Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

POTENSI RUMPUT LAUT MERAH (GRACILARIA GIGAS) DAN PENAMBAHAN DAUN KENIKIR (COSMOS CAUDATUS) SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN NORI Pamungkas, Pinctada Putri; Yuwono, Sudarminto Setyo; Fibrianto, Kiki
Jurnal Teknologi Pertanian Vol 20, No 3 (2019)
Publisher : Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (594.142 KB) | DOI: 10.21776/ub.jtp.2019.020.03.4

Abstract

ABSTRAKBahan baku nori umunya rumput laut jenis Porphyra, di Indonesia rumput laut jenis Porphyra sulit ditemukan dan dibudidayakan. Sulitnya rumput laut jenis ini ditemukan mengakibatkan Indonesia mengimpor nori kepada negara penghasil, data Dinas Kelautan dan Perikanan tahun 2014 menunjukkan Indonesia mengimpor nori mencapai 2 Milyar per tahun. Rumput laut merah jenis Gracilaria gigasbanyak ditemukan di Indonesia dengan penambahan daun kenikir dapat dijadikan alternatif  sebagai bahan baku  pembuatan nori. Penelitian ini bertujuan memanfaatkan rumput laut merah Gracilaria gigas dan daunsebagai bahan baku  pembuatan norisehingga mendapatkan karakteristik fisik, kimia dengan atribut sensori yang dapat diterima konsumen. Penelitian menggunakan rancangan percobaan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 2 faktoryaitu ukuran mesh penyaringandankonsentrasi daun kenikir yang ditambahkan. Hasilpenelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan penyaringan ukuran 60 mesh dan konsentrasi daun kenikir 5%  menghasilkan nori Gracilaria gigasterbaik. Pada hasil analisis karakteristik kimia diperoleh nilai kadar air 11,04%, kadar abu 6,77%, kadar protein 22,44%, kadar lemak 0,85%, karbohidrat 58,91%, serat kasar 9,41%, dan aktivitas antioksidan IC50 38,796 mg AAE/g. Sedangkan hasil analisis karakteristik fisik diperoleh ketebalan  0,11 mm, kuat tarik 11,23N, elongasi 0,65 cm, warna L 42,0, warna a -0,20 dan warna b  4,3. Berdasarkan hasil analisis sensori menggunakan RATA (Rate All That Apply) dengan 100 panelis konsumen menunjukkan nori Gracilaria gigas tidak berbeda dengan nori komersil dan dapat diterima konsumen. ABSTRACTThe raw material of nori is generally made of porphyra which is hardly found and cultivated in Indonesia. Indonesia imports from the country which produces and cultivates the porphyra wheat due to the scarcity. The Dinas Kelautan and Perikanan (DKP, 2014) shows that Indonesia imports nori 2 billion per year. Another type of wheat, Gracilariagigas, is found in Indonesia which can be used as the alternative raw material of nori if combined with thinkin leaf. This study aims at making use of the Gracilaria gigasand the thinkin leaf as the ingridient of producing nori which meets the physical characteristic and chemical sensory ttribute so that it can be accepted by the consumers. The study employs an experimental design which involves the random sampling method with two varibales, the size of filtering mesh and the  concentrate of thinkin leaf added. The result shows that the tretament using 60-mesh filtering and concentrate of the 5% of the thinkin leaf concentrate produces the best noriGracilaria gigas. The result of the analysis shows that the values of chemical characteristics are 11.04% water, 6.77% ash, 22.44% of protein, 0.85% of fat, 58.91% of carbohidrate, 9.41% of rough fiber, and IC50 38,796 mg AAE/g antioxidant activities. Tresult of phsical characteristics are as follows, the thickness is 0.11 mm, the tortion is 11.23N, the elongationi is 0.65, the colour is L42,0; colour A is -0.20 and colour B is 4.3. Based on the result of sensory analysis using RATA (Rate All That Apply) from 100 participants  shows that Gracilaria gigas nori is not significantly different from the commercial nori and well accepted by the consumers.
Microstructure With Scanning Electron Microscope And Sensory Characteristics In Nori Red Algae (Gracilaria Gigas) Pinctada Putri Pamungkas; Asriati Djonu
AGRITEPA: Jurnal Ilmu dan Teknologi Pertanian Vol 9 No 2 (2022)
Publisher : UNIVED Press, Dehasen University Bengkulu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37676/agritepa.v9i2.2786

Abstract

Gracilaria is a red algae seaweed (Rhodopyceae) and can be developed by being cultivated in the sea, ponds and river estuaries. Red seaweed of the Gracilaria sp species is found and cultivated as a source of raw material for the production of food grade agar in Indonesia. Gracilaria gigas type seaweed has the potential as a raw material in the manufacture of nori products. Utilization of Indonesian local seaweed, will minimize imports of seaweed from various seaweed-producing countries. Gracilaria gigas red seaweed contains 5.84% water content, 0.44% fat content, 7.27% crude fiber, 23.76% protein, 11.92% ash, 180.52% carbohydrates and 19,922 IC50 antioxidants. mg AAE/g. Acceptance of Nori made from Gracilaria gigas seaweed using sensory analysis with the RATA (Rate All That Apply) method, sensory testing was carried out using 8 test parameter attributes, resulting for the parameters tested for salty taste of 2.05, seaweed taste of 1.50, aroma seaweed 1.35, crunchy texture 1.50, smooth texture 2.00, thick texture 1.35, green color 1.25 and elasticity 1.50. For microstructural analysis using a Scanning Electron Microscope with a magnification of 5000x.
Pendampingan Masyarakat Di Desa Panditan Dalam Memanfaatkan Kotoran Sapi Menjadi Pupuk Bokashi Maylina Ilhami Khurniyati; Anis Nurhayati; Pinctada Putri Pamungkas; Abd Rohim; Yunita Khilyatun Nisak
Darmabakti : Jurnal Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat Vol 4 No 1 (2023): Darmabakti : Junal Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat
Publisher : Lembaga Peneliian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Islam Madura (UIM)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31102/darmabakti.2023.4.1.11-16

Abstract

Usaha Peternakan sapi di Kabupaten Pasuruan semakin pesat perkembangannya, salah satunya di desa panditan. Limbah peternakan merupakan produk dari usaha peternakan, yang keberadaannya tidak dikehendaki sehingga harus dibuang. Limbah peternakan terdiri dari banyak jenis sesuai ternak yang menghasilkannya. Usaha budidaya ternak (sapi) menghasilkan limbah berupa kotoran ternak (feces, urine), sisa pakan ternak seperti potongan rumput, jerami, dedaunan, dedak, konsentrat dan sejenisnya. Setiap harinya, seekor sapi menghasilkan kotoran 10-15 kg. Permasalahan dari kurangnya pemanfaatan limbah kotoran sapi dapat dilihat dari banyaknya limbah yang hanya dibuang ke sungai, dibakar, atau di biarkan menggunung. Dari permasalahan tersebut dilakukan pengolahan limbah kotoran sapi menjadi pupuk organik bokashi. Selain dapat meminimalisir dampak akibat limbah kotoran sapi, pupuk organik bokashi menjadikan nilai tambah karena memiliki nilai ekonomis serta mendukung kegiatan pertanian untuk mengembalikan kesuburan lahan di desa Panditan. Berangkat dari rasa keperdulian dan memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat maka team dosen Program Studi Teknologi Hasil Petanian ITSNU Pasuruan mengadakan program pembinaan dan pelatihan pembuatan pupuk bokashi. Metode pengabdian yang digunakan dalam kegiatan ini adalah metode ceramah dan praktek pembuatan pupuk bokashi. Hasil dari program ini adalah animo yang ditunjukkan oleh masyarakat pada saat kegiatan pembinaan berlangsung memperlihatkan ketertarikan yang tinggi terhadap kegiatan pembuatan pupuk bokashi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di desa Panditan.
PENDAMPINGAN MASYARAKAT DI DESA PANDITAN DALAM MEMANFAATKAN KOTORAN SAPI MENJADI PUPUK BOKASHI Maylina Ilhami Khurniyati; Anis Nurhayati; Pinctada Putri Pamungkas; Abd. Rohim
LOGISTA - Jurnal Ilmiah Pengabdian kepada Masyarakat Vol 6 No 2 (2022)
Publisher : Department of Agricultural Product Technology, Faculty of Agricultural Technology, Universitas Andalas Kampus Limau Manis - Padang, Sumatera Barat Indonesia-25163

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/logista.6.2.91-95.2022

Abstract

Usaha Peternakan sapi di Kabupaten Pasuruann semakin pesat perkembangannya, salah satunya di desa panditan. Limbah peternakan merupakan produk dari usaha peternakan, yang keberadaannya tidak dikehendaki sehingga harus dibuang. Limbah peternakan terdiri dari banyak jenis sesuai ternak yang menghasilkannya. Usaha budidaya ternak (sapi) menghasilkan limbah berupa kotoran ternak (feces, urine), sisa pakan ternak seperti potongan rumput, jerami, dedaunan, dedak, konsentrat dan sejenisnya. Setiap harinya, seekor sapi menghasilkan kotoran 10-15 kg. Permasalahan dari ketidak efisienan pemanfaatan limbah kotoran sapi dapat dilihat dari banyaknya limbah yang hanya dibuang ke sungai, dibakar, atau di biarkan menggunung. Dari permasalahan tersebut dilakukan pengolahan limbah kotoran sapi menjadi pupuk organik bokashi. Selain dapat meminimalisir dampak akibat limbah kotoran sapi, pupuk organik bokashi menjadikan nilai tambah karena memiliki nilai ekonomis serta mendukung kegiatan pertanian untuk mengembalikan kesuburan lahan di desa Panditan. Berangkat dari rasa keperdulian dan memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat maka team dosen Program Studi Teknologi Hasil Petanian ITSNU Pasuruan mengadakan program pembinaan dan pelatihan pembuatan pupuk bokashi. Hasil dari program ini adalah dilakukannya pembinaan dan pelatihan pembuatan pupuk bokashi dengan metode ceramah dan praktek pembuatan pupuk bokashi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di desa Panditan. Kata kunci: bokashi, limbah, peternakan, sapi ABSTRACT Cattle farming in Pasuruan Regency is growing rapidly, one of which is in Panditan Village. Livestock waste is a product of livestock business, whose presence is not desired and must be disposed of. Livestock waste consists of many types according to the livestock that produces it. Livestock (cattle) cultivation business produces waste in the form of livestock manure (feces, urine), animal feed residues such as grass clippings, straw, leaves, bran, concentrates and the like. Every day, a cow produces 10-15 kg of manure. The problem of the inefficient use of cow dung waste can be seen from the amount of waste that is only dumped into rivers, burned, or left to build up. From these problems, cow dung was processed into organic bokashi fertilizer. Besides being able to minimize the impact of cow dung waste, organic bokashi fertilizer adds value because it has economic value and supports agricultural activities to restore land fertility in Panditan village. Departing from a sense of concern and providing greater benefits to the community, the lecturer team of the ITSNU Pasuruan Agricultural Products Technology Study Program held a coaching and training program for making bokashi fertilizer. The result of this program is coaching and training in the manufacture of bokashi fertilizer with the lecture method and the practice of making bokashi fertilizer that can be utilized by the community in Panditan village. Keywords: bokashi, waste, farm, cow
Profiling Atribut Sensori Nori Komersil Menggunakan Metode Rate-All-That-Apply (RATA) Pamungkas, Pinctada Putri; Aisyah, Siti Nur; ikerismawati, senja

Publisher : Fishery Product Technology Study Program, Yudharta University, Pasuruan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35891/lempuk.v3i1.5435

Abstract

Nori merupakan olahan dari rumput alga merah jenis Porphyra yang dikeringkan dengan ditambahkan bumbu pada proses pembuatannya, spesies Porphyra dalam kelompok alga merah mengandung antioksidan yang dapat menghambat penyerapan sinar UV ke jaringan sel. Karakteristik fisik nori berbentuk kering dengan warna gelap. Nori memiliki tekstur kasar disisi satu dan lembut dibagian sisi lainnya, serta bertekstur kering dengan warna hitam cerah mengkilap. Penelitian ini bertujuan guna mengetahui karakteristik nori yang berasal dari berbagai negara. Nori komersil yang digunakan berasal dari Japan, Korea dan Singapura.Profiling atribut sensori yang didapat menggunakan metode rate all that apply (RATA), atribut sensori yang dipilih didapat berdasarkan survey langsung ke konsumen dan studi literatur, sehingga didapat 14 atribut antara lain rasa asin, manis, pahir, RL, tekstur renyah, keras, rapuh, halus, tebal, warna hijau, coklat, hitam, elastisitas dan aroma RL
Upaya Pemanfaatan Limbah Ikan Senangin (Eleutheronema tetradactylum) dalam Pembuatan Stik Sebagai Sumber Pangan Bergizi wafiqotul isma; Maghfiroh, Khoirin; Pamungkas, Pinctada Putri

Publisher : Fishery Product Technology Study Program, Yudharta University, Pasuruan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35891/lempuk.v3i2.5978

Abstract

In an effort to reduce waste and maximize resources, the use of sengin fish waste is processed into healthy and delicious fish stick products. The aim of making fish sticks is to optimize the use of sukain fish waste which has not been used properly, reduce the environmental impact caused by fishery waste, and provide a nutritious food alternative that is economical and easily accessible to the public. This research method includes 1 sample P0 (control) using 50 grams of fish bones and 3 treatments, namely P1 with the addition of 75 grams of fish bones, P2 with the addition of 100 grams of fish bones and P3 with the addition of 125 grams of fish bones. The effect of adding fish bone meal on organoleptic tests showed that the highest average results were in treatment 1 (P1) (3.63), P2 (3.51) and P3 (3.36). In terms of color, P1 is preferred because it is not too brownish. The higher the addition of fish bones, the more dull brown the color of the stick will be. Of the flavors, P1 liked the most because the spices were more pronounced or balanced and were not disguised by the larger number of fish bones. From the aroma, P2 is more preferred because P2 provides sufficient aroma and is liked by the majority of consumers, while P1 is too low and P3 is too high in aroma intensity. In terms of texture, P1 and P2 are more preferred because there is a good balance so the results are similar and in P3 (125 grams) there is an increase in fish bone flour which can make the layers thicker or different so that they are harder