related to the effectiveness of a smoke-free policy. First, the commitment of the government to disseminate, implement, and monitor the policy. More activities conducted by the government seem to increase compliance. Second, the collaboration between government and stakeholders. Collaboration is encouraged in the policy for more effective implementation. Third, resources to implement the policy. Adequate resources improve the implementation such as the signage coverage and policy enforcement. Conclusion: The compliance level of the smoke-free policy varies in each district in Aceh. Factors that influence it are commitment, collaboration, and availability of resources.