Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Perlindungan Hukum terhadap Diskresi Tindakan Medis dalam Kondisi Kedaruratan yang Dianggap sebagai Tindakan Malpraktek Berdasarkan Undang-Undang Praktik Kedokteran Fayuthika Alifia Kirana Sumeru; Hanafi Tanawijaya
Jurnal Pendidikan dan Konseling (JPDK) Vol. 5 No. 1 (2023): Jurnal Pendidikan dan Konseling
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/jpdk.v5i1.10964

Abstract

Diskresi merupakan keleluasaan dalam melakukan tindakan berdasarkan hati nurani. Tak jarang pula diskresi ini banyak terjadi di berbagai profesi salahnya dalam dunia medis. Dokter dalam hal ini memiliki keistimewaan dalam melakukan profesinya, yakni melakukan diskresi. Akan tetapi perlu digaris bawahi bahwa diskresi yang dilakukan oleh dokter tentu dilindungi oleh undang-undang, sehingga dokter bisa melakukan diskresi. Namun diskresi yang dimaksud hanya bisa dilakukan apabila dalam kondisi gawat darurat atau pasien dalam hal ini tidak bisa memberikan persetujuan dalam tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter. Sehingga pada hakikatnya dokter berada di zona abu-abu, meskipun dilindungi oleh undang-undang, tak jarang pula tindakan yang dilakukan secara diskresi menimbulkan kecelakaan hingga terjadinya malpraktek. Malpraktek sendiri paling dihindari dalam dunia medis dikarenakan sebagai aib juga merupakan tindakan yang dijalankan dan dilaksanakan oleh tenaga kesehatan dengan tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang. Oleh karenanya tidak bisa sembarang mengatakan bahwa tindakan diskresi sebagai tindakan malpraktek karena sebenarnya tindakan yang dilakukan telah sesuai dengan keahlian yang dimiliki oleh dokter. Maka dari itu diperlukannya perlindungan hukum bagi dokter apabila diskresi yang dilakukan menyebabkan peristiwa yang tidak diharapkan.
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI TENGAH PANDEMI COVID-19 : KAJIAN HUKUM DAN SOSIAL Laurel Rahardjo; Hanafi Tanawijaya
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 11 No 8 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/KS.2023.v11.i08.p02

Abstract

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengkaji pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi selama pandemi COVID-19 dan menganalisis dampaknya secara hukum dan sosial. Metode penelitian yang digunakan dalam artikel ini adalah studi literatur dan analisis data yang relevan. Artikel ini berfokus pada tinjauan peraturan perundang-undangan terkait ketenagakerjaan, khususnya Pasal 151 dan Pasal 164 UU No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Menurut temuan penelitian ini, ada sejumlah besar kasus di mana perusahaan telah memberhentikan karyawan secara tidak tepat. Pengusaha, pemerintah, dan pekerja memiliki tanggung jawab di bawah Pasal 151 UU No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan untuk bekerja sama untuk menghindari pemutusan hubungan kerja. Selain itu, ada berbagai keadaan, seperti keadaan kahar atau kerugian besar, di mana pemberi kerja dapat melakukan pemutusan hubungan kerja. Jika sebuah perusahaan merugi selama dua tahun berturut-turut, maka perusahaan tersebut dapat memberhentikan karyawannya sesuai dengan Pasal 164 UU Ketenagakerjaan. Karena COVID-19 belum ada selama setidaknya 2 tahun, hal ini masih menjadi perdebatan. The aim of this article is to examine the employment termination that occurs during the COVID-19 pandemic and analyze its legal and social implications. The research method used in this article is literature review and analysis of relevant data. The article focuses on reviewing labor-related regulations, particularly Article 151 and Article 164 of Law No. 13 of 2013 concerning Manpower. According to the findings of this research, there are numerous cases where companies have inappropriately terminated employees. Employers, the government, and workers have responsibilities under Article 151 of Law No. 13 of 2013 concerning Manpower to collaborate in avoiding employment termination. Furthermore, there are various circumstances, such as force majeure or significant losses, in which employers can carry out employment termination. If a company incurs losses for two consecutive years, it is permitted to terminate its employees according to Article 164 of the Labor Law. However, since COVID-19 has not existed for at least two years, this issue remains subject to debate.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITUR ATAS HAK TANGGUNGAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH MILIK PIHAK KETIGA Louis Fernando; Hanafi Tanawijaya
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 11 No 8 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/KS.2023.v11.i08.p14

Abstract

Tujuan penelitian mengetahui bagaimana perlindungan hukum bagi kreditur terkait hak milik atas tanah sebagai hak tanggungan dan tanggung jawab debitur atas hak milik atas tanah milik pihak ketiga sebagai hak tanggungan. Penelitian menggunakan penelitian hukum normatif yaitu penelitian aturan hukum, prinsip, konsep atau doktrin. Jenis bahan hukum pada penelitian ini yaitu penelitian kepustakaan, melibatkan pembuatan daftar bacaan dari semua buku yang relevan untuk menemukan landasan teori dalam bentuk undang-undang dan literatur yang berlaku. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer berupa putusan Nomor 773/PDT/2016/PT.DKI. dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan bahan hukum sekunder berupa jurnal-jurnal yang berkaitan dengan hak tanggungan. Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu perlindungan hukum adalah segala macam kegiatan yang dilakukan untuk menyediakan lingkungan yang aman, nyaman, dan sesuai hukum. Untuk menjamin kepastian hukum dan membela hak-hak kreditur dalam pemberian kredit, maka segala usaha wajib dilaksanakan dalam memberikan kepastian hukum dan perjanjian antara kreditur dan debitur adalah adil seperti perlindungan hukum preventif dan represif. Pihak ketiga akan bertindak sebagai penjamin perjanjian kredit atas tanah tersebut, dan oleh karena itu pihak ketiga wajib bertanggung jawab atas segala perbuatan debitur yang dapat membahayakan dirinya sendiri. Salah satu kewajiban pihak ketiga adalah menyerahkan hartanya kepada kreditur jika terjadi wanprestasi oleh debitur. The research objective is to find out how legal protection is for creditors regarding land ownership rights as mortgage rights and the debtor's responsibility for ownership rights to land belonging to third parties as mortgage rights. Research uses normative legal research, namely research on legal rules, principles, concepts or doctrines. The type of legal material in this study, namely library research, involves making reading lists of all relevant books to find a theoretical basis in the form of applicable laws and literature. The legal material used in this research is primary legal material in the form of a decision Number 773/PDT/2016/PT.DKI. and Law Number 4 of 1996 concerning Mortgage Rights and secondary legal materials in the form of journals relating to mortgage rights. The conclusion in this study is that legal protection is all kinds of activities carried out to provide a safe, comfortable and lawful environment. To guarantee legal certainty and defend the rights of creditors in granting credit, all efforts must be made in providing legal certainty and fair agreements between creditors and debtors such as preventive and repressive legal protection. The third party will act as a guarantor for the credit agreement on the land, and therefore the third party must be responsible for all the debtor's actions that can harm himself. One of the obligations of third parties is to hand over their assets to creditors in the event of default by the debtor.
Terjadinya Perizinan Perkawinan Poligami yang Tidak Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Ferrary Utami; Hanafi Tanawijaya
Syntax Literate Jurnal Ilmiah Indonesia
Publisher : Syntax Corporation

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (260.907 KB) | DOI: 10.36418/syntax-literate.v8i6.12466

Abstract

Polygamy marriage is where a man who has married a woman then remarries with another woman and has more than one wife, in Indonesia polygamy is possible if the person concerned gives permission to practice polygamy, or the application for polygamy permission must be linked to the permission of the first wife and Institutions certainly need to consider the application. The institutions that are imposed in granting the request are the Court and the Panel of Judges, unless meeting the requirements of the Court, I conclude whether the Petitioner will receive permission to enter into a polygamous marriage, the court will grant permission if the marriage has not reached the goal of marriage. Polygamous marriages cannot be used as an arena to measure one's religious obedience, in this case the more active the polygamist is considered the better his religious position, or the more patient a wife accepts polygamy, the more qualified her faith or considers her husband as sunnah. There have been many cases of a man who has more than one wife or is called polygamy, in this case the Judge of the West Jakarta Religious Court granted the request for permission to have polygamy on condition that he strengthens cumulatively and alternatives. If one of these conditions can be proven, then the court can give permission to practice polygamy and the court can grant it if these conditions have been met. The court must also investigate whether the wife really does not carry out the obligations of a wife, suffers from an incurable disease, or is unable to love offspring.
Perlindungan Konsumen Terhadap Kosmetik Tanpa Izin Edar: Analisis Putusan Nomor 190/PID.SUS/2021/PT PAL Erika Aurellya Eryansyah; Hanafi Tanawijaya
Syntax Literate Jurnal Ilmiah Indonesia
Publisher : Syntax Corporation

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (66.186 KB) | DOI: 10.36418/syntax-literate.v8i6.12657

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk memahami perlindungan konsumen terhadap produk kosmetik ilegal yang dijual secara bebas dan menganalisis pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terhadap produk kosmetik impor yang dijual tanpa izin edar, serta sanksi yang diberikan kepada pelaku usaha yang melakukan praktik tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dan kepustakaan, dengan menggunakan data dan sumber hukum seperti putusan kasus, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta bahan hukum primer, sekunder, dan tersier lainnya. Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan penelusuran sumber-sumber hukum. Penelitian ini akan membahas perlindungan konsumen terhadap produk kosmetik yang tidak memiliki izin edar dan mengacu pada Pengadilan Negeri Palu Nomor 190/PID.SUS/2021/PT PAL sebagai acuan. Harapannya, hasil penelitian ini akan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang perlindungan konsumen dalam konteks produk kosmetik ilegal serta memberikan kontribusi pada pengembangan hukum yang lebih baik dalam hal ini