Ketut Suardana, Ketut
Unknown Affiliation

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

KERJA SURFAKTAN DALAM PEMATANGAN PARU BAYI PRETERM Suardana, Ketut
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 1, No 2 (2013)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pada mamalia seluruh permukaan alveolar parunya dilapisi oleh lapisan tipis kontinyu yang disebut alveolar lining layer yang di dalamnya mengandung surfaktan paru. Surfaktan paru merupakan materi kompleks yang terdiri dari lipid dan protein yang disekresi oleh pneumosit tipe II yang melapisi alveoli. Sel ini mulai muncul pada sekitar usia kehamilan 21 minggu dan mulai memproduksi surfaktan pertamakali antara minggu ke 28 dan 32 kehamilan. Surfaktan memegang peranan penting dalam fisiologi paru.. Fosfolipid utama penyusun surfaktan adalah fosfatidilkolin (disebut juga lesitin) dan fosfatidilgliserol. Protein komponen penyusun surfaktan terdiri dari empat surfactant-related proteins, yaitu dua protein hidrofilik (SP-A dan SP-D) dan dua protein hidrofobik (SP-B dan SP-C).   Fungsi utama dari lapisan surfaktan ini adalah menurunkan tegangan permukaan pada antar-muka air udara lapisan cairan alveoli, sehingga mekanisme normal pernapasan dapat terus berlangsung. Kedua, adalah mempertahankan stabilitas alveoli dan mencegah alveoli menjadi kolaps. Ketiga, surfaktan dapat mencegah terjadinya udem paru. Fungsi tambahan lain adalah berkaitan dengan imunologi yaitu melindungi paru dari cedera dan infeksi yang disebabkan oleh partikel atau mikroorganisme yang terhirup saat bernafas   Defisiensi atau disfungsi surfaktan menyebabkan penyakit pernapasan yang berat. Respiratory distress syndrome (RDS) pada neonatus merupakan bentuk penyakit akibat defisiensi surfaktan yang sering ditemukan dan ini berkaitan erat dengan prematuritas. RDS merupakan suatu kondisi pada bayi premature yang memberi gambaran klinis berupa peningkatan usaha napas, penurunan komplians paru, atelektasis yang nyata (kolaps alveoli) dengan gambaran penurunan FRC, gangguan pertukaran gas dan udem interstisial yang luas.   Terapi surfaktan secara cepat meningkatkan jumlah baik alveoli maupun jaringan interstisial sekitarnya. Surfaktan eksogen yang diberikan akan diambil oleh sel tipe II dan kemudian diproses untuk kemudian diresekresi. Surfaktan eksogen yang diberikan akan bertahan di paru dan tidak cepat mengalami degradasi. Dosis terapi surfaktan eksogen yang diberikan tidak menyebabkan umpan balik negatif berupa hambatan sintesis fosfatidilkolin ataupun protein surfaktan endogen.Hingga saat ini tidak ditemukan adanya konsekuensi metabolik atau perubahan fungsi paru dengan pemberian terapi surfaktan.   Kemajuan riset mengenai terapi surfaktan pada kasus RDS dan penyakit paru neonatus lainnya telah memberikan manfaat yang besar terhadap luaran bayi yang dilahirkan. Namun tingginya harga preparat surfaktan telah membatasi penggunaannya secara luas di berbagai negara. Untuk itu di masa mendatang diperlukan penelitian lanjutan untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak akan preparat surfaktan dengan harga yang lebih murah.
PERAN STRES OKSIDATIF PADA ABORTUS Suardana, Ketut
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 3, No 5 (2015)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abortus merupakan komplikasi kehamilan yang paling sering terjadi. Kehamilan dapat berakhir dengan terjadinya abortus, baik itu abortus iminens, insipien, inkomplit maupun komplit. Sebagian besar abortus terjadi pada trimester pertama. Diperkirakan kejadian abortus spontan (miscarriages) tinggi pada wanita sejak saat konsepsi namun sebagian besar kejadian tersebut tanpa disadari karena diduga suatu haid biasa.1,2 Penyebab abortus tidak selalu jelas, begitu banyak etiologi yang menyebabkan, diantaranya kelainan kromosom pada fetus, faktor ibu seperti infeksi, nutrisi, mioma uteri.2 Saat ini dari perkembangan penelitian terhadap plasenta, muncul teori yang menghubungkan stres oksidatif yang terjadi pada saat proses plasentasi dengan patofisiologi terjadinya abortus.5,6 Beberapa penelitian terbaru menunjukkan stres oksidatif atau ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan pada jaringan uteroplasenta memegang peran penting dalam berbagai penyakit termasuk abortus.7 Radikal bebas mempunyai sifat sangat reaktif dan dapat mengubah molekul menjadi radikal. Radikal bebas merupakan suatu bentukan yang dihasilkan oleh pernapasan secara aerob dan reaksi metabolik yang lain. Oksigen paling banyak digunakan selama proses oksidasi dan dikonversi menjadi air, tetapi 1-2% akan menjadi oksigen reaktif terutama superokside (O2-), hidroksil (OH-) dan hidroperoksil (H2O2). Metabolit anion ini sangatlah reaktif dan membutuhkan antioksidan untuk menetralisirnya.7 Terdapat 3 kelompok antioksidan dalam tubuh manusia yaitu: Primer yang bekerja dengan cara mencegah pembentukan radikal bebas yang baru serta mengubah radikal bebas menjadi molekul yang tidak berbahaya ( superoksid dismutase, glutation peroksidase dan katalase), sekunder yang berguna untuk menangkap radikal dan mencegah terjadinya reaksi berantai (Vitamin E, ? karoten, bilirubin dan albumin), dan tersier yang berguna untuk memperbaiki kerusakan biomolekuler yang disebabkan oleh radikal bebas ( DNA repair enzyme dan metionin sulfoksida reduktase).8 Apabila produksi ROS dan radikal bebas yang lain melebihi kapasitas penangkapan oleh antioksidan, maka akan menimbulkan suatu keadaan yang disebut stres oksidatif. Adanya stres oksidatif akan merusak lipid seluler, protein maupun DNA dan menghambat fungsi normal sel. Stres oksidatif pada sinsiotropoblas menyebabkan terjadinya degenerasi pada sinsisiotropobas dan pada akhirnya terjadi abortus.9