Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

Relationship of Serum Cortisol Levels with Postpartum Blues on Dystocia Labor Hartanto, Andree; Wantania, John J. E.; Sondakh, Joice M.M.
Indonesian Journal of Obstetrics and Gynecology Volume 7, No. 1 January 2019
Publisher : Indonesian Socety of Obstetrics and Gynecology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (69.525 KB) | DOI: 10.32771/inajog.v7i1.827

Abstract

Abstract Objective: To determine the relationship of elevated serum cortisol levels in the mother with dystocia labor Methods :this study was a prospective cohort, with mother who had dystocia labor as case group and mother with normal delivery as control group at RSUP Prof.DR.RD Kandou, and affiliation hospitals from October 2016 until March 2017. Data were analyzed With SPSS version 2.0 to see the significancy level. Results: from 32 cases, 16 cases with dysocystia labor and 16 cases with normal delivery. Of all cases with abnormal postpartum serum cortisol levels, the most were housewives with 14 cases (70%), based on educational level, most of whom below bachelor degree were 18 cases (90%). While cases with EPDS(Edinburgh postpartum depresson scale) score ≥10, found the most patients who underwent a cesarean section as many as 11 cases (68.75%). In the Mann-Whitney statistical test, it showed that serum cortisol levels (p=0.007) and EPDS score (p=0.001) had a significant relationship for risk of postpartum blues in dystocia labor. Conclusions: there was a significant relationship between serum cortisol levels and EPDS score with risk of postpartum blues on dystocia labor. Keywords: dystocia labor, EPDS score, postpartum blues, serum cortisol level.   Abstrak Tujuan : mengetahui adanya hubungan peningkatan kadar kortisol serum pada ibu dengan  persalinan distosia. Metode : penelitian ini adalah jenis kohort prospektif (cohort prospective), dengan kelompok ibu yang melahirkan dengan persalinan distosia sebagai kelompok kasusdan ibu yang melahirkan tanpa komplikasi persalinan sebagai kelompok kontrol di Bagian Kebidanan dan Kandungan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof.DR.R.D Kandou, dan RS jejaring mulai Oktober 2016 sampai Maret 2017.Data dianalisa dengan SPSS versi 2.0 untuk melihat tingkat kemaknaannya. Hasil : dari 32 subjek penelitian, 16 subjek dengan persalinan distosia dan 16 subjek dengan persalinan normal. Dari seluruh subjek penelitian yang mempunyai kadar kortisol serum postpartum abnormal,berdasarkan jenis pekerjaan, paling banyak adalah ibu rumah tangga dengan 14 subjek (70 %).Berdasarkan tingkat pendidikan, didapatkan paling banyak adalah SD,SMP,SMA sebanyak 18 subjek (90%). Sedangkan subjek yang mempunyai skor EPDS ≥ 10, ditemukan paling banyak subjek yang menjalani prosedur bedah sesar sebanyak 11 pasien (68,75%). Dalam uji statistik Mann-Whitney, menunjukkan bahwa kadar kortisol serum .(p=0.007) dan skor EPDS (p=0.001) mempunyai hubungan yang kuat untuk terjadinya postpartum blues pada persalinan distosia. Kesimpulan : terdapat hubungan bermakna kadar kortisol serum dan skor EPDS dengan postpartum blues pada persalinan distosia. Kata kunci :   kadar kortisol serum, persalinan distosia, postpartum blues, skor EPDS.
Gambaran Kehamilan dengan Luaran Makrosomia Periode Januari – Desember 2014 di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Osok, Stelaine; Wantania, John J. E.; Mewengkang, Maya E.
e-CliniC Vol 5, No 1 (2017): Jurnal e-CliniC (eCl)
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ecl.v5i1.14765

Abstract

Abstract: According to the American College of Obstetricians and Gynecologist and the World Health Organization, an infant who has a birth weight of more than 8 pounds (4.000 gram) is diagnosed as macrosomia. There are some risk factors that arise from fetal macrosomia such as diabetes, maternal obesity, and excessive weight gain during pregnancy. These risk are directly related to the birth weight of the infant and begin to increase substantially when birth weight exceeds 4.000 gram especially when it is more than 5.000 gram. This study was aimed to identify the description of pregnancy with macrosomia. This was a descriptive retrospective study. Data were obtained from patient records and survey in the Maternity Department of Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. The results showed that the number of total pregnancies with macrosomia were 202 from 3,347 cases. The most common cases were multigravida with macrosomia (128 cases), gestational age 37-40 weeks (80 cases), maternal weight 61-80 kg (97 cases), and caesarean section as the type of labor (115 cases). Additionaly, most of the macrosomia cases were found in male infants, birth weight 4,000-4,250 grams (88 cases), and suffered from asphyxia.Keywords: the pregnancy, macrosomia Abstrak: Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists and World Health Organization, bayi dengan berat lebih dari 8 ons, 13 ons (4.000 gram) disebut makrosomia. Beberapa faktor risiko yang terkait dengan janin makrosomia seperti diabetes serta ibu dengan obesitas dan kenaikan berat badan yang berlebihan selama kehamilan. Risiko ini secara langsung berhubungan dengan berat badan lahir bayi dan mulai meningkat secara substansial ketika berat badan lahir melebihi 4.500 gram dan terutama ketika melebihi 5.000 gram. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kehamilan dengan luaran makrosomia. Jenis penelitian ialah deskriptif retrospektif menggunakan catatan rekam medik pasien dan pendataan di bagian ruang bersalin RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Hasil penelitian mendapatkan jumlah kehamilan dengan luaran makrosomia sebanyak 202 dari 3.347 kasus yang tercatat dan terbanyak pada usia ibu 35-40 tahun (42 kasus). Luaran makrosomia terbanyak pada multigravida (128 kasus), usia kehamilan 37-40 minggu (80 kasus), berat badan ibu 61-80 kg (97 kasus), dan jenis persalinan seksio sesarea (115 kasus). Luaran makrosomia terbanyak pada bayi laki-laki dengan berat badan 4.000-4.250 gram (88 kasus), dan pada bayi asfiksia. Simpulan: Jumlah makrosomia sebanyak 202 kasus, terbanyak pada usia ibu 35-40 tahun, multigravida, usia kehamilan 37-40 minggu, berat badan ibu 61-80 kg, persalinan seksio sesarea, terbanyak pada bayi laki-laki dengan berat badan 4.000-4.250 gram dan bayi asfiksia.Kata kunci: gambaran kehamilan, luaran makrosomia
Perdarahan uterus abnormal - menoragia pada masa remaja Wantania, John J. E.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 8, No 3 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.8.3.2016.14147

Abstract

Abstract: WHO identifies adolescence as a period in human growth and development that occurs after childhood and before adulthood from age 10 to 19 years. Two large studies have shown that a greater increase in BMI in childhood is associated with earlier onset of puberty. In general, the age of menarche ranges relatively stable from 11 to 14 years with a median of 12.43 years. The average of menstrual cycle interval is 32.3 days in the first reproduction year. After that, the interval of menstrual cycles generally ranges from 21 to 45 days. Duration of menstruation is 7 days or less. The use of tampons or pads are generally three to six pieces per day. Abnormal uterine bleeding (AUB) is defined as a significant change in the pattern of menstruation or the volume of blood discharge, and is the most common complaint in women. In early adolescence, 75% of adolescents experience abnormal uterine bleeding. Heavy menstrual bleeding (HMB) as well as heavy and prolonged menstrual bleeding (HPMB) is the preferred term for excessive menstrual bleeding. Medical treatment is performed as the initial treatment as long as there is no contraindication. When the acute bleeding has been handled, it is recommended to arrange a transition in the long-term treatmentKeywords: menstruation, teens, abnormal uterine bleeding (AUB)Abstrak: WHO mengidentifikasi remaja sebagai periode pada pertumbuhan manusia dan perkembangan yang terjadi setelah masa kanak-kanak dan sebelum dewasa, dari umur 10 sampai 19 tahun. Dua studi besar telah membuktikan bahwa peningkatan IMT yang lebih besar pada masa kanak-kanak berhubungan dengan onset pubertas yang lebih awal. Usia menarche umumnya relatif stabil berkisar antara 11 dan 14 tahun dengan median 12,43 tahun. Interval siklus rata-rata ialah 32,3 hari pada tahun reproduksi pertama dan interval siklus mentruasi umumnya 21-45 hari. Lama menstruasi ialah 7 hari atau kurang. Penggunaan tampon atau pembalut umumnya tiga sampai enam buah per hari. Perdarahan uterus abnormal (PUA) adalah perubahan signifikan pada pola atau volume darah menstruasi dan merupakan hal yang paling banyak dikeluhkan oleh wanita. Pada awal usia remaja, 75% remaja mengalami keluhan PUA. Perdarahan haid berat (heavy menstrual bleeding) dan perdarahan haid berat dan memanjang (heavy and prolonged menstrual bleeding) ialah istilah yang lebih sering digunakan untuk perdarahan haid yang berlebihan. Penanganan medis menjadi terapi awal bila tidak ada kontrindikasi. Bila perdarahan akut sudah ditangani, direkomendasikan untuk melakukan transisi pada penanganan jangka panjang.Kata kunci: menstruasi, remaja, perdarahan uterus abnormal (PUA)
IMMUNE MECHANISM OF PREECLAMPSIA Wantania, John J. E.
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 7, No 2 (2015): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.7.2.2015.9323

Abstract

Abstrak: Sampai saat ini etiologi preeklamsi masih belum jelas. Faktor-faktor imun diduga terlibat dalam mekanisme terjadinya preeklamsi. Faktor-faktor tersebut berperan penting dalam terjadinya preeklamsi tidak sebagai penyebab tunggal tetapi sebagai bagian dalam jalur yang sangat rumit. Peran faktor imun paternal, respons imun dini maternal (terutama yang berhubungan dengan sel NK), korelasi antara faktor imun dan angiogenik terhadap peran autoantibodi (AT-1) merupakan hal-hal penting untuk ditelusuri lanjut. Pemahaman yang detil terhadap patomekanisme sangat bermanfaat dalam penatalaksanaan preeklamsi.Kata kunci: preeklamsi, faktor imun, mekanismeAbstract: The etiology of preeclampsia remains unclear so far. It seems immunological factors are involved in preeclampsia mechanism. These factors play some important roles in the mechanism, not as a single factor but as a part in a complex pathway. The role of paternal immunological factors, early maternal immune response (especially related to NK cells), the correlation between immunological and angiogenic factors to the role of autoantibodies (AT-1) are the important points that are needed to be explored further. Thorough understanding about the patho-mechanism would be very useful in the management of preeclampsia itself.Keywords: preeclampsia , immunological factors, mechanism
Recurrent spontaneous fetal loss (RSFL) pada sindrom antifosfolipid Wantania, John J. E.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 8, No 2 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.8.2.2016.12696

Abstract

Abstract: Approximately 40-50% causes of recurrent spontaneous fetal death, often called the recurrent spontaneous fetal loss (RSFL), could not be identified so far. Antiphospholipid syndrome itself is one of the most common causes of RSFL and is responsible for approximately 16-36% of patients with RSFL. Various factors associated with the occurrence of the RSFL in APS are as follows: intrauterine growth restriction (IUGR), preeclampsia, premature placental separation, DVT, HELLP, and DIC at a normal fetal karyotype. Diagnosis includes clinical and laboratory criteria. Additional laboratory examinations have been developed and used to improve the predictive power and diagnostics. Repeat aPL antibodies examination may be required to increase the sensitivity and specificity of diagnosis. Other treatment options include the use of anticoagulants, corticosteroids, or any other modalities with regard to obsterics conditions.Keywords: recurrent spontaneus fetal loss, APSAbstrak: Sekitar 40-50% penyebab terjadinya kematian janin spontan berulang atau sering disebut pula dengan Recurrent Spontaneous Fetal Loss (RSFL) sampai saat ini tidak dapat diidentifikasi. Sindrom antifosfolipid sendiri adalah salah satu penyebab paling umum terjadinya RSFL dan bertanggung jawab pada sekitar 16-36% pasien dengan RSFL. Berbagai faktor yang terkait dengan terjadinya RSFL pada APS meliputi pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat (IUGR), preeklampsia, pemisahan plasenta prematur, DVT, HELLP, dan DIC pada kariotipe janin yang normal. Diagnosis mencakup kriteria klinis dan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium tambahan telah dikembangkan dan digunakan untuk meningkatkan kekuatan prediksi dan diagnostik. Pemeriksaan antibodi aPL berulang mungkin diperlukan untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas diagnosis. Pilihan penanganan antara lain dengan penggunaan antikoagulan, kortikosteroid, atau pun modalitas lain dengan tetap memperhatikan kondisi obsterik.Kata kunci: kematian janin spontan berulang, APS
Perbedaan Pengetahuan dan Sikap Remaja tentang Infeksi Menular Seksual di SMA/SMK Perkotaan dan Pedesaan Lanes, Erald J.; Mongan, Suzanna P.; Wantania, John J. E.
e-CliniC Vol 9, No 1 (2021): e-CliniC
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ecl.9.1.2021.31856

Abstract

Abstract: Premarital sexual behavior in adolescence is a high risk factor for sexually transmitted infections. Sexually transmitted infections (STIs) are infections that are generally transmitted through sexual contact. Differences in social, cultural, and economic factors were found to affect the incidence and prevalence of sexually transmitted infections between different groups in a population. These are likely caused by differences in the knowledge and attitudes of adolescents living in urban and rural areas. This study was aimed to obtain the differences in the level of knowledge and attitudes toward STIs of adolescents in urban and rural area schools. This was a descriptive study with a cross-sectional design conducted on 50 adolescents of urban senior high schools and 50 adolescents of rural senior high schools/vocational high schools. Questionnaires were distributed via email by using Google form. The results showed that adolescents living in urban areas had good knowledge about STIs meanwhile adolescents living in rural areas had fair knowledge. The attitudes about STIs of most adolescents living in urban areas and rural areas were good. In conclusion, adolescents living in urban areas had better knowledge about STIs than those living in rural areas, however, there was no significant difference in attitudes about STI between the two regions. Equal distribution of education in Indonesia is needed in urban as well as in rural areas.Keywords: sexually transmitted infections, adolescents, knowledge, attitudes, urban and rural Abstrak: Perilaku seksual pranikah pada usia remaja merupakan faktor risiko tinggi terhadap infeksi menular seksual (IMS). Infeksi menular seksual merupakan infeksi yang umumnya ditularkan melalui hubungan seksual. Perbedaan faktor sosial, kultural maupun ekonomi dapat memengaruhi insiden dan prevalensi IMS antara kelompok yang berbeda dalam suatu populasi. Hal tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh adanya perbedaan pengetahuan dan sikap remaja yang tinggal di wilayah perkotaan dan pedesaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat pengetahuan dan sikap remaja terhadap IMS di sekolah wilayah perkotaan dan pedesaan. Jenis penelitian ialah deskriptif dengan desain potong lintang dan kuesioner didistribusikan secara daring menggunakan Google Form. Responden ialah 50 remaja di SMA wilayah perkotaan dan 50 remaja di SMA/SMK wilayah pedesaan. Hasil penelitian mendapatkan bahwa pengetahuan remaja tentang IMS pada siswa SMA perkotaan sebagian besar berada dalam kategori baik sedangkan pada siswa SMA/SMK pedesaan sebagian besar berada dalam kategori cukup. Sikap remaja tentang IMS pada siswa SMA/SMK perkotaan dan pedesaan sebagian besar baik. Simpulan penelitian ini ialah remaja perkotaan memiliki pengetahuan yang lebih baik mengenai IMS dibandingkan remaja di pedesaan namun tidak terdapat perbedaan sikap remaja yang bermakna mengenai IMS antara kedua wilayah. Pemerataan pendidikan di Indonesia dibutuhkan di wilayah perkotaan dan pedesaan.Kata kunci: infeksi menular seksual, remaja, pengetahuan, sikap, perkotaan dan pedesaan
Hubungan Psikologis Ibu Hamil dengan Kejadian Hiperemesis Gravidarum Rorrong, Jessica F.; Wantania, John J. E.; Lumentut, Anastasi M.
e-CliniC Vol 9, No 1 (2021): e-CliniC
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ecl.v9i1.32419

Abstract

Abstract: Nausea and vomiting are common problems in early pregnancy. Symptoms of nausea and vomiting in pregnant women that persist and get worse are called hyperemesis gravidarum. The causes of hyperemesis gravidarum are not exactly known, but it is supposed that they could be caused inter alia by psychological factors. This study was aimed to determine the relationship between the psychological state of pregnant women and the incidence of hyperemesis gravidarum. This was a literature review study by using three databases, namely Google Scholar, ClinicalKey, and Pubmed. The keywords used were psychological AND hyperemesis gravidarum. The result showed that the psychological conditions assessed in most literatures were anxiety disorders, depression, and stress. Pregnant women who suffered from anxiety and stress could trigger or worsen the depression. The higher level of anxiety would increase the chance of suffering from hyperemesis gravidarum. Therefore, pregnant women need additional psychological support during treatment and as a follow-up for pregnant women with hyperemesis gravidarum. In conclusion, the psychological state of pregnant women is related to the incidence of hyperemesis gravidarum.Keywords: psychological, hyperemesis gravidarum, nausea and vomiting Abstrak: Mual dan muntah merupakan masalah yang biasa terjadi pada awal kehamilan. Gejala mual dan muntah pada ibu hamil yang menetap dan bahkan bertambah berat disebut hiperemesis gravidarum. Faktor pemicu terjadinya hiperemesis gravidarum pada ibu hamil belum diketahui secara pasti, tetapi diperkirakan antara lain oleh faktor psikologis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan keadaan psikologis ibu hamil dengan kejadian hiperemesis gravidarum. Jenis penelitian ialah literature review dengan pencarian data menggunakan tiga database yaitu Google Scholar, ClinicalKey, dan Pubmed. Kata kunci yang digunakan yaitu psikologis /psychological AND hiperemesis gravidarum/hyperemesis gravidarum. Hasil penelitian mendapatkan bahwa kondisi psikologis yang dinilai pada sebagian besar literatur yang dikaji ialah mengenai gangguan kecemasan, depresi, dan stres. Ibu hamil yang mengalami cemas dan stres dapat memicu atau memperburuk terjadinya depresi. Tingkat kecemasan yang semakin tinggi akan meningkatkan peluang untuk mengalami hiperemesis gravidarum sehingga diperlukan dukungan psikologis tambahan selama perawatan dan sebagai tindak lanjut ibu hamil dengan hiperemesis gravidarum. Simpulan penelitian ini ialah keadaan psikologis ibu hamil berhubungan dengan kejadian hiperemesis gravidarum. Kata kunci: psikologis, hiperemesis gravidarum, mual dan muntah
Gambaran Kejadian Ketuban Pecah Dini (KPD) di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado Tahun 2018 Syarwani, Teuku I.; Tendean, Hermie M. M.; Wantania, John J. E.
Medical Scope Journal Vol 1, No 2 (2020): Medical Scope Journal
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/msj.1.2.2020.27462

Abstract

Abstract: Premature rupture of membrane (PROM) is the rupture of the membrane before delivery. This study was aimed to determine the profile of PROM based on maternal age, parity, occupation, duration of PROM, type of delivery, gestational age, and perinatal outcomes. This was a descriptive and retrospective study. Samples were delivery women who had PROM at gestational age≥ 37 weeks and <37 weeks at Prof. Dr. R. D. Kandou Manado form January 1 to December 31, 2018. The results showed a total of 78 patients of PROM. Most patients were 20-34 years (65.39%), senior high school educated (71.80%), housewifery (69.23%), multiparity (58.87%), PROM ≥24 hours (65.38%), gestational age ≥37 weeks (85.90%), cesarean delivery (85.90%), and Apgar score of 7-10 (79.48%). In conclusion, PROM patients in 2018 were more common in age 20-34 years, senior high school educated, housewifery, multiparity, PROM ≥24 hours, gestational age ≥37 weeks, cesarean delivery, and a perinatal outcome of Apgar score of 7-10 (79.48%)Keywords: premature rupture of membrane Abstrak: Ketuban pecah dini (KPD) adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kejadian KPD berdasarkan usia ibu, paritas, pekerjaan, lamanya ketuban pecah, jenis persalinan, usia kehamilan, dan luaran perinatal. Jenis penelitian ialah deskriptif retrospektif. Sampelpenelitian ini ialah ibu bersalin yang mengalami KPD pada usia kehamilan ≥37 minggu dan <7 minggu di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode 1 Januari -31 Desember 2018. Hasil penelitian mendapatkan total 78 kasus KPD yang terdiri dari ibu berusia 20-34 tahun (65,39%), pendidikan SMA (71,80%), IRT (69,23%), multipara (58,87%), ketuban pecah ≥24 jam (65,38%), usia kehamilan ≥37 minggu (85,90%), persalinan seksio sesarea (85,90%), dan Apgar score 7-10 (79,48%). Simpulan penelitian ini ialah kasus KPD pada tahun 2018 yang paling sering pada usia ibu 20-34 tahun, pendidikan SMA, IRT, multipara, ketuban pecah ≥24 jam, usia kehamilan ≥37 minggu, persalinan seksio sesarea, dan luaran perinatal Apgar score 7-10.Kata kunci: ketuban pecah dini
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dismenore pada Mahasiswa Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Ar-Rakhimi, Lintang; Wantania, John J. E.; Suparman, Erna
Health & Medical Sciences Vol. 2 No. 2 (2025): February
Publisher : Indonesian Journal Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47134/phms.v2i2.351

Abstract

Prevalensi kejadian dismenore di Indonesia cenderung tinggi yaitu mencapai 64,25%. Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi dismenorea di antaranya adalah usia menarche, lama menstruasi, status gizi, dan kebiasaan mengonsumsi makanan cepat saji. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara usia menarche, lama menstruasi, status gizi, dan kebiasaan mengonsumsi makanan cepat saji terhadap kejadian dismenore pada mahasiswa kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Metode: Penelitian kuantitatif, metode survei analitik, pendekatan cross sectional dengan menggunakan instrumen kuesioner dalam bentuk link Google form. Jumlah sampel menggunakan metode simple random sampling sebesar 319 orang Hasil: dari 319 orang responden terdapat 294 mahasiswi yang mengalami kejadian dismenore. Usia menarche, lama menstruasi, status gizi (IMT), dan konsumsi makanan cepat saji tidak berhubungan dengan kejadian dismenore pada mahasiswa kedokteran Universitas Sam Ratulangi (P-value>0.05). Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara usia menarche, lama menstruasi, status gizi (IMT), dan konsumsi makanan cepat saji dengan kejadian dismenore pada mahasiswa kedokteran Universitas Sam Ratulangi.
Hubungan antara Faktor Risiko dengan Kejadian Preeklampsia Berat Rumampuk, Tivan Z. S.; Tendean, Hermie M. M.; Wantania, John J. E.
e-CliniC Vol. 13 No. 1 (2025): e-CliniC
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ecl.v13i1.60184

Abstract

Abstract: Severe preeclampsia is a complication that occurs in pregnancy as well as childbirth, and is an advanced condition of preeclampsia that is not treated appropriately. Preeclampsia usually occurs after 20 weeks of pregnancy and is characterized by increased blood pressure and proteinuria. This study aimed to determine the relationship between risk factors including age, parity, education, number of antenatal care (ANC), history of preeclampsia, and history of hypertension with the incidence of severe preeclampsia. This was an analytical and observational with a cross sectional design. Samples were all maternity mothers who were treated and had complete medical record data at Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital Manado during years 2021-2022. The results showed that there were 910 laboring mothers including 214 laboring mothers with severe preeclampsia. The chi-square test obtained p-values of<0.05 for the relationships between risk factors namely age, history of preeclampsia, and history of hypertension with the incidence of severe preeclampsia, meanwhile, p-values of>0.05 for the relationships between risk factors namely parity, education, and number of ANC with the incidence of severe preeclampsia. In conclusion, there was a significant relationship between risk factors namely age, history of preeclampsia, history of hypertension with the incidence of severe preeclampsia, however, there was no significant relationship between risk factors namely parity, education, number of antenatal care with the incidence of severe preeclampsia at Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital Manado period 2021-2022. Keywords: severe preeclampsia; risk factors    Abstrak: Preeklampsia berat adalah komplikasi yang terjadi pada kehamilan serta persalinan dan merupakan kondisi lanjutan dari preeklampsia yang tidak ditangani dengan tepat. Preeklampsia biasanya terjadi setelah 20 minggu kehamilan ditandai dengan peningkatan tekanan darah dan proteinuria. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor risiko meliputi usia, paritas, pendidikan, jumlah antenatal care (ANC), riwayat preeklampsia, riwayat hipertensi dengan kejadian preeklampsia berat. Jenis penelitian ialah observasional analitik dengan desain potong lintang. Sampel penelitian ialah seluruh ibu bersalin yang dirawat dan memiliki data rekam medis lengkap di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode 2021-2022.  Hasil penelitian mendapatkan 910 ibu bersalin, diantaranya 214 ibu bersalin dengan preeklampsia berat. Hasil uji chi- square menunjukan nilai p<0,05 untuk hubungan antara faktor risiko usia, riwayat preeklampsia, dan riwayat hipertensi dengan kejadian preeklampsia berat, dan nilai p>0,05 untuk hubungan antara faktor risiko paritas, pendidikan, jumlah ANC dengan kejadian preeklampsia berat. Simpulan penelitian ini ialah  terdapat hubungan bermakna antara faktor risiko usia, riwayat preeklampsia, dan riwayat hipertensi dengan kejadian preeklampsia berat namun tidak terdapat hubungan bermakna antara faktor risiko paritas, pendidikan, jumlah antenatal care dengan kejadian preeklampsia berat di RSUP Prof Dr. R. D. Kandou Manado periode 2021–2022. Kata kunci: preeklampsia berat; faktor risiko