Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search

Hukum yang Dipergunakan dalam Kontrak Dagang Internasional Anindita, Sri Laksmi
Indonesian Journal of International Law
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1214.179 KB)

Abstract

International business contract basically is an agreement between two or more parties which has certain commercial value, where there is a foreign element. Nevertheless, the party in the international business contract has to be a legal entity which has the capability to act before the law. Furthermore, drafting an international business contract should not breach the regulation that govern the parties and formal regulation as where the contract is signed and prevailed. In an international business contract, it is common to mention the dispute settlement mechanism and the choice of law which will be used if a dispute arises. The common mechanism that is used is arbitration. However, the principle of Pacta Sunt Servanda, should not put aside the prevailing laws. Even though the contract stated that the parties has chosen arbitration as the mechanism for the dispute settlement, however if a party wish to file a bankruptcy petition, it should be filed to the bankcruptcy court and use the Bankcuptcy Act.
PERKEMBANGAN GANTI KERUGIAN DALAM SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP Sri Laksmi Anindita
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 3, No 2 (2017): Juli - Desember 2017
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1402.636 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v3i2.59

Abstract

Pelestarian atau pengelolaan lingkungan hidup harus didukung dengan penegakan hukum lingkungan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Kelangsungan kehidupan mahluk hidup dan kelestarian ekosistem secara serasi, selaras dan seimbang guna terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan adalah bagian dari hak asasi manusia yang harus dijaga oleh segenap komponen negara termasuk hakim dalam bidang yudikatif, karena lingkungan hidup tidak dapat membela haknya sendiri. Memulihkan keadaan lingkungan rusak yang dipandang sebagai kerugian ke keadaan semula berdasarkan putusan pengadilan setelah tidak tercapai kesepakatan diantara para pihak adalah tujuan ditempuhnya suatu sengketa keperdataan ke Pengadilan. Perkembangan pengajuan nilai ganti kerugian berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup sebagai peraturan pelaksana Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah hal yang menarik perhatian penulis dan menjadi materi yang akan dibahas dalam artikel ini. Hasil penelitian nomatif menggunakan teori keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan adalah adanya besaran nilai ganti kerugian yang berkeadilan lingkungan. Pemahaman para pihak (penggugat, tergugat dan hakim) terkait konsep perbuatan melawan hukum dan strict liability serta besaran ganti kerugian yang berkeadilan lingkungan akan sangat berguna untuk kelestarian lingkungan hidup Indonesia. Penulis juga memandang sudah saatnya dibentuk suatu peradilan khusus untuk perkara-perkara lingkungan hidup, mengingat spesifik dan semakin kompleks persoalan lingkungan hidup yang timbul akibat aktivitas rezim industri dan pembangunan infrastruktur.
PERKEMBANGAN GANTI KERUGIAN DALAM SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP Sri Laksmi Anindita
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 3, No 2 (2017): Juli - Desember 2017
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v3i2.59

Abstract

Pelestarian atau pengelolaan lingkungan hidup harus didukung dengan penegakan hukum lingkungan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Kelangsungan kehidupan mahluk hidup dan kelestarian ekosistem secara serasi, selaras dan seimbang guna terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan adalah bagian dari hak asasi manusia yang harus dijaga oleh segenap komponen negara termasuk hakim dalam bidang yudikatif, karena lingkungan hidup tidak dapat membela haknya sendiri. Memulihkan keadaan lingkungan rusak yang dipandang sebagai kerugian ke keadaan semula berdasarkan putusan pengadilan setelah tidak tercapai kesepakatan diantara para pihak adalah tujuan ditempuhnya suatu sengketa keperdataan ke Pengadilan. Perkembangan pengajuan nilai ganti kerugian berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup sebagai peraturan pelaksana Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah hal yang menarik perhatian penulis dan menjadi materi yang akan dibahas dalam artikel ini. Hasil penelitian nomatif menggunakan teori keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan adalah adanya besaran nilai ganti kerugian yang berkeadilan lingkungan. Pemahaman para pihak (penggugat, tergugat dan hakim) terkait konsep perbuatan melawan hukum dan strict liability serta besaran ganti kerugian yang berkeadilan lingkungan akan sangat berguna untuk kelestarian lingkungan hidup Indonesia. Penulis juga memandang sudah saatnya dibentuk suatu peradilan khusus untuk perkara-perkara lingkungan hidup, mengingat spesifik dan semakin kompleks persoalan lingkungan hidup yang timbul akibat aktivitas rezim industri dan pembangunan infrastruktur.
Analysis The Deed of Sale and Purchase Shares Pretends and Its Consequences on The Strength of The Deed Raissa Anjani; Sri Laksmi Anindita
LEGAL BRIEF Vol. 11 No. 2 (2022): Law Science and Field
Publisher : IHSA Institute

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (330.475 KB)

Abstract

In carrying out the sale and purchase of shares, Notary should ensure that the procedure for the transfer of shares is carried out in accordance with the law, because it can result the validity of the deed made by Notary. As happened in the case in Court Decision No. 1681 K/Pdt/2017, the Judges decided that the Deed of Sale and Purchase made by Notary was a fake deed. In this case, Notary also does not ask for proof of payment of the purchase of shares, so it is said that Notary does not apply the precautionary principle. What can make a Deed of Sale and Purchase as a fake Share Purchase Deed and what are the consequences fot the legal force of the deed are two problem formulations to be analyzed based on juridical research methods and qualitative analysis. From the results of the study, it was found that several factors caused a Deed of Sale and Purchase of Shares to be declared as a fake deed which then affected the legal force of the deed.
AKIBAT HUKUM PENJUALAN TANAH DARI HARTA BERSAMA TANPA PERSETUJUAN MANTAN PASANGAN (ANALISIS PUTUSAN NOMOR 183/PDT.G/2019/PN.BYW) Hafizh Prasetya Muslim; Sri Laksmi Anindita
JUSTITIA : Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora Vol 9, No 6 (2022): JUSTITIA : Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora
Publisher : Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (270.961 KB) | DOI: 10.31604/justitia.v9i6.3141-3152

Abstract

Pejabat Pembuat Akta Tanah memiliki kewenangan untuk membuat akta jual beli tanah. Tidak jarang tanah yang dijual merupakan tanah atas harta bersama suami-istri yang status pernikahannya telah berakhir karena perceraian namun belum dilakukan pembagian. Jika tanah tersebut dijual tetapi tidak terdapat persetujuan dari salah satu mantan pasangan, maka hal tersebut akan menimbulkan permasalahan.  Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu melakukan penelitian terhadap data sekunder. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu memberikan gambar secara menyeluruh tentang permasalahan yang sedang diteliti. Bahwa tidak adanya persetujuan dari salah satu mantan pasangan terhadap akta jual beli tanah atas harta bersama yang belum dibagi, membuat akta tersebut batal demi hukum karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 1320KUHPerdata yaitu sebab yang halal. Adanya perbuatan penjualan tanah tersebut merupakan perbuatan melawan hukum secara perdata. Sehingga nantinya Pejabat Pembuat Akta Tanah harus bertanggung jawab baik itu secara perdata, administrasi, serta kode etik karena kesalahannya tersebut.
Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Perjanjian Sewa Menyewa yang Batal Demi Hukum Akibat Adanya Cacat Yuridis Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Amlapura Nomor 32/Pdt.G/2017/PN.Amp Rossita Meylinda; Pieter E. Latumeten; Sri Laksmi Anindita
Indonesian Notary Vol 3, No 1 (2021): Indonesian Notary
Publisher : Universitas Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (348.705 KB)

Abstract

Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik tidak luput dari adanya kelalaian sehingga dapat menimbulkan adanya cacat yuridis pada akta yang dibuatnya. Cacat yuridis berupa kepemilikan atas objek perjanjian pada akta tersebut yang bukan hak dari yang menyewakan membuat batal demi hukum perjanjian tersebut. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai bentuk dan substansi cacat yuridis perjanjian sewa menyewa yang didasarkan pada data/keterangan yang tidak benar dan bentuk tanggung jawab notaris akibat dari batal demi hukumnya akta perjanjian sewa menyewa yang dikeluarkannya. Untuk menjawab permasalahan tersebut metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang menitikberatkan pada penggunaan data sekunder dan bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian yang bersifat sistematis kualitatif. Berdasarkan hasil analisis dapat ditarik kesimpulan bahwa bentuk dan substansi cacat yuridis dalam perjanjian sewa menyewa nomor 57 tanggal 24 Mei 2007 disebabkan karena tidak terpenuhi syarat sahnya perjanjian keempat dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu sebab yang halal, tidak terpenuhinya point keempat tersebut menyebabkan aktanya menjadi batal demi hukum. Bentuk tanggung jawab atas batal demi hukumnya akta Notaris tersebut terdapat dalam Pasal 16 UUJN dan Pasal 1365 KUHPerdata. Notaris dalam menjalankan tugasnya harus dilakukan dengan ketelitian sesuai dengan Pasal 16 UUJN.Kata kunci : notaris, batal demi hukum, akta sewa menyewa
Pembatalan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Di Bawah Tangan Terkait Pemenuhan Syarat Subyektif Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Malang Nomor 12/PDT.G/2017/PN MLG Devina Ruth Merida; Fully Handayani; Sri Laksmi Anindita
Indonesian Notary Vol 3, No 1 (2021): Indonesian Notary
Publisher : Universitas Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (297.17 KB)

Abstract

Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagai perjanjian pendahuluan karena jual beli belum dapat dilakukan karena ada sebab-sebab tertentu. Pelaksanaan suatu perjanjian merupakan tindakan hukum secara timbal balik yang memerlukan kerja sama dari dua pihak atau lebih untuk memunculkan akibat hukum. Penelitian ini membahas mengenai pemenuhan syarat subjektif terhadap Perjanjian Pengikatan Jual Beli di bawah tangan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Malang Nomor 12/PDT.G/2017/PN MLG. Penelitian dalam Tesis ini adalah penelitian Yuridis Normatif dengan menggunakan tipologi deskriptif yang menggunakan data sekunder, terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Penelitian ini menggunakan metode analisis data secara deskriptif analisis dengan pendekatan kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah perjanjian yang dibuat dengan berdasarkan ketentuan KUH Perdata, syarat pertama pada perjanjian adalah mengenai kesepakatan. Hal-hal yang harus diperhatikan sebagai syarat suatu perjanjian dapat dibatalkan adalah adanya penipuan, dimana penipuan selalu dianggap sebagai syarat batal dalam suatu perjanjian. Penuntutan pembatalan harus dilakukan melalui pengadilan sehingga yang membatalkan perjanjian adalah melalui putusan hakim. Berdasarkan Pasal 1321 KUH Perdata bahwa tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.Kata kunci : Perjanjian Pengikatan Jual Beli, syarat subjektif, pembatalan perjanjian.
KEWENANGAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DALAM PEMBUBARAN PERSEROAN TERBATAS DEMI KEPENTINGAN UMUM Alvin Victor Pandiangan; Sri Laksmi Anindita
Jurnal Darma Agung Vol 30 No 3 (2022): DESEMBER
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Darma Agung (LPPM_UDA)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46930/ojsuda.v30i3.2284

Abstract

Undang-undang memberikan tempat atau legalitas kepada kejaksaan dalam peradilan dalam proses perbubaran peseroan terbatas atas dasar pelanggaran kepentiingan umum atau pelanggaran aturan dan peraturan peseroan. Namun, menurut Undagn-Undagn Nomor 40 Tahun 2007 tentang Peseroan Terbatas, dirasa memiliki kendala terhadap melikuidasi Peseroan Terbatas. hal yang menjadi pokok problematika pada tulisan ini, dimana untuk mengetahui ketentuan memenuhi persyaratan pelanggaran kepentiingan umum sebagaimana terdapat pada aturan-aturan hukum mengenai peseroan terbatas dan apa kekuatan penuntutan untuk membatalkan peseroan terbatas dalam kaitannya dengan pelanggaran kepentiingan umum, Aturan dan Regulasi. Dalam kajian tulisan ini termasuk dalam penelitian hukum normatif dengan pendekatan konseptual, pendekatan hukum dan pendekatan historis. Peseroan terbatas adalah kegiatan yang dilakukan oleh peseroan terbatas yang melanggar kepentiingan umum, peraturan perundagn-undagnan, tetapi belum dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Penuntut umum berwenang mengusulkan perbubaran peseroan terbatas karena pelanggaran kepentiingan umum dalam Pasal 146 ayat (1) Undagn-Undagn Nomor 40 Tahun 2007 tentang peseroan terbatas. Undagn-undagn tersebut memberikan dasar hukum bagi Jaksa Agung untuk meminta perbubaran peseroan di pengadilan negeri berdasarkan sebab bahwa peseroan telah melakukan pelanggaran kepentiingan umum dan pelanggaran peraturan undagn-undagn. Ketika jaksa mengajukan permohonan untuk membubarkan perusahaan, undagn-undagn mengharuskan dia untuk membuktikan bahwa kepentiingan umum perusahaan telah dilanggar.
Cancellation of A Defective Deed of Grant By Law Because The Object Granted Was Not Made Before A Notary/PPAT Jessica Sim; Sri Laksmi Anindita
YURISDIKSI : Jurnal Wacana Hukum dan Sains Vol. 19 No. 2 (2023): September
Publisher : Faculty of Law, Merdeka University Surabaya, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55173/yurisdiksi.v19i2.200

Abstract

This research analyzes the cancellation of a gift deed which is legally flawed because the object being gifted was not made before a Notary/PPAT in the case study of the Kupang District Court decision number 298/PDT.G/2021/PN KPG. One way for someone to legally transfer their rights is by gift by making a gift deed before a Notary/PPAT. If the object being donated is land, then the grant transfer process must be carried out through PPAT. In this case, the Notary/PPAT concerned did not read and sign the deed which should have been carried out in the presence of the presenters and witnesses at the same time so that the deed did not become legally defective. This research uses normative juridical research methods that are analytical descriptive with secondary data. The legal materials used in this research are divided into three, namely primary legal sources consisting of civil law books, secondary legal sources consisting of law journals and tertiary legal sources consisting of legal dictionaries. The data analysis method used in this research is qualitative, namely the data is arranged in the form of a narrative. The deed of gift made by a Notary/PPAT is legally flawed which causes the deed to be null and void. The Notary/PPAT's actions can be held accountable administratively and civilly with sanctions in the form of a written warning and compensation.
PUTUSAN PENGADILAN PIDANA SEBAGAI DASAR PENGAJUAN GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM TERKAIT PELAKSANAAN UANG PENGGANTI Anindita, Sri Laksmi; Adnan, Lazuardi
Jurnal Hukum & Pembangunan
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Since Indonesia has known and enforced the concept of tort, an act regarded as tort is not only actions contrary to the law, but an act that violates the principles of propriety, the principles of thoroughness and cautionary principle also included in tort. Around 2010, it was found that the act of not fulfilling the decision of court which has binding power associated for compensatory money in cases of corruption becomes the basis of a tort lawsuit, where the problem is that court verdict is not a main legal source for countries which adopt civil law such as Indonesia. Therefore, this paper will explain more on regulation regarding lawsuit filing pursuant to Article 1365 Civil Code, particularly in terms of not implementing court decisions with binding power related to the fulfillment of payment of compensation in corruption