Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Perjanjian Sewa Menyewa yang Batal Demi Hukum Akibat Adanya Cacat Yuridis Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Amlapura Nomor 32/Pdt.G/2017/PN.Amp Rossita Meylinda; Pieter E. Latumeten; Sri Laksmi Anindita
Indonesian Notary Vol 3, No 1 (2021): Indonesian Notary
Publisher : Universitas Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (348.705 KB)

Abstract

Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik tidak luput dari adanya kelalaian sehingga dapat menimbulkan adanya cacat yuridis pada akta yang dibuatnya. Cacat yuridis berupa kepemilikan atas objek perjanjian pada akta tersebut yang bukan hak dari yang menyewakan membuat batal demi hukum perjanjian tersebut. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai bentuk dan substansi cacat yuridis perjanjian sewa menyewa yang didasarkan pada data/keterangan yang tidak benar dan bentuk tanggung jawab notaris akibat dari batal demi hukumnya akta perjanjian sewa menyewa yang dikeluarkannya. Untuk menjawab permasalahan tersebut metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang menitikberatkan pada penggunaan data sekunder dan bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian yang bersifat sistematis kualitatif. Berdasarkan hasil analisis dapat ditarik kesimpulan bahwa bentuk dan substansi cacat yuridis dalam perjanjian sewa menyewa nomor 57 tanggal 24 Mei 2007 disebabkan karena tidak terpenuhi syarat sahnya perjanjian keempat dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu sebab yang halal, tidak terpenuhinya point keempat tersebut menyebabkan aktanya menjadi batal demi hukum. Bentuk tanggung jawab atas batal demi hukumnya akta Notaris tersebut terdapat dalam Pasal 16 UUJN dan Pasal 1365 KUHPerdata. Notaris dalam menjalankan tugasnya harus dilakukan dengan ketelitian sesuai dengan Pasal 16 UUJN.Kata kunci : notaris, batal demi hukum, akta sewa menyewa
Tanggung Jawab Notaris/Ppat Terhadap Objek Jual Beli Berantai Milik Pihak Yang Tidak Tercatat Dalam Sertipikat Tanah (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 485/K/PDT 2018) Farah Fadilla; Pieter E. Latumeten; Daly Erni
Indonesian Notary Vol 3, No 1 (2021): Indonesian Notary
Publisher : Universitas Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (219.99 KB)

Abstract

Penulisan ini membahas kasus jual beli berantai atas objek sebidang tanah. Pada saat jual beli pertama kali dilakukan pada tahun 1991, Notaris/PPAT tidak menuntaskan pengurusan pensertipikatannya sehingga terjadi jual beli berikut dan berikutnya lagi atas tanah tersebut sampai empat kali di tahun 2010. Hal ini berujung pada sengketa ahli waris dari pembeli pertama yang mengganggu pembeli terakhir/pembeli ke empat. Sengketa dimulai di tahun 2013 di Pengadilan Negeri Kepanjen, berlanjut Kasasi dan selanjutnya Putusan Mahkamah Agung No. 485/K/Pdt 2018. Permasalahan yang diangkat adalah proses berlangsungnya jual beli oleh Notaris/PPAT dan tanggung jawab jawab Notaris/PPAT terhadap objek jual beli berantai atas tanah yang di dalam sertipikat tidak tertera nama pemilik tanah tersebut. Metode penelitian berbentuk yuridis normatif, dengan studi dokumen melalui penelusuran literatur atas data sekunder. Adapun pendekatan analisis menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini yaitu dalam penanganan suatu jual beli harus dilakukan secara berhati-hati dalam memeriksa dokumen kelengkapan para pihak dan mendampingi para pihak untuk menuntaskan pengurusan pengalihan hak atas tanah sampai terbitnya sertipikat. Notaris/PPAT dapat dikenakan sanksi baik berupa administratif dan perdata. Temuan penelitian ini adalah kepastian hukum atas pemilikan tanah menjadi sangat penting dan Notaris yang menerima protokol menjadi terlibat, turut terkena imbas dalam kasus ini selama lima tahun. Kata kunci: Notaris/PPAT, akta autentik, jual beli berantai.
Kabsahan Kesepakatan Lisan dalam Pembagian Warisan: Studi Kasus Putusan Nomor 18/PDT.G/2024/PN.MET Chyntia Felisiane; Pieter E. Latumeten
As-Syar i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga  Vol. 7 No. 3 (2025): As-Syar’i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga
Publisher : Institut Agama Islam Nasional Laa Roiba Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47467/as.v7i3.7971

Abstract

Inheritance is a legal event involving the transfer of assets from the deceased (the heir) to their successors, who may be related by blood, marriage, or by will. The right to control a parcel of land is generally one of the main interests of heirs. When there is more than one heir, a legal basis is required to formalize the distribution of land rights, which is done through a Deed of Joint Rights Distribution (Akta Pembagian Hak Bersama or APHB) prepared by a Land Deed Official (Pejabat Pembuat Akta Tanah or PPAT). This study employs a normative juridical method by examining various theories, concepts, and statutory regulations relevant to the topic, using legal norms as the primary reference. In this research, agreements that are mandated by law must be executed accordingly; failure to do so renders such agreements invalid, null and void by law, and considered as never having been formed. Consequently, the plaintiffs lack a legal basis to request a court order authorizing them to sign the APHB on behalf of the defendants. As a result, the legal status of land ownership cannot be officially transferred to the respective heirs in accordance with the planned distribution. The most significant implication for the parties involved, particularly the plaintiffs, is that the legal status of the inherited land remains unchanged due to the rejection of their claim. The findings of this study indicate that verbal agreements do not have binding legal force for all heirs, and that the legal implication of the court's decision is that the inheritance distribution cannot proceed in the absence of a court order mandating the partition of the land certificate in accordance with the plaintiffs' demands.