Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search

PENDIDIKAN PESANTREN DITENGAH TANTANGAN POLITISASI DAN GLOBALISASI: Pesantren Madura Setelah Keruntuhan Orde Baru Halik, Fathol
JURNAL KARSA (Terakreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012) Vol 15, No 1 (2009): MADUROLOGI 5
Publisher : STAIN PAMEKASAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

  Abstrac Globalization, which has been constructed by peasntren, is interesting to observe. It serves economic capitalization, creates transformative-culture and reproduces culture and knowledge. Nowadays, pesantren (kiai) no longer becomes a single institution (agent) of social reality. The starting point of this article is to analyze the education of Madurese pesantren within the politic and globalization streams. The problems that have been purposed are that---how pesantren education set themselves in political and globalization streams? How the peasantren elites give the meaning of politic and globalization? How globalization is "exclusively" interpreted pesantren education? Hoe pesantren education give the meaning of globalization within the stream of elites political-euphoria? How is the model of empowerment done within the problems of society (pesantren), nation (politic domain) and market (globalization domain)? Kata-kata kunci Pesantren, globalisasi dan pemberdayaan
ROKAT BHUJU’ VIS-À-VIS KOMPOLAN (Metamorfosis Elit Madura Pasca Keruntuhan Orde Baru) Halik, Fathol
JURNAL KARSA (Terakreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012) Vol 12, No 2 (2007): MADUROLOGI 2
Publisher : STAIN PAMEKASAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak: Tulisan ini berpijak pada asumsi bahwa perubahan sosial tidak selalu diiringi dengan perubahan pemimpin. Pada komunitas yang telah mapan, perubahan pemimpin bukan merupakan hal yang utama dalam relasi sosial, terutama dalam tradisi masyarakat pedesaan di Madura, seperti fenomena relasi sosial antar elit bhuju’ Juruan di Batuputih Sumenep. Yang menarik dalam tradisi bhuju’ Juruan adalah rokat bhuju’. Sebuah tradisi yang berkenaan dengan aktivitas seni, hiburan, dan sosial-“keagamaan” berupa pembacaan matera, kejungan, ataupun mamaca. Rokat bhuju’ dilakukan oleh masyarakat yang “kurang mengerti agama”, reng ledha’, reng gunung bhato kalettak, tandha’, bhajingan (blater), dan orang awam atau abangan. Tradisi ini dilakukan dengan pemujaan terhadap makam orang sakti dengan mengetengahkan sesaji, buah-buahan ataupun beras yang diletakkan di altar pemakaman sebagai bagian dari ritual sebagian masyarakat Madura. Realitas ini seakan paradoksal dengan masyarakat Madura yang taat beragama. Bagi masyarakat Madura rokat bhuju’ berbeda dengan kompolan. Suatu aktivitas keagamaan yang digelar dengan mengundang orang lain, tetangga, famili ataupun jemaah masjid untuk berdoa, seperti pembacaan tahlil, yasiin, barzanji, al-Qur’an, ataupun ceramah agama. Kompolan bukan ansich spiritual, ada pula kebutuhan psikologis, jaringan sosiologis antar manusia, kebutuhan sosialisasi, aktualisasi dan kebersamaan melalui tradisi keagamaan. Motif sosial dan keagamaan menjadi bagian penting dari tradisi kompolan. Tradisi kompolan juga memunculkan tokoh lokal dan pengikut (follower) dari kalangan santri, keyae, orang haji (agamis). Sehingga media yang digunakan pun berbeda. Hadrah, dhiba’, samroh, Cinta Rasul, tongtong, qasidah digunakan dalam kompolan, sementara lodrok, tandha’, saronen, bhajang oreng, orkes, tayub identik dengan rokat bhuju’. Bagi kalangan agamawan (santri, kyai dan ulama’) rokat bhuju’ harus dirubah. Sebagian tokoh Madura menghendaki pergantian aktivitas-ritual dalam kegiatan tersebut, berupa “budaya tandingan”, budaya yang baru. Rokat bhuju’ yang dilaksanakan untuk memperingati peninggalan, tradisi, serta jasa tokoh/orang sakti yang telah meninggal hendak dirubah menjadi aktivitas keagamaan. Hal itu dimaksudkan supaya pengikut (followers) rokat bhuju’ insyaf, atau kembali kepada jalan Allah. Meskipun tidak terjadi pergantian pemimpin, namun dalam konteks ini telah terjadi proses metamorfosis, dimana tokoh tidak lagi berasal dari kalangan luar rokat bhuju’. Akan tetapi, berasal dari keturunan tokoh perintis rokat bhuju’ sendiri dengan lebih mengedepankan kegiatan keagamaan dan rokat berganti menjadi kompolan. Strategi ini merupakan hasil pendekatan pada tokoh melalui keturunan/anak-anak yang bersekolah di pesantren di Madura.   Kata kunci: rokat bhuju’, kompolan, keyae, metamorfosis
PENINGKATAN MUTU PENULISAN SKRIPSI STAIN PAMEKASAN (Studi Tema dan Metode Penulisan Skripsi Program Studi PAI STAIN Pamekasan 2013-2014) Khalik, Fathol
NUANSA: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam Vol 12, No 1 (2015)
Publisher : STAIN PAMEKASAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (427.477 KB) | DOI: 10.19105/nuansa.v12i1.702

Abstract

Secara khusus riset ini akan mengungkap kecenderungan pemilihan tema-tema dan metode serta tempat riset yang dipilih mahasiswa ketika menulis skripsi serta kebijakan pengajuan judul skripsi di Program Studi (PS) Pendidikan Agama Islam (PAI) STAIN Pamekasan. Penelitian ini merupakan jenis library research, dimana data tentang skripsi yang telah dikumpulkan, diklasifikasikan, diberikan kode yang meliputi tema, metode dan tempat riset skripsi. Selanjutnya dianalisis dengan SPSS 18 untuk melihat kecenderungan tempat, tema dan metode dalam penulisan skripsi serta kebijakan pengajuan skripsi mahasiswa PAI STAIN Pamekasan. Hasil riset menunjukkan kecederungan tema materi pelajaran dipilih 36 mahasiswa (12.2%), pendidik dipilih 35 orang (11.9%), proses pembelajaran sebanyak 29 mahasiswa (9.9%), peserta didik 27 orang (9.2%). Metode yang digunakan metode kualitatif (89%), sedangkan sisanya (11%) menggunakan metode kuantitatif. Tempat penelitian meliputi sekolah dipilih 201 mahasiswa (68%), madrasah 40 mahasiswa (13.6%), serta memilih penelitian skripsi di pesantren 39 mahasiswa (13.3%). Alternatif kebijakan pengajuan judul skripsi dengan berhadapan langsung dengan Ketua Program Studi (PS) PAI STAIN Pamekasan yang diatur sesuai dengan pengaturan di Jurusan Tarbiyah, serta pengajuan melalui on-line yang diajukan dengan cara melalui internet dengan memasukkan judul melalui email Progran Studi (PS) PAI STAIN Pamekasan.
ROKAT BHUJU’ VIS-À-VIS KOMPOLAN (Metamorfosis Elit Madura Pasca Keruntuhan Orde Baru) Halik, Fathol
KARSA: Journal of Social and Islamic Culture MADUROLOGI 2
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Madura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19105/karsa.v12i2.137

Abstract

Abstrak: Tulisan ini berpijak pada asumsi bahwa perubahan sosial tidak selalu diiringi dengan perubahan pemimpin. Pada komunitas yang telah mapan, perubahan pemimpin bukan merupakan hal yang utama dalam relasi sosial, terutama dalam tradisi masyarakat pedesaan di Madura, seperti fenomena relasi sosial antar elit bhuju’ Juruan di Batuputih Sumenep. Yang menarik dalam tradisi bhuju’ Juruan adalah rokat bhuju’. Sebuah tradisi yang berkenaan dengan aktivitas seni, hiburan, dan sosial-“keagamaan” berupa pembacaan matera, kejungan, ataupun mamaca. Rokat bhuju’ dilakukan oleh masyarakat yang “kurang mengerti agama”, reng ledha’, reng gunung bhato kalettak, tandha’, bhajingan (blater), dan orang awam atau abangan. Tradisi ini dilakukan dengan pemujaan terhadap makam orang sakti dengan mengetengahkan sesaji, buah-buahan ataupun beras yang diletakkan di altar pemakaman sebagai bagian dari ritual sebagian masyarakat Madura. Realitas ini seakan paradoksal dengan masyarakat Madura yang taat beragama. Bagi masyarakat Madura rokat bhuju’ berbeda dengan kompolan. Suatu aktivitas keagamaan yang digelar dengan mengundang orang lain, tetangga, famili ataupun jemaah masjid untuk berdoa, seperti pembacaan tahlil, yasiin, barzanji, al-Qur’an, ataupun ceramah agama. Kompolan bukan ansich spiritual, ada pula kebutuhan psikologis, jaringan sosiologis antar manusia, kebutuhan sosialisasi, aktualisasi dan kebersamaan melalui tradisi keagamaan. Motif sosial dan keagamaan menjadi bagian penting dari tradisi kompolan. Tradisi kompolan juga memunculkan tokoh lokal dan pengikut (follower) dari kalangan santri, keyae, orang haji (agamis). Sehingga media yang digunakan pun berbeda. Hadrah, dhiba’, samroh, Cinta Rasul, tongtong, qasidah digunakan dalam kompolan, sementara lodrok, tandha’, saronen, bhajang oreng, orkes, tayub identik dengan rokat bhuju’. Bagi kalangan agamawan (santri, kyai dan ulama’) rokat bhuju’ harus dirubah. Sebagian tokoh Madura menghendaki pergantian aktivitas-ritual dalam kegiatan tersebut, berupa “budaya tandingan”, budaya yang baru. Rokat bhuju’ yang dilaksanakan untuk memperingati peninggalan, tradisi, serta jasa tokoh/orang sakti yang telah meninggal hendak dirubah menjadi aktivitas keagamaan. Hal itu dimaksudkan supaya pengikut (followers) rokat bhuju’ insyaf, atau kembali kepada jalan Allah. Meskipun tidak terjadi pergantian pemimpin, namun dalam konteks ini telah terjadi proses metamorfosis, dimana tokoh tidak lagi berasal dari kalangan luar rokat bhuju’. Akan tetapi, berasal dari keturunan tokoh perintis rokat bhuju’ sendiri dengan lebih mengedepankan kegiatan keagamaan dan rokat berganti menjadi kompolan. Strategi ini merupakan hasil pendekatan pada tokoh melalui keturunan/anak-anak yang bersekolah di pesantren di Madura.   Kata kunci: rokat bhuju’, kompolan, keyae, metamorfosis
PERILAKU POLITIK KELAS MENENGAH MADURA Haliq, Fathol
KARSA: Journal of Social and Islamic Culture Vol 22, No 2 (2014): ISLAM, BUDAYA DAN POLITIK
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Madura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19105/karsa.v22i2.526

Abstract

Politik sebagai permainan seringkali menghadirkan paradoks bagi aktor politik. Masa Orde Baru, perilaku politik menghadirkan anomali yang menghadapkan masyarakat (civil society) dengan pemerintah, wacana pembangunan Jembatan Surabaya-Madura (Suramadu) melahirkan BASSRA vis-a-vis Orde Baru. Orde Reformasi, setelah keruntuhan Orde Baru, Mei 1998, para ulama’ BASSRA tersedot ke lembaga legislatif dan eksekutif. Mereka telah menjadi bagian dari negara (state) sehingga—seharusnya—orang yang dulunya “berjuang bersama masyarakat” mengimplementasikan apa-apa yang telah diserap dalam masyarakat. Artikel hasil riset di Bangkalan dan Sumenep ini merupakan riset yang membahas dinamika perilaku politik kelas menengah Madura, terutama setelah keruntuhan Orde Baru, 21 Mei 1998 dan selesainya Pembangunan Jembatan Suramadu, 10 Juni 2009.
PENDIDIKAN PESANTREN DITENGAH TANTANGAN POLITISASI DAN GLOBALISASI: Pesantren Madura Setelah Keruntuhan Orde Baru Fathol Halik
Karsa: Journal of Social and Islamic Culture MADUROLOGI 5
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Madura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19105/karsa.v15i1.115

Abstract

  Abstrac Globalization, which has been constructed by peasntren, is interesting to observe. It serves economic capitalization, creates transformative-culture and reproduces culture and knowledge. Nowadays, pesantren (kiai) no longer becomes a single institution (agent) of social reality. The starting point of this article is to analyze the education of Madurese pesantren within the politic and globalization streams. The problems that have been purposed are that---how pesantren education set themselves in political and globalization streams? How the peasantren elites give the meaning of politic and globalization? How globalization is "exclusively" interpreted pesantren education? Hoe pesantren education give the meaning of globalization within the stream of elites political-euphoria? How is the model of empowerment done within the problems of society (pesantren), nation (politic domain) and market (globalization domain)? Kata-kata kunci Pesantren, globalisasi dan pemberdayaan
ROKAT BHUJU’ VIS-À-VIS KOMPOLAN (Metamorfosis Elit Madura Pasca Keruntuhan Orde Baru) Fathol Halik
Karsa: Journal of Social and Islamic Culture MADUROLOGI 2
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Madura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19105/karsa.v12i2.137

Abstract

Abstrak: Tulisan ini berpijak pada asumsi bahwa perubahan sosial tidak selalu diiringi dengan perubahan pemimpin. Pada komunitas yang telah mapan, perubahan pemimpin bukan merupakan hal yang utama dalam relasi sosial, terutama dalam tradisi masyarakat pedesaan di Madura, seperti fenomena relasi sosial antar elit bhuju’ Juruan di Batuputih Sumenep. Yang menarik dalam tradisi bhuju’ Juruan adalah rokat bhuju’. Sebuah tradisi yang berkenaan dengan aktivitas seni, hiburan, dan sosial-“keagamaan” berupa pembacaan matera, kejungan, ataupun mamaca. Rokat bhuju’ dilakukan oleh masyarakat yang “kurang mengerti agama”, reng ledha’, reng gunung bhato kalettak, tandha’, bhajingan (blater), dan orang awam atau abangan. Tradisi ini dilakukan dengan pemujaan terhadap makam orang sakti dengan mengetengahkan sesaji, buah-buahan ataupun beras yang diletakkan di altar pemakaman sebagai bagian dari ritual sebagian masyarakat Madura. Realitas ini seakan paradoksal dengan masyarakat Madura yang taat beragama. Bagi masyarakat Madura rokat bhuju’ berbeda dengan kompolan. Suatu aktivitas keagamaan yang digelar dengan mengundang orang lain, tetangga, famili ataupun jemaah masjid untuk berdoa, seperti pembacaan tahlil, yasiin, barzanji, al-Qur’an, ataupun ceramah agama. Kompolan bukan ansich spiritual, ada pula kebutuhan psikologis, jaringan sosiologis antar manusia, kebutuhan sosialisasi, aktualisasi dan kebersamaan melalui tradisi keagamaan. Motif sosial dan keagamaan menjadi bagian penting dari tradisi kompolan. Tradisi kompolan juga memunculkan tokoh lokal dan pengikut (follower) dari kalangan santri, keyae, orang haji (agamis). Sehingga media yang digunakan pun berbeda. Hadrah, dhiba’, samroh, Cinta Rasul, tongtong, qasidah digunakan dalam kompolan, sementara lodrok, tandha’, saronen, bhajang oreng, orkes, tayub identik dengan rokat bhuju’. Bagi kalangan agamawan (santri, kyai dan ulama’) rokat bhuju’ harus dirubah. Sebagian tokoh Madura menghendaki pergantian aktivitas-ritual dalam kegiatan tersebut, berupa “budaya tandingan”, budaya yang baru. Rokat bhuju’ yang dilaksanakan untuk memperingati peninggalan, tradisi, serta jasa tokoh/orang sakti yang telah meninggal hendak dirubah menjadi aktivitas keagamaan. Hal itu dimaksudkan supaya pengikut (followers) rokat bhuju’ insyaf, atau kembali kepada jalan Allah. Meskipun tidak terjadi pergantian pemimpin, namun dalam konteks ini telah terjadi proses metamorfosis, dimana tokoh tidak lagi berasal dari kalangan luar rokat bhuju’. Akan tetapi, berasal dari keturunan tokoh perintis rokat bhuju’ sendiri dengan lebih mengedepankan kegiatan keagamaan dan rokat berganti menjadi kompolan. Strategi ini merupakan hasil pendekatan pada tokoh melalui keturunan/anak-anak yang bersekolah di pesantren di Madura.   Kata kunci: rokat bhuju’, kompolan, keyae, metamorfosis
PERILAKU POLITIK KELAS MENENGAH MADURA Fathol Haliq
Karsa: Journal of Social and Islamic Culture Vol. 22 No. 2 (2014): ISLAM, BUDAYA DAN POLITIK
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Madura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19105/karsa.v22i2.526

Abstract

Politik sebagai permainan seringkali menghadirkan paradoks bagi aktor politik. Masa Orde Baru, perilaku politik menghadirkan anomali yang menghadapkan masyarakat (civil society) dengan pemerintah, wacana pembangunan Jembatan Surabaya-Madura (Suramadu) melahirkan BASSRA vis-a-vis Orde Baru. Orde Reformasi, setelah keruntuhan Orde Baru, Mei 1998, para ulama’ BASSRA tersedot ke lembaga legislatif dan eksekutif. Mereka telah menjadi bagian dari negara (state) sehingga—seharusnya—orang yang dulunya “berjuang bersama masyarakat” mengimplementasikan apa-apa yang telah diserap dalam masyarakat. Artikel hasil riset di Bangkalan dan Sumenep ini merupakan riset yang membahas dinamika perilaku politik kelas menengah Madura, terutama setelah keruntuhan Orde Baru, 21 Mei 1998 dan selesainya Pembangunan Jembatan Suramadu, 10 Juni 2009.
PESANTREN BETWEEN GLOBALIZATION AND POLITIZATION: Maduranese Pesantren After the Fall of New Order (1998-2007) Fathol Haliq
Asia-Pacific Journal on Religion and Society Vol 5, No 2 (2021): APJRS
Publisher : Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/apjrs.v5i2.21579

Abstract

After the fall of the Soeharto regime, there has been political euphoria and paradoxical strategies, between populist idealism and political pragmatism. Political pragmatism leaves acute problems in the world of pesantren. Culture-shock, the unpreparedness of pesantren leadership transformation led to a number of interesting strategies from the elders to give the mandate to the young keyae. In this context, there is a tug of war between change and status quo, idealism and educational pragmatism, so that the globalization agenda is not answered anticipatively and progressively. The strategy carried out by pesantren seems unsustainable, broken, pragmatic, and only answers a momentary agenda. On the other hand, pesantrens answer international problems - problems of human rights, humanity, poverty, environment, and global political economy - with steps that are typical of pesantrens, namely "pesantren cultural politics" and community empowerment. The pesantren community argues that moving locally answers global problems. Because the issue of globalization is very close to the pesantren community which covers the community around the pesantren.  Here, the face of globalization is "subdued" with a religious cultural identity that is progressive, pluralist, and sides with weak communities. Not only is the pesantren an agent of globalization, it also reproduces globalization into an empowering face for the community with a pesantren cultural identity. This empowering face can be seen in the empowerment model, at the end of this paper.
Verbal and Symbolic Aggression Female in The Madurese Culture Haliq, Fathol; Hidayati, Tatik; Ariwidodo, Eko; Hanurawan, Fattah; Atmoko, Adi
KARSA Journal of Social and Islamic Culture Vol. 31 No. 1 (2023)
Publisher : Universitas Islam Negeri Madura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19105/karsa.v31i1.11717

Abstract

This research explores the verbal and symbolic aggression of Madurese women students. These two things will be examined as the leading models by looking at the oral and symbolic aggression models for Madurese women. Women’s aggression is a complex form of behavior. This complexity is essential to the cyclical activities of the self and its environment. Madurese women ‘do not have a voice’ in voicing their own opinions including in rural electoral power politics and household economic autonomy. This research uses mixed methods, quantitative and qualitative. Quantitative research uses statistical analysis using confirmatory factorial analysis (CFA), while qualitative research uses descriptive data about the types and forms of verbal aggression in women. Both explore verbal and symbolic tendencies of aggression in Madurese women. The women involved were students at universities in Madura. The research results show that women prefer symbolic aggression to verbal aggression. Women with higher education prefer symbolic aggression to verbal aggression. Types and forms of verbal aggression include cha’-nguca’e, hitting, pulling, harming, and injuring. This oral does not lead to the loss of another person's life. Another finding is that a symbolic attack always follows every verbal aggression. Meanwhile, symbolic aggression involves gossip, talking about bad things about other women with slander and backbiting, spitting on other people’s property rights, inviting other people to hate other women, constantly talking about other people’s bad things, looking for reasons to hate other people, not coming meeting with hated people.