Perkembangan teknologi digital telah mendorong lahirnya gig economy, yang menimbulkan konsekuensi yuridis dalam sistem hukum nasional, termasuk di Indonesia. Salah satu isu yang muncul adalah kekosongan pengaturan mengenai status hukum pengemudi ojek online, yang dalam praktik dikualifikasikan sebagai mitra. Konstruksi hubungan tersebut menimbulkan persoalan karena tidak sepenuhnya memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana diatur bagi pekerja dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis kekosongan hukum terkait status pengemudi ojek online dalam perspektif perlindungan hak pekerja menurut peraturan perundang-undangan Indonesia, serta melakukan perbandingan normatif dengan ketentuan dalam Undang-Undang Gig Workers 2025 Malaysia. Penelitian menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perbandingan (comparative approach). Bahan hukum yang digunakan meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, yang seluruhnya dianalisis secara preskriptif untuk merumuskan rekomendasi normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiadaan pengaturan yang eksplisit mengenai status hukum pengemudi ojek online dalam peraturan perundang-undangan Indonesia telah menimbulkan ketidakpastian hukum, khususnya terkait pemenuhan hak, perlindungan, dan posisi tawar pekerja. Sebaliknya, Undang-Undang Gig Workers 2025 Malaysia memberikan pengaturan yang lebih komprehensif melalui pembentukan kategori hukum khusus bagi pekerja gig, yang di dalamnya termasuk pengemudi layanan ride-hailing. Maka dari itu, penyusunan regulasi serupa di Indonesia dipandang relevan untuk menciptakan kepastian hukum, perlindungan, dan keadilan bagi sekitar tujuh juta pengemudi ojek online serta pekerja gig lainnya yang terus meningkat jumlahnya. Pembentukan klasifikasi normatif tersendiri bagi pekerja gig dapat menjadi rujukan normatif bagi Indonesia guna menutup kekosongan hukum tanpa meniadakan aspek fleksibilitas sebagai karakter utama gig economy.