Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

STATUS HUKUM PEGAWAI PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA BERDASARKAN ATURAN HUKUM YANG TERKAIT DALAM APARATUR SIPIL NEGARA Muhammad Ilham; M. Hendra Pratama Ginting
Journal Law of Deli Sumatera Vol 1 No 2 (2022): Artikel Riset Mei 2022
Publisher : LLPM Universitas Deli Sumatera

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (270.364 KB)

Abstract

Manajemen aparatur sipil negara diarahkan berdasarkan pada perbandingan antara kompetensi dan kualifikasi yang diperlukan oleh jabatan dengan kompetensi dan kualifikasi yang dimiliki oleh calon dalam rekrutmen. Pegawai ASN berperan sebagai perencana, pelaksana dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, menjelaskan bahwa ASN (Aparatur Sipil Negara) terbagi menjadi 2 (dua) jenis Kepegawaian yakni PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang diangkat sebagai pegawai tetap oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan memiliki nomor induk pegawai secara nasional dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang diangkat sebagai pegawai dengan perjanjian kerja oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan kebutuhan instansi pemerintah dan ketentuan Undang-Undang yang berlaku. Pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara mempengaruhi kedudukan hukum bagi tenaga honorer sebab dalam ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara istilah tenaga honorer dihapus. Berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara tersebut membuat kedudukan tenaga honorer menjadi hilang. Hal ini terjadi dikarenakan ketentuan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 mendefinisikan istilah Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Sehingga secara otomatis kedudukan tenaga honorer menjadi hilang dan digantikan oleh Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Tenaga honorer itu berbeda dengan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) sebab pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) hanya sebagai pegawai kontrak dengan minimal kontrak 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang kontrak kerjanya apabila kinerja dari pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) itu baik. Hal ini bertolak belakang dengan undang-undang sebelumnya yang memberikan jalan bagi tenaga honorer untuk otomatis diangkat menjadi CPNS apabila telah cukup lama mengabdi di sebuah instansi pemerintah. Maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah masih tidak serius dalam menangani permasalahan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan tenaga honorer. Keywords: Aparatur Sipil Negara (ASN), Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), kedudukan hukum.
Peran dan Tanggung Jawab Notaris dalam Melindungi Pihak Ketiga Terkait dengan Pembuatan Akta Otentik : The Role and Responsibilities of Notaries in Protecting Third Parties in Relation to the Making of Authentic Deeds M. Hendra Pratama Ginting; Rica Gusmarani
Jurnal Kolaboratif Sains Vol. 8 No. 1: Januari 2025
Publisher : Universitas Muhammadiyah Palu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56338/jks.v8i1.6681

Abstract

Notaris adalah pejabat umum yang memiliki kewenangan untuk membuat akta otentik, suatu dokumen yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna di hadapan hukum. Pihak ketiga dalam konteks ini merujuk kepada individu atau entitas yang tidak terlibat langsung dalam penandatanganan akta, tetapi memiliki kepentingan yang terpengaruh oleh isi akta tersebut. Dengan mempertimbangkan kompleksitas dan pentingnya peran notaris dalam melindungi hak-hak pihak ketiga, maka perlu adanya kajian lebih mendalam tentang bagaimana notaris dapat berkontribusi dalam meningkatkan perlindungan hukum bagi pihak Ketiga. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran dan tanggung jawab notaris dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pihak ketiga terkait pembuatan akta otentik. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan terhadap bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa notaris memiliki kewajiban hukum untuk melakukan verifikasi data, menjamin keabsahan akta, dan melindungi kepentingan pihak ketiga. Analisis terhadap kasus-kasus sengketa tanah mengungkapkan bahwa kelalaian notaris dalam melakukan pemeriksaan dokumen dapat mengakibatkan kerugian signifikan bagi pihak ketiga. Penelitian ini juga mengidentifikasi adanya kelemahan dalam sistem pengawasan dan penegakan sanksi terhadap notaris yang lalai. Berdasarkan temuan tersebut, penelitian ini merekomendasikan penguatan regulasi, peningkatan kompetensi notaris melalui pelatihan intensif, dan optimalisasi mekanisme pengawasan. Kesimpulannya, peran notaris dalam melindungi pihak ketiga sangat krusial dan memerlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan aspek hukum, profesionalisme, dan etika untuk menjamin kepastian hukum bagi semua pihak yang terkait dengan akta notaris.
STUDI HUKUM TERHADAP UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2014 DAN ADAT DALIHAN NATOLU TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DARI PERDAGANGAN MANUSIA DI TAPANULI SELATAN Rica Gusmarani; M. Hendra Pratama Ginting
Semarang Law Review (SLR) Vol. 6 No. 2 (2025): Oktober
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/slr.v6i2.12445

Abstract

Human trafficking, particularly involving children as victims, is a grave infringement on human rights and a complex transnational crime. Children, as a vulnerable group, are often targeted due to poverty, lack of education, and weak legal protection systems. Law No. 35 of 2014 on Child Protection provides a national legal foundation to safeguard and restore the rights of child victims. Meanwhile, the community in South Tapanuli adheres to a traditional value system known as Dalihan Natolu, which emphasizes mutual respect and protection within its social structure, including children. The purpose of this study is to examine how much the synchronization of state law and customary law can reinforce efforts to prevent and address child trafficking. The research adopts a normative-empirical method through juridical and sociological approaches. The findings indicate that although customary law does not explicitly regulate human trafficking, fundamental principles of Dalihan Natolu, such as prohibitions against actions that tarnish family honor (somang), play a significant role in preventing child exploitation. Thus, integrating local customary values into national child protection strategies has great potential to enhance the effectiveness of legal implementation at the grassroots level.   Abstrak Pelanggaran hak asasi manusia yang sangat parah adalah perdagangan manusia, terutama yang melibatkan anak-anak sebagai korban dan menjadi kejahatan lintas negara yang kompleks. Anak sebagai kelompok rentan sering kali menjadi sasaran utama dalam praktik ini karena berbagai faktor, seperti kemiskinan, kurangnya pendidikan, serta lemahnya sistem perlindungan hukum. Untuk menjamin perlindungan dan pemulihan hak-hak anak korban, Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak membentuk landasan hukum nasional. Di sisi lain, masyarakat Tapanuli Selatan memiliki sistem nilai adat yang dikenal dengan Dalihan Natolu, yang menekankan prinsip saling menghormati dan melindungi dalam struktur sosial, termasuk terhadap anak-anak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sejauh mana sinkronisasi antara norma hukum negara dan norma hukum adat dapat saling menguatkan dalam upaya mencegah dan menangani perdagangan anak. Metode penelitian normatif-empiris menggunakan yuridis dan sosiologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun hukum adat tidak secara eksplisit mengatur tentang perdagangan manusia, nilai-nilai dasar dalam Dalihan Natolu seperti larangan melakukan tindakan yang mencemarkan martabat keluarga (somang) berperan penting dalam mencegah eksploitasi anak. Oleh karena itu, integrasi hukum adat ke dalam strategi perlindungan anak di tingkat lokal sangat potensial untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan hukum positif.