Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

The UN Security Council and Climate Change: From ‘Cold War’ to ‘Warming War’ Mulyana, Imam
Padjadjaran Journal of International Law Vol 3, No 2 (2019): PJIL VOLUME 3, NUMBER 2, JUNE 2019
Publisher : Padjadjaran Journal of International Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (449.428 KB)

Abstract

AbstractThe impacts of climate change around the world have become global concern at both national and international level. A broad scheme of international cooperation to mitigate their impacts has been engaged through several international legal frameworks. However, such efforts are considered insufficient to stem the consequences and causes of climate change. It is therefore important to examine a proper legal enforcement mechanism for the climate change issues. This paper thus starts with explaining the scope and definition of climate change and sees whether it has correlation with the security issues. It is followed by examining the authority of the UN Security Council (UNSC) vested in the UN Charter and observes whether it has authorisation in enforcing the climate change issues. Although, as a result of its examination, this article finds that UNSC mechanism widen possible measures in enforcing climate change?s issues rather than other existing mechanisms under international law, it still suggests that UNSC mechanism shall only be used as a last resort after the other enforcement mechanisms are exhausted.Keywords: climate change, threat to international peace and security, UN Security Council. AbstrakDampak perubahan iklim di berbagai belahan dunia telah menjadi perhatian negara-negara tidak saja di tingkat nasional tetapi juga di tingkat internasional. Upaya untuk menanggulangi dampak dari perubahan iklim melalui sejumlah kerja sama internasional telah secara luas dilakukan namun belum mampu mencegah penyebab dan menghentikan dampak dari perubahan iklim tersebut. Dengan demikian, penentuan mekanisme penegakan hukum yang paling tepat dalam memeriksa kasus perubahan ilklim ini merupakan hal yang penting. Tulisan ini dimulai dengan penjelasan fenomena perubahan iklim dan hubungannya dengan isu keamanan. Pertama-tama artikel ini membahas ruang lingkup dari perubahan iklim dan kewenangan Dewan Keamanan (DK) PBB. Oleh karena itu, sebagai upaya untuk mencari cara lain dalam penanggulanan dampak dari perubahan iklim, sangatlah penting untuk memahami serangkaian otoritas yang dimiliki DK PBB. Tulisan ini berkesimpulan bahwa mekanisme DKPBB ternyata menunjukan kemungkinan yang lebih luas dalam hal penerapan sanksi yang lebih memaksa dan lebih mengikat dibanding mekanisme lain yang telah ada saat ini sebagai mekanisme untuk menanggulangi perubahan iklim. Meskipun tulisan ini menyimpulkan bahwa Dewan Keamanan PBB mempunyai kewenangan hukum untuk mengatasi masalah perubahan iklim, akan tetapi mekanisme internasional yang lain diluar mekanisme Dewan Keamanan PBB harus tetap menjadi prioritas dan dijalankan terlebih dahulu.Kata kunci: perubahan iklim, ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional,  Dewan Keamanan PBB.
ASYLUM SEEKERS IN A NON-IMMIGRANT STATE AND THE ABSENCE OF REGIONAL ASYLUM SEEKERS MECHANISM: A CASE STUDY OF ROHINGYA ASYLUM SEEKERS IN ACEH-INDONESIA AND ASEAN RESPONSE Dewansyah, Bilal; Dramanda, Wicaksana; Mulyana, Imam
Indonesia Law Review Vol. 7, No. 3
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The problem of asylum seekers has become a global humanitarian issue. Demands regarding the handling mechanisms based on the values of human rights is getting stronger voiced by the international community. In the Southeast Asian region, the number of ethnic Rohingya asylum seekers has increased and has started to demand settlement in non-immigrant countries like Indonesia. Although Indonesia does not have international obligations in handling asylum seekers, constitutionally, Indonesia has an obligation to guarantee the right of everyone to obtain asylum which has been included in the Constitution. In a global perspective, humanitarian issues in the handling of asylum seekers has begun to be driven towards the handling model based on regionalism. Therefore, ASEAN’s response to the issue of asylum seekers should start a discourse given the number of asylum seekers in Southeast Asia began to rise. This paper deals with the immigration policy on asylum seekers of Rohingya people in Aceh province of Indonesia who plight in 2015 “boat people crisis” with regionalism approach.
PERANCANGAN SISTEM INFORMASI AKUNTANSI PEMBELIAN DENGAN MENGGUNAKAN MICROSOFT VISUAL STUDIO Amalia, Giska; Mulyana, Imam; Murweni, Ira; Abdussalaam, Falaah

Publisher :

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (74.741 KB) | DOI: 10.31955/mea.v5i3.1497

Abstract

Salah satu kegiatan operasional perusahaan adalah pembelian. Sistem informasi pembelian yang baik diperlukan untuk pengumpulan data dan mengolahnya menjadi suatu laporan yang baik dan layak sebagai bahan membantu pengambilan keputusan. Sistem pembelian di CV Bintang Indo Prakasa ini masih manual belum terkomputerisasi, sehingga sering terjadi kesalahan-kesalahan akibat faktor sumber daya manusia. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut penulis membuat sebuah perancangan sistem informasi pembelian di CV Bintang Indo Prakasa ini. Dengan adanya pererapan sistem pembelian ini diharapkan dapat membantu bagian pembelian dalam proses transaksi berlangsung, sehingga transaksi pembelian dapat berjalan dengan baik. Model penelitian yang didukung yaitu kualitatif yang bersifat deskriptif. Mengumpulkan data dengan cara tanya jawab dan meneliti langsung. dan penulis menggunakan metode waterfall dalam perancangan sistem.
Perkembangan Prinsip Strict Liability dan Polluter Pays dalam Hukum Lingkungan Internasional Mengenai Kecelakaan dan Pencemaran dari Kapal Selam Nuklir Haryono, Mazaya Azka Qinthar; Mulyana, Imam
Bina Hukum Lingkungan Vol. 9 No. 2 (2025): Bina Hukum Lingkungan, Volume 9, Nomor 2, Februari 2025
Publisher : Asosiasi Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v9i2.402

Abstract

ABSTRAK Negara pemilik kapal selam nuklir yang mencemari lingkungan, tidak bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan. Hal ini bersumber dari adanya kekosongan hukum berkaitan dengan kecelakaan kapal selam nuklir dan tidak ada konsekuensi hukum atas aktivitas pembuangan limbah yang dilakukan. Kapal selam nuklir K-141 milik Rusia tenggelam tanpa pertanggungjawaban atas kontaminasi radioaktif. Pada kasus lain, Uni Soviet membuang limbah radioaktifnya, dan kegiatan ini terus berlanjut bahkan setelah menjadi negara pihak pada Konvensi London 1972. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan metode spesifikasi penulisan deskriptif analitis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah prinsip strict liability dan polluter pay sudah cukup memadai untuk dijadikan dasar hukum atau apakah ada urgensi untuk dibuatnya suatu perjanjian baru terkait tanggung jawab negara jika terjadi kecelakaan kapal selam nuklir dan untuk mengetahui apakah kedua prinsip tersebut dapat diterapkan dalam Konvensi London 1972 sebagai efek jera bagi para pihak untuk mematuhi perjanjian internasional di bidang pembuangan limbah. Penelitian ini berargumen bahwa kedua prinsip tersebut akan lebih efektif jika diterapkan dalam sebuah perjanjian. Kerangka hukum diperlukan terkait tindakan negara untuk mempertanggungjawabkan kerusakan yang tidak disengaja. Kedua prinsip tersebut juga dapat dimasukkan ke dalam Konvensi London 1972.Kata kunci: kapal selam nuklir; prinsip strict liability; prinsip polluter pays ABSTRACTThe country that owns the nuclear submarine responsible for the environmental pollution is not held accountable for its actions. This stems from a legal void regarding nuclear submarine accidents and the lack of legal consequences for waste disposal activities.. Russia's K-141 nuclear submarine sank with no accountability for radioactive contamination. In another case, the USSR dumped its radioactive waste, and this activity continued even after becoming a state party to the 1972 London Convention. This study uses a normative juridical approach with a descriptive-analytical writing specification method. The purpose of this study is to find out whether strict liability and polluter pay principles are sufficient to be used as a legal basis or if there is an urgency for the formatting of a new treaty related to state responsibility in the event of a nuclear submarine accident and to find out whether both principles can be applied in the 1972 London Convention as a deterrent effect for parties to comply with international treaties in the field of waste disposal. This study argues that both principles would be more effective if applied to a treaty. The legal framework is needed regarding state actions to account for accidental damage. It is also possible to incorporate both principles into the 1972 London Convention.Keywords: nuclear submarine; strict liability principle; polluter pays principle
Perkembangan Prinsip Strict Liability dan Polluter Pays dalam Hukum Lingkungan Internasional Mengenai Kecelakaan dan Pencemaran dari Kapal Selam Nuklir Haryono, Mazaya Azka Qinthar; Mulyana, Imam
Bina Hukum Lingkungan Vol. 9 No. 2 (2025): Bina Hukum Lingkungan, Volume 9, Nomor 2, Februari 2025
Publisher : Asosiasi Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v9i2.402

Abstract

ABSTRAK Negara pemilik kapal selam nuklir yang mencemari lingkungan, tidak bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan. Hal ini bersumber dari adanya kekosongan hukum berkaitan dengan kecelakaan kapal selam nuklir dan tidak ada konsekuensi hukum atas aktivitas pembuangan limbah yang dilakukan. Kapal selam nuklir K-141 milik Rusia tenggelam tanpa pertanggungjawaban atas kontaminasi radioaktif. Pada kasus lain, Uni Soviet membuang limbah radioaktifnya, dan kegiatan ini terus berlanjut bahkan setelah menjadi negara pihak pada Konvensi London 1972. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan metode spesifikasi penulisan deskriptif analitis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah prinsip strict liability dan polluter pay sudah cukup memadai untuk dijadikan dasar hukum atau apakah ada urgensi untuk dibuatnya suatu perjanjian baru terkait tanggung jawab negara jika terjadi kecelakaan kapal selam nuklir dan untuk mengetahui apakah kedua prinsip tersebut dapat diterapkan dalam Konvensi London 1972 sebagai efek jera bagi para pihak untuk mematuhi perjanjian internasional di bidang pembuangan limbah. Penelitian ini berargumen bahwa kedua prinsip tersebut akan lebih efektif jika diterapkan dalam sebuah perjanjian. Kerangka hukum diperlukan terkait tindakan negara untuk mempertanggungjawabkan kerusakan yang tidak disengaja. Kedua prinsip tersebut juga dapat dimasukkan ke dalam Konvensi London 1972.Kata kunci: kapal selam nuklir; prinsip strict liability; prinsip polluter pays ABSTRACTThe country that owns the nuclear submarine responsible for the environmental pollution is not held accountable for its actions. This stems from a legal void regarding nuclear submarine accidents and the lack of legal consequences for waste disposal activities.. Russia's K-141 nuclear submarine sank with no accountability for radioactive contamination. In another case, the USSR dumped its radioactive waste, and this activity continued even after becoming a state party to the 1972 London Convention. This study uses a normative juridical approach with a descriptive-analytical writing specification method. The purpose of this study is to find out whether strict liability and polluter pay principles are sufficient to be used as a legal basis or if there is an urgency for the formatting of a new treaty related to state responsibility in the event of a nuclear submarine accident and to find out whether both principles can be applied in the 1972 London Convention as a deterrent effect for parties to comply with international treaties in the field of waste disposal. This study argues that both principles would be more effective if applied to a treaty. The legal framework is needed regarding state actions to account for accidental damage. It is also possible to incorporate both principles into the 1972 London Convention.Keywords: nuclear submarine; strict liability principle; polluter pays principle