Aris Setyo Nugroho, Aris Setyo
Unknown Affiliation

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

PENERAPAN ASAS ITIKAD BAIK PADA FASE PRA KONTRAK DALAM HUKUM CIVIL LAW DAN COMMON LAW Nugroho, Aris Setyo
REPERTORIUM Vol 1, No 1 (2014)
Publisher : REPERTORIUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

AbstractThe principle of good faith is the foundation that underlies every major manufacture of agreement / contract. All models applicable legal system, both civil law and common law is always based on the principle of good faith to provide justice for the parties to make an agreement and a statement of entry into force of a treaty. civil law system to apply to the agreement since the negotiation stage or pre-contract. Unlike the common law system is declared valid since fulfilled the terms of a written agreement validity, but in the development of the theory of Estoppel raised to protect the parties.AbstrakAsas itikad baik merupakan landasan utama yang mendasari setiap pembuatan perjanjian/kontrak. Semua model system hukum yang berlaku, baik civil law maupun common law selalu berdasarkan atas asas itikad baik untuk memberikan keadilan bagi para pihak yang membuat kesepakatan dan sebagai pernyataan berlakunya suatu perjanjian. Sistem civil law menyatakan berlakunya perjanjian sejak tahap negosiasi atau pra kontrak. Berbeda dengan system common law yang dinyatakan berlaku sejak terpenuhinya syarat-syarat sahnya perjanjian secara tertulis, namun dalam perkembangan dimunculkan teori Estoppel untuk melindungi para pihak.
KONTRADIKSI GUGATAN SEDERHANA DALAM UPAYA MEWUJUDKAN PERADILAN SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN Aris Setyo Nugroho
RECHTSTAAT NIEUW: Jurnal Ilmu Hukum Vol. 6 No. 2 (2022): Maret 2022
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52429/rn.v6i2.116

Abstract

Gugatan Sederhana yang diatur dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana sebagaimana diubah dengan PERMA Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana menjadi pilihan upaya hukum bagi Kreditor dalam mengatasi persoalan kredit macet oleh debitor, serta tantangan untuk mencapai tujuan peradilan yang Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan. Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif, dengan data sekunder berupa studi kepustakaan, serta menggunakan metode analisis secara kualitatif dari data yang diperoleh dianalisa dan ditarik kesimpulan. Hasil pembahasan penyelesaian melalui gugatan sederhana dalam penyelesaian kredit diketahui bahwa penyelesaian kredit menggunakan gugatan sederhana dapat berpotensi menimbulkan permasalahan lain terkait dengan efektifitas dan efisiensi biaya yang tidak dapat terpenuhi menyebabkan mengurangi profit perbankan dalam jasa pemberian kredit, sehingga diperlukan kebijakan penentuan keputusan yang tepat serta analisa cost and benefit bagi perbankan, selain perlunya harmonisasi ketentuan peraturan perundang undangan terkait.
Pemberian Amnesti Dan Abolisi Dalam Tindak Pidana Korupsi: Tinjauan Hukum Dan Analisis Keadilan Prosedural Hidayah, Siti; Nugroho, Aris Setyo
Indonesian Journal of Law and Justice Vol. 2 No. 1 (2025): Indonesian Journal of Law and Justice
Publisher : CV. Kurnia Grup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61476/9xb5bh53

Abstract

The phenomenon of granting amnesty to Hasto Kristiyanto and abolition to Tom Lembong in 2025 has raised serious public debate, especially regarding the potential politicization of these legal instruments. Writer discusses the practice of granting amnesties and abolitions in corruption crimes in Indonesia, with a focus on analyzing procedural justice and legal proportionality. The research uses a normative juridical method with statutory, conceptual, and philosophical approaches. The results of the study show that the involvement of the Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) in the consideration of amnesty and abolition has the potential to shift the President's prerogative function into a negotiation and  political instrument. This condition can weaken the principle of justice, eliminate the deterrent effect, and damage legal consistency. Therefore, the amnesty and abolition mechanism needs to be reformulation to be in line with the principle of proportional justice and ensure legal certainty.