Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

HUMANISME DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KORUPSI DI INDONESIA Pancaningrum, Rina Khairani
Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) Vol 1, No 2 (2015): Jurnal Komunikasi Hukum
Publisher : Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (915.265 KB) | DOI: 10.23887/jkh.v1i2.6106

Abstract

Salah satu jenis kejahatan yang semakin sulit dijangkau oleh aturan hukum pidana ialah kejahatan korupsi.  Bermula dari Peraturan penguasa perang pusat kepala Staf angkatan darat tanggal 16 April 1958 No. Prt/Peperpu/013/1958 beserta peraturan pelaksanaannya dan peraturan penguasa perang pusat kepala staf angkatan laut No. Prt/Z.I/I/7 tanggal 17 April 1958 hingga yang sekarang tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.  Perubahan ini terjadi untuk menjerat pelaku korupsi kelas kakap yang disebabkan oleh motif ekonomi atau karena rakus (Huruf b bagian Menimbang UU No. 20 Tahun 2001).  Tidak mengherankan jika dewasa ini muncul istilah banalisme yang menyiratkan titik terendah moralitas pelaku koruptor.  Kalau seseorang melakukan korupsi karena hendak memenuhi kebutuhan bertahan hidup (corruption by need), ia masih dimaklumi untuk itu, akan tetapi jika seseorang kaya dan memiliki jabatan penting di pemerintahan melakukan korupsi dan kebetulan terungkap, maka yang bersangkutan apes atau kurang beruntung.  Hal demikian menunjukkan bahwa moralitas orang tersebut berada pada titik terendah, karena yang dipentingkan hanyalah aspek ekonomi semata. Kata Kunci : Korupsi, Humanisme, Moralitas.
Legal Protection For Breastfeeding Female Drug Concerts And The Children Of Prisoners (Study At Class Iii Women's Correctional Institution Mataram) Amiruddin; Rodliyah; Pancaningrum, Rina Khairani
Unram Law Review Vol 8 No 1 (2024): Unram Law Review(ULREV)
Publisher : Faculty of Law, University of Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/ulrev.v8i1.309

Abstract

Perpetrators of criminal acts may be of any gender, as criminal behavior is not limited by gender. When offering protection and support to women who commit crimes, especially those who are breastfeeding, it is crucial to recognize the inherent differences between men and women. It is essential to consider the legislative policy regarding female drug convicts who breastfeed and the children of prisoners in correctional institutions, along with the practical implementation of this policy at the Mataram Class III Women's Correctional Institution. It is crucial to recognize the impact of a mother's presence and living conditions on a child's growth and development. Given the context, it is prudent for the author to conduct a comprehensive review of the imprisonment policy for women convicted of narcotics offenses, especially those who are breastfeeding, and the children of incarcerated individuals. The research methodology employed in this study is normative-empirical legal research, utilizing three distinct approaches: the statutory approach, the conceptual approach, and the sociological approach. The legislative policy regarding female drug convicts who are breastfeeding and the children of prisoners in Correctional Institutions is outlined in Article 9 and Article 62, Paragraphs (1), (2), and (4) of Law Number 22 of 2022 concerning Corrections. The implementation of policies concerning female drug convict mothers who are breastfeeding and their children at the Mataram Class III Women's Penitentiary refers to Law Number 22 of 2022 on Penitentiaries, Government Regulation Number 32 of 1999 concerning the Requirements and Procedures for Implementing the Rights of Inmates, and Law Number 23 of 2002 concerning Child Protection.
Titik Singgung Antara Kompetensi Pengadilan Tipikor Dan Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Penyalahgunaan Wewenang Amiruddin, Amiruddin; Parman, Lalu; Pancaningrum, Rina Khairani
Jurnal Risalah Kenotariatan Vol. 2 No. 1 (2021): Jurnal Risalah Kenotariatan
Publisher : Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/risalahkenotariatan.v2i1.47

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis kompetensi peradilan manakah yang berwenang mengadili dan memeriksa perkara penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara; dan manfaat penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan hukum Acara Pidana, secara praktis dapat menjadi bahan masukan bagi Praktisi Hukum, seperti Polisi, Jaksa, Hakim, Advocat, serta bermanfaat bagi kepentingan edukasi atau dalam dunia pendidikan. Kompetensi badan peradilan adalah kekuasaan atau kewenangan dari suatu badan peradilan untuk mengadili atau memeriksa suatu perkara. Kewenangan atau kompetensi badan-badan peradilan berdasarkan pada doktrin di Indonesia dibedakan menjadi 2 macam yaitu : 1. Kewenangan mengadili secara absolut (Atribusi kekuasaan); dan 2. Kewenangan mengadili secara relatif (Distribusi kekuasaan).Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam UU No 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan UU. NO. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, adalah memeriksa dan memutus sengketa tata usaha negara. Penyalahgunaan wewenang merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi sebagaimana dirumusakan di dalam pasal 3 Undang-undang nomo 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo undang-undang nomor20 tahu 2001 tentang perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Bertumpu pada olah pikir di atas maka dapat disimpulkan bahwa kompetensi Pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara adalah tergantung pada mensrea atau niat jahat dari pelaku. Jika terbukti ada niat jahat dari pelaku maka yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara adalah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).Jika tidak ada niat jahat dari pelaku (karena kelalaian semata-mata) maka yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Pelaksanaan Restitusi Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual Dewu, Cindy; Rodliyah, Rodliyah; Pancaningrum, Rina Khairani
Jurnal Risalah Kenotariatan Vol. 5 No. 1 (2024): Jurnal Risalah Kenotariatan
Publisher : Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/risalahkenotariatan.v5i1.203

Abstract

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan termasuk yang berada didalam kandungan. Kondisi anak yang belum bisa mempertahankan dirinya sendiri, membuat anak kerap menjadi korban kekerasan, salah satunya adalah kekerasan seksual yang masih marak menimpa anak. Anak yang menjadi korban kekerasan seksual berhak untuk mendapatkan restitusi. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya. Pelaksanaan restitusi kepada anak korban tindak pidana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana. Walaupun pelaksaan restitusi kepada anak korban telah diatur dalam perundang-undangan, tetapi kenyataannya di tengah masyarakat, pelaksanaan restutisi ini masih jarang dilaksanakan. Sehingga terdapat kesenjangan antara das sollen dan das sein. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pelaksanaan restitusi terhadap anak korban kekerasan seksual dan untuk menganalisa hambatan dalam pelaksanaan restitusi terhadap anak korban kekerasan seksual. Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus.. Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif bersifat yuridis deskritif.
TINDAK PIDANA SUAP PASIF KEPALA KANTOR IMIGRASI MATARAM (Studi Putusan Nomor 36/Pid.Sus.TPK/2019/PN.Mtr) Ramdhany, Ikhsan; Amiruddin, Amiruddin; Pancaningrum, Rina Khairani
JURNAL EDUCATION AND DEVELOPMENT Vol 13 No 1 (2025): Vol 13 No 1 Januari 2025
Publisher : Institut Pendidikan Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hakim dalam merumuskan tindak pidana suap Pasif Kasus Kepala Kantor Imigrasi Kelas I TPI Mataram; dan Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan hakim dalam merumuskan sanksi pidana terhadap pelaku suap pasif terhadap Kepala Imigrasi Mataram. Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, dengan menggunakan pendekatan Undang-Undang (Statute Approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1). Pertimbangan hukum dalam perkara a quo telah mencakup aspek kepastian hukum dengan landasan filosofis, teoritis, yuridis, dan sosiologis, serta berada dalam rentang pidana Pasal 12 huruf a UU Tipikor; 2). Pertimbangan yang meringankan bersifat subjektif, menyebabkan disparitas antara tuntutan jaksa (7 tahun) dan putusan hakim (5 tahun). Hal ini berisiko melemahkan efek jera, menciptakan ketidakpastian hukum, serta menimbulkan persepsi negatif terhadap ketegasan sistem hukum dalam memberantas korupsi. Selain itu, hakim menerapkan Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU Tipikor, bukan Pasal 12 huruf a sebagaimana tuntutan JPU KPK, sehingga tidak sepenuhnya konsisten dengan prinsip keadilan retributif. Saran 1). Untuk menjaga integritas sistem peradilan, hakim perlu lebih mengutamakan prinsip keadilan substantif dalam menyeimbangkan faktor yang meringankan dengan kepentingan publik dalam pemberantasan korupsi. Putusan yang terlalu ringan tidak hanya menciptakan ketidakpastian hukum, melemahkan efek jera serta kepercayaan publik terhadap sistem hukum, dalam pemberantasan tindak pidana korupsi 2). Pemerintah, khususnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), perlu melakukan evaluasi terhadap Pasal 5 ayat (2) juncto Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b serta Pasal 12 huruf a UU Tipikor.
HUMANISME DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KORUPSI DI INDONESIA Pancaningrum, Rina Khairani
Jurnal Komunikasi Hukum Vol 1 No 2 (2015): Jurnal Komunikasi Hukum
Publisher : Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jkh.v1i2.6106

Abstract

Salah satu jenis kejahatan yang semakin sulit dijangkau oleh aturan hukum pidana ialah kejahatan korupsi.  Bermula dari Peraturan penguasa perang pusat kepala Staf angkatan darat tanggal 16 April 1958 No. Prt/Peperpu/013/1958 beserta peraturan pelaksanaannya dan peraturan penguasa perang pusat kepala staf angkatan laut No. Prt/Z.I/I/7 tanggal 17 April 1958 hingga yang sekarang tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.  Perubahan ini terjadi untuk menjerat pelaku korupsi kelas kakap yang disebabkan oleh motif ekonomi atau karena rakus (Huruf b bagian Menimbang UU No. 20 Tahun 2001).  Tidak mengherankan jika dewasa ini muncul istilah banalisme yang menyiratkan titik terendah moralitas pelaku koruptor.  Kalau seseorang melakukan korupsi karena hendak memenuhi kebutuhan bertahan hidup (corruption by need), ia masih dimaklumi untuk itu, akan tetapi jika seseorang kaya dan memiliki jabatan penting di pemerintahan melakukan korupsi dan kebetulan terungkap, maka yang bersangkutan apes atau kurang beruntung.  Hal demikian menunjukkan bahwa moralitas orang tersebut berada pada titik terendah, karena yang dipentingkan hanyalah aspek ekonomi semata. Kata Kunci : Korupsi, Humanisme, Moralitas.