Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search

Perbandingan Komplikasi Glaukoma Sekunder antara Pasien Post Operasi Tunggal dan Kombinasi Vitrektomi - Sklera Bukle Mahfud, Wowo Masthuro; Setyandriana, Yunani
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 14, No 1 (2014)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v14i1.2470

Abstract

Vitrektomi adalah operasi mata untuk mengatasi kelainan retina (selaput saraf mata) atau vitreus (jaringan jernih berbentuk agar yang mengisi bola mata), sedangkan Sclera Buckle adalah cara paling umum untuk menangani ablasi retina. Kedua operasi tersebut bisa menimbulkan beberapa komplikasi dan yang paling sering adalah Glaukoma Sekunder. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pe­ngaruh operasi vitrektomi dengan kombinasi operasi virektomi - Sclera Buckle (SB) kejadian glaukoma sekunder. Subyek penelitian adalah pasien yang menjalani operasi vitrektomi, SB, maupun kombinasi keduanya. Dari data penelitian didapatkan jumlah keseluruhan pasien yang menjalani kedua operasi ter­sebut sebanyak 83 pasien. Sampel dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu 1 kelompok pasien operasi tunggal dan 1 kelompok pasien yang menjalani operasi kombinasi dengan tiap kelompok dilihat perkembangannya tiap kali control dengan melihat perubahan tekanan intraocular (TIO) baik untuk mata kanan maupun mata kiri, serta pemeriksaan lapang pandang dan fundus sebagai kriteria untuk menentu­kan apakah terjadi komplikasi glaukoma sekunder. Hasil Chi Square menunjukkan perbedaan yang sig­nifikan antara operasi tunggal (vitrektomi atau SB) dengan operasi kombinasi (SB+Vitrektomi) dengan nilai p 0,001. Disimpulkan bahwa kejadian glaukoma sekunder terbanyak pada pasien yang menjalani ope­rasi kombinasi SB+Vitrektomi dibandingkan dengan operasi tunggal dengan perbedaan yang signifikan.Vitrectomy is an eye surgery to manage retinal disorder (eye nerve membranes) or vitreous (clear tissue that fills the form of the eyeball), meanwhile Sclera Buckle is the most common method to treat retinal detachment. Both methods may result in some complications, and the most frequent is Second­ary Glaucoma. This study aims to compare the effect of vitrectomy surgery and combine virectomy - Sclera Buckle (SB) on the incidence of secondary glaucoma. Subjects were patients who underwent vitrectomy, Sclera Buckle or the combination of both. The data recorded the total number of patients who underwear both methods was 83 patients. The sample were classified into 2 groups, 1 group of patients with a single surgery and one group with combinated surgery, and each group was observed during control time by monitoring the change of IOP (intraocular pressure) in both eyes. Fundus examination and also visual field examination were performed to whether secondary glaucoma complication occured. The result of Chi Square test showed a significant difference between single surgery (vitrectomy or SB) and combinated surgery (vitrectomy and SB) with p value was 0,001. It was concluded that the highest incidence of secondary glaucoma in patients undergoing vitrectomy surgery combined SB compared with a single operation with a significant difference.
Vitrektomi pada Pasien dengan Retinopati Diabetik Setyandriana, Yunani
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 10, No 1 (2010)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v10i1.1566

Abstract

Retinopathy is a primary morbidity occurring in retinopathy diabetic patients and may cause blindness. The failure of laser treatment to stop the new neovascularization may result in severe vision damage. Vitrectomy is indicated in severe vision patients to improve their vision. The aims of the study were to discuss vitrectomy in diabetic retinopathy patients, refresh the knowledge on how and when Vitrectomy should be performed, and to understand the side effect in order to obtain optimal vision improvement. The method is literature study. Progressive fibrovascular proliferation in diabetic retinopathy patients may lead to retinal detachment. The detachment of posterior retinal without involvement of fovea can be observed. However, if fovea is involved, vitrectomy is indicated. If adequate Laser fails due to media opacity, cataract surgery may be performed. Laser photocoagulation can be conducted a few days postsurgery. Alternatively, both vitrectomy and endolaser may be recommended along with lensectomy and intraocular lens implantation. Diabetic Retinopathy Vitrectomy Study(DRVS) concluded:1) in severe vitreous bleeding eyes, early vitrectomy may result in improved vision despite the high risk of vision loss which needs to be considered.2)In the IDDM patients, especially those with severe vitreous bleeding, early vitrectomy is more beneficial and may have a good result. Postoperative complications may occur including retinal detachment, vitreous bleeding, rubeosis iridis, and other types of complications, which require further considerations for optimal result.The prognosis after vitrectomy depends on the macular function. Surgery for vitreous bleeding without macula detachment generally brings a good result.Retinopati merupakan penyebab morbiditas utama pada pasien diabetes dengan akibat akhir yang paling ditakuti adalah kebutaan. Kegagalan terapi laser untuk menghentikan proliferasi pembuluh darah baru dapat menyebabkan kerusakan penglihatan yang parah. Pada pasien dengan kerusakan penglihatan yang berat, vitrektomi merupakan terapi yang dapat diharapkan untuk memperbaikinya. Kajian ini membahas tentang vitrektomi pada retinopati DM, menyegarkan pengetahuan kita tentang bagaimana dan kapan vitrektomi dilaksanakan serta mengerti efek yang terjadi supaya didapatkan perbaikan penglihatan yang seoptimal mungkin. Proliferasi fibrovaskular yang progresif pada diabetes dapat mengakibatkan lepasnya retina. Lepasnya bagian posterior tanpa melibatkan fovea dapat tetap stabil dan harus diobservasi, namun begitu fovea terlibat, vitrektomi merupakan indikasi. Jika fotokoagulasi panretinal yang adekuat tidak dapat dilakukan karena opasitas media, pembedahan katarak dapat dilakukan, dan fotokoagulasi laser dapat dilakukan setelah beberapa hari pasca pembedahan. Sebagai alternative, vitrektomi dan endolaser dapat dilakukan bersama dengan lensektomi dengan pemasangan lensa intraocular. Penelitian DRVS menyimpulkan: 1) untuk mata dengan perdarahan vitreus berat, vitrektomi awal menghasilkan tajam penglihatan yang lebih baik, meskipun risiko lebih banyak kehilangan visus sampai tidak didapatkan persepsi cahaya harus dipikirkan. 2) pasien dengan IDDM, khususnya dengan perdarahan vitreus berat, vitrektomi awal lebih menguntungkan dan menghasilkan pemulihan tajam penglihatan yang baik. Komplikasi post operasi dapat terjadi, diantaranya yaitu pelepasan retina, perdarahan vitreus, rubeosis iridis, dan komplikasi lain harus pula dipikirkan lebih lanjut supaya didapatkan hasil yang optimal. Disimpulkan bahwa prognosis penglihatan setelah vitrektomi tergantung pada fungsi macula. Pembedahan untuk perdarahan vitreus tanpa pelepasan macula biasanya menghasilkan ketajaman penglihatan yang baik.
Hubungan Faktor Genetik dan Gaya Hidup dengan Astigmatisma pada Anak Setyandriana, Yunani; Meida, Nur Shani; Ikliludin, Ahmad; Ayuputri, Amalia Nindya
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 18, No 2: July 2018
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mm.180216

Abstract

Astigmatisma merupakan kelainan refraksi akibat bentuk kornea atau lensa yang tidak teratur, yang sering terjadi pada anak usia sekolah. Hingga saat ini penyebab astigmatisma belum diketahui walaupun faktor genetik dan gaya hidup diduga berperan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara faktor genetik dan gaya hidup dengan astigmatisma pada anak. Penelitian dilakukan di RS JIH dan PKU Muhammadiyah Gamping, dari bulan Januari hingga Desember 2016. Penelitian ini merupakan penelitian analitik-observasional dengan metode potong lintang. Didapatkan sampel sebanyak tujuh puluh enam anak, yang kemudian dilakukan pemeriksaan virus dan mengisi kuesioner tentang faktor genetic dan gaya hidup pasien. Data dianalisis menggunakan Uji Regresi Linear Berganda. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara faktor genetik dan gaya hidup dengan astigmatisma pada anak. Faktor genetik merupakan faktor yang paling berhubungan dengan astigmatisma pada anak (p=0,003, 95% CI for B=0,52-1,18) dibandingkan dengan faktor gaya hidup yaitu kebiasaan menggunakan gadget (p=0,015, 95% CI for B= 0,50-1,01), kebiasaan membaca (p=0,204, 95% CI for B= -0,49-0,46), dan kebiasaan menonton televisi lebih dari dua jam sehari (p=0,211, 95% CI for B= -0,55-0,25).
Neuropati Optik Toksik Akut Setyandriana, Yunani
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 9, No 2 (s) (2009)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v9i2 (s).1617

Abstract

The aim of the study was to report a case of acute toxic optic neuropathy. A case report of a 29 years old female with acute visual loss in both eyes. There was history of taking multiple drugs about 4 days while in the hospital. We performed visual acuities examination, light projection, color perception, funduscopy, and visual field examinations. The visual acuities were 1/300 on both eyes with bad color perceptions, the other examination were normal. Visual field examination was performed on the third day when the visual acuities were improved, showing severe depression on the both eyes and diagnosed acute toxic optic neuropathy. She is given neurotropic injection once daily, neutotropic tablet twice daily, and acetazolamide tablet 3 times daily. Retrobulber dexamethason injection on second day for 5 days, and continued with dexamethason tablet 1mg four times daily. The patients was consulted to neurology, ENT, internist, and oral medicine department. The visual acuity became better 3/60 in the both eyes on the third days, on the seventh days on the right eye 5/60 and the left eye 4/60. One week later, the visual acuity became 6/12 on the right eye and 6/15 on the left eye, but there was color deficiency in both eyes. Visual field examination of both eyes showed improvement to be moderate depression. The treatment was continued and dexamethason was tapering off. Follow up in one month the visual acuity improved to be 6/7.5 on the right eye and 6/8.5 on the left eye, although there was still green color blind with one eye. Visual field showed mild depression. Concluded a case of acute toxic optic neuropathy treated with steroid injection and orally, and neurotropic agents, there was a good result although not fully recovery.Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk melaporkan laporan kasus yaitu neuropati optic toksik akut. Dilaporkan kasus seorang wanita 29 tahun buta mendadak kedua matanya. Empat hari sebelum datang ke rumah sakit minum beberapa obat. Dilakukan pemeriksaan visus, proyeksi cahaya, persepsi warna, funduskopi, dan lapang pandang. Visus kedua mata 1/300 dengan persepsi warna buruk, pemeriksaan lain normal. Pemeriksaan lapang pandang dilakukan hari ke-3 saat visusnya mulai membaik. Hasilnya menunjukkan depresi berat kedua mata dan didiagnosis neuropati optic toksik akut. Diberikan terapi neurotropik injeksi sekali sehari, neurotropik tablet 2x sehari, dan asetazolamide tablet 3x sehari. Dexamethason injeksi retrobulber diberikan hari kedua selama 5 hari, dilanjutkan dengan dexamethason tablet 1mg 4x sehari. Pasien dikonsulkan ke neurologi, THT, penyakit dalam, dan dokter gigi. Visus hari ketiga membaik menjadi 3/60 pada kedua mata, hari ke- 7 menjadi 5/60 mata kanan dan 4/60 mata kiri, namun didapatkan buta warna pada kedua mata. Seminggu kemudian visus membaik menjadi 6/12 mata kanan dan 6/15 mata kiri. Lapang pandang menunjukkan depresi sedang. Terapi diteruskan dengan dexamethason tablet diturunkan dosisnya. Follow up 1 bulan kemudian menunjukkan perbaikan dengan visus 6/7.5 mata kanan dan 6/8.5 mata kiri, namun masih terdapat buta warna hijau. Pemeriksaan lapang pandang menunjukkan depresi ringan. Disimpulkan bahwa kasus neuropati optic toksik akut diterapi dengan steroid injeksi dan oral serta obat neurotropik, didapatkan perbaikan kondisi meskipun tidak sempurna.
Keluhan Mata Silau pada Penderita Astigmatisma Dibandingkan dengan Miopia Permatasari, Fitri; Setyandriana, Yunani
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 13, No 2 (2013)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v13i2.1064

Abstract

Astigmatisme merupakan kelainan refraksi dimana pembiasan pada meridian yang berbeda tidak sama akibat kelainan kelengkungan di kornea. Pada mata dengan astigmatisme lengkungan jari-jari pada satu meridian kornea lebih panjang daripada jari-jari meridian yang tegak lurus dimana dalam hal ini keluhan silau bisa terjadi jika kecerahan dari suatu bagian dari inferior jauh melebihi kecerahan yang berlebihan, baik yang terlihat langsung atau melewati pantulan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keluhan mata silau pada penderita astigmatisma dibandingkan dengan miopia. Desain penelitian ini adalah penelitian cross sectional dengan metode deskriptif untuk membandingkan ada atau tidaknya kesilauan pada penderita astigmatisma dibandingkan dengan penderita miopia. Sebanyak 68 orang mahasiswa dengan 34 orang penderita miopia dan 34 orang penderita astigmatisma. Hasil penelitian menunjukkan responden astigmatisma yang mengeluh silau berjumlah 28 orang (82,4%) dan yang tidak mengeluh silau berjumlah 6 orang (17,6%), sedangkan responden dengan karakteristik miopia yang mengeluh silau berjumlah 12 (35,3%) dan yang tidak mengeluh silau berjumlah 22 orang (64,7%), sehingga didapatkan kejadian silau 8,167 kali lebih besar pada astigmatisma dibandingkan dengan miopia. Prevalensi astigmatisma yang mengeluh silau (82,4%) dan miopia yang mengeluh silau (35,3%). Disimpulkan bahwa didapatkan keluhan mata silau yang lebih banyak pada astigmatisma dibandingkan dengan miopia. Astigmatisma is refraction disorder where deviation in the meridient is different because of curve disorder in cornea. In astigmatisma, half diameter of curve in one miridian cornea is longer than upright vertical of half diameter miridian. Ambient lighting can be hapened in astigmatisma is the bright inferior has been over lighting either direk vision or reflaktion. This research aims to know ambient lighting on astigmatisma compared by miopia suffere. The design in this reasearch is cross sectional by descriptive method to compare the ambient lighting in astigmatisma patient by myopia patient. The respondent is 68 students and 34 respondent are myopia patient, 34 respondent are astigmatisma patient. The result shows female respondents is 38 students (55,9%) and male respondent is 30 students (44,1%). The astigmatisma respondent are 34 students (50,0%) and myopia respondent are 34 students (50,0%), ambient lighting respondents are 40 students (58,8%) and the respondents who don’t have ambient lighting are 28 students (41,2%). Astigmatisma respondent who have ambient lighting are 28 students (82,4 %) and astigmatisma respondents who don’t have ambient lighting are 12 students (35,3%) and the respondents by myopia characteristic who don’t have ambient lighting are 22 students (64,7%). Astigmatisma prevalents by ambient lighting is 82,4 % and myopia by ambient lighting is 35,3%. It can be concluded that there is ambient lighting in astigmatisma more than myopia.
Vitrektomi pada Pasien dengan Retinopati Diabetik Setyandriana, Yunani
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 10, No 1 (2010)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v10i1.1566

Abstract

Retinopathy is a primary morbidity occurring in retinopathy diabetic patients and may cause blindness. The failure of laser treatment to stop the new neovascularization may result in severe vision damage. Vitrectomy is indicated in severe vision patients to improve their vision. The aims of the study were to discuss vitrectomy in diabetic retinopathy patients, refresh the knowledge on how and when Vitrectomy should be performed, and to understand the side effect in order to obtain optimal vision improvement. The method is literature study. Progressive fibrovascular proliferation in diabetic retinopathy patients may lead to retinal detachment. The detachment of posterior retinal without involvement of fovea can be observed. However, if fovea is involved, vitrectomy is indicated. If adequate Laser fails due to media opacity, cataract surgery may be performed. Laser photocoagulation can be conducted a few days postsurgery. Alternatively, both vitrectomy and endolaser may be recommended along with lensectomy and intraocular lens implantation. Diabetic Retinopathy Vitrectomy Study(DRVS) concluded:1) in severe vitreous bleeding eyes, early vitrectomy may result in improved vision despite the high risk of vision loss which needs to be considered.2)In the IDDM patients, especially those with severe vitreous bleeding, early vitrectomy is more beneficial and may have a good result. Postoperative complications may occur including retinal detachment, vitreous bleeding, rubeosis iridis, and other types of complications, which require further considerations for optimal result.The prognosis after vitrectomy depends on the macular function. Surgery for vitreous bleeding without macula detachment generally brings a good result.Retinopati merupakan penyebab morbiditas utama pada pasien diabetes dengan akibat akhir yang paling ditakuti adalah kebutaan. Kegagalan terapi laser untuk menghentikan proliferasi pembuluh darah baru dapat menyebabkan kerusakan penglihatan yang parah. Pada pasien dengan kerusakan penglihatan yang berat, vitrektomi merupakan terapi yang dapat diharapkan untuk memperbaikinya. Kajian ini membahas tentang vitrektomi pada retinopati DM, menyegarkan pengetahuan kita tentang bagaimana dan kapan vitrektomi dilaksanakan serta mengerti efek yang terjadi supaya didapatkan perbaikan penglihatan yang seoptimal mungkin. Proliferasi fibrovaskular yang progresif pada diabetes dapat mengakibatkan lepasnya retina. Lepasnya bagian posterior tanpa melibatkan fovea dapat tetap stabil dan harus diobservasi, namun begitu fovea terlibat, vitrektomi merupakan indikasi. Jika fotokoagulasi panretinal yang adekuat tidak dapat dilakukan karena opasitas media, pembedahan katarak dapat dilakukan, dan fotokoagulasi laser dapat dilakukan setelah beberapa hari pasca pembedahan. Sebagai alternative, vitrektomi dan endolaser dapat dilakukan bersama dengan lensektomi dengan pemasangan lensa intraocular. Penelitian DRVS menyimpulkan: 1) untuk mata dengan perdarahan vitreus berat, vitrektomi awal menghasilkan tajam penglihatan yang lebih baik, meskipun risiko lebih banyak kehilangan visus sampai tidak didapatkan persepsi cahaya harus dipikirkan. 2) pasien dengan IDDM, khususnya dengan perdarahan vitreus berat, vitrektomi awal lebih menguntungkan dan menghasilkan pemulihan tajam penglihatan yang baik. Komplikasi post operasi dapat terjadi, diantaranya yaitu pelepasan retina, perdarahan vitreus, rubeosis iridis, dan komplikasi lain harus pula dipikirkan lebih lanjut supaya didapatkan hasil yang optimal. Disimpulkan bahwa prognosis penglihatan setelah vitrektomi tergantung pada fungsi macula. Pembedahan untuk perdarahan vitreus tanpa pelepasan macula biasanya menghasilkan ketajaman penglihatan yang baik.
The success of glaucoma therapy in diabetes mellitus and non-diabetes mellitus Nur Shani Meida; Ahmad Ikliluddin; Yunani Setyandriana; Ilma Naafisa Anthrasita
Qanun Medika - Jurnal Kedokteran FK UMSurabaya Vol 6, No 1 (2022): Journal Qanun Medika Vol 6 No 01
Publisher : Universitas Muhammadiyah Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30651/jqm.v6i1.7665

Abstract

ABSTRACT  Glaucoma is a disease marked with damage to the optic nerve, chronic and can cause blindness. Glaucoma needs regular therapy to prevent blindness. This study was an observational study using a case-control approach. Data were analyzed using the Mann-Whitney test to determine the differences in blood sugar levels in the DM and non-DM groups and the Chi-Square test to determine differences in the success of glaucoma therapy in DM and non-DM patients. There were 66 samples of glaucoma patients in this study, consisting of 14 men (21.2%) and 52 women (78.8%). The mean age of the patients was 61.12 ± 9.17 years. The sample was divided into 2 groups, namely 34 DM patients (51.5%) and 32 non DM patients (48.5%). The Mann-Whitney test showed significant differences in blood sugar levels between the DM and non-DM groups (p <0.05). Blood sugar levels in the DM group were 202.59 ± 73.5 mg / dL and in the non-DM group was 106.19 ± 16.3 mg / dL. In conclusion, there is no difference in the success of glaucoma therapy in DM and non-DM patients. Keywords             : glaucoma, glaucoma therapy, diabetes mellitusCorrespondence        :nurshani_meida@yahoo.com
Correlation between Cup Ratio and Optic Nerve Disc with High Myopia Nur Shani Meida; Ahmad Ikliluddin; Yunani Setyandriana; Nadia Dina Ayu
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 21, No 1 (2021): January
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v21i1.8615

Abstract

High myopia is one of the risk factors for glaucoma, which is often accompanied by abnormalities in the fundus due to excessive stretching. The object of the study is to determine correlation between cup ratio and optic nerve disc with high myopia. This is a non-experimental research, analytic observational  with cross-sectional study design. The subjects were patients with myopia with more than – 6.00 diopters at the Kebumen Eye Center Clinic and Purbowangi Gombong Hospital. Data collection was carried out in January - August 2019. The respondents  were 30 people, consisting of 14 men (46.7%), 16 women (53.3%), with an average age of 33.07 ± 18.04 years. Mean refraction of right eye (OD / Ocular Dextra) were -10.72 ± 4.82 diopters and left eye (OS / Ocular Sinistra) were -10.27 ± 4.52 diopters. The results of the correlation test using Spearman Test showed that there is no significant correlation (OD p = 0.115, OS p = 0.118) between the cup ratio and optic nerve disk with high myopia. It conclude that there is no significant correlation between cup ratio and optic nerve disc with high myopia.
Hubungan Faktor Genetik dan Gaya Hidup dengan Astigmatisma pada Anak Yunani Setyandriana; Nur Shani Meida; Ahmad Ikliludin; Amalia Nindya Ayuputri
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 18, No 2 (2018): July
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mm.180216

Abstract

Astigmatisma merupakan kelainan refraksi akibat bentuk kornea atau lensa yang tidak teratur, yang sering terjadi pada anak usia sekolah. Hingga saat ini penyebab astigmatisma belum diketahui walaupun faktor genetik dan gaya hidup diduga berperan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara faktor genetik dan gaya hidup dengan astigmatisma pada anak. Penelitian dilakukan di RS JIH dan PKU Muhammadiyah Gamping, dari bulan Januari hingga Desember 2016. Penelitian ini merupakan penelitian analitik-observasional dengan metode potong lintang. Didapatkan sampel sebanyak tujuh puluh enam anak, yang kemudian dilakukan pemeriksaan virus dan mengisi kuesioner tentang faktor genetic dan gaya hidup pasien. Data dianalisis menggunakan Uji Regresi Linear Berganda. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara faktor genetik dan gaya hidup dengan astigmatisma pada anak. Faktor genetik merupakan faktor yang paling berhubungan dengan astigmatisma pada anak (p=0,003, 95% CI for B=0,52-1,18) dibandingkan dengan faktor gaya hidup yaitu kebiasaan menggunakan gadget (p=0,015, 95% CI for B= 0,50-1,01), kebiasaan membaca (p=0,204, 95% CI for B= -0,49-0,46), dan kebiasaan menonton televisi lebih dari dua jam sehari (p=0,211, 95% CI for B= -0,55-0,25).
Pengukuran Tekanan Intraokular pada Mata Normal Dibandingkan dengan Mata Penderita Miop sebagai Faktor Risiko Glaukoma Muflihatur Rasyidah; Yunani Setyandriana
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 11, No 3 (2011)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v11i3.989

Abstract

Pengukuran tekanan intraokular merupakan pemeriksaan rutin yang penting pada mata dan merupakan salah satu tanda untuk mengetahui kondisi mata seseorang dalam menilai dinamika humor aquos. Tekanan intraokular adalah tekanan yang dihasilkan oleh isi bola mata terhadap dinding bola mata dan sangat bervariasi pada orang normal dan penderita miop. Mata miop lebih rentan terhadap efek peningkatan tekanan intraokular (TIO) dibandingkan pada mata normal (non-miop) dan terutama merupakan risiko tinggi akan terjadinya glaukoma. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tekanan intraokular ( TIO) pada mata normal dibandingkan dengan pasien miop sebagai faktor risiko terjadinya glaukoma. Desain penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan metode observasi klinik non randomize untuk mencari perbedaan hasil pemeriksaan tekanan intraokular (TIO) pada pasien mata normal dan mata miop. Analisi data menggunakan Independent Sampel T-Test. Hasil menunjukkan bahwa rata-rata usia pasien mata normal 21,24 dan pasien miop 26,12. Rata-rata jenis kelamin pasien mata normal dan miop adalah  laki-laki yaitu 26  penderita (52,0 %). Uji statistik menunjukkan distribusi rata-rata tekanan intraokular pada pasien mata normal dan miop baik pada mata kanan maupun mata kiri tidak ada perbedaan yang bermakna (p0,05). Disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna tekanan intraokular antara mata normal dan miop, tetapi dijumpai peninggian tekanan intraokular pada beberapa kasus miop dan mata normal pada penelitian ini.