Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

KONFLIK DAN INTEGRASI DALAM MASYARAKAT PLURAL: JAMBI 1970-2012 Lindayanti, Lindayanti; Zaiyardam, Zaiyardam
Paramita: Historical Studies Journal Vol 25, No 2 (2015): PARAMITA
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v25i2.5129

Abstract

Jambi region was constituted by plural society. The social relations formed within a long period had created a conducive environment for plural society. The citizens were used to deal with people from different social and cultural background, and the differences of social class, religion, group and culture did not trigger conflict. Furthermore, interactions among ethnics, i. e. Melayu, Jambi, Minangkabau, Banjar, Bugis, Java and Batak even gave birth to new identity; the Jambi society. Nonetheless, the infiltration of big capital owners and trans-migration in 1990s had shaken this stability. The climax took place during the reformasi when a huge number of unrests surfaced, where society demanded the return of the land to the hands of people. It was important to build and employ attempts to lessen the tense and conflicts in this plural society. The local wisdom of Jambi people which has been formed for decades needed to be returned as a foundation for this attempt. Before capitalism dominated the life of the society, the values of local wisdom were proven to keep the plural society in harmony. Wilayah Jambi dihuni oleh masyarakat yang plural. Relasi sosial yang terjadi terbentuk dalam kurun waktu yang lama dan telah membentuk lingkungan yang kondusif untuk masyarakat plural. Penduduknya telah memiliki kesepahaman terhadap masyarakat dengan latar sosial dan budaya yang berbeda, dan perbedaan kelas, agama, kelompok, serta budaya tidak memicu terjadinya konflik. Lebih lanjut lagi, interaksi antara etnik Melayu, Jambi, Minangkabau, Banjar, Bugis, Jawa, dan Batak bahkan melahirkan identitas baru sebagai masyarakat Jambi. Akan tetapi, infiltrasi dari para pemodal besar dan transmigrasi pada tahun 1990-an telah mengguncang stabilitas yang ada. Puncaknya terjadi selama reformasi ketika sejumlah besar kerusuhan muncul, di mana masyarakat menuntut pengembalian tanah. Untuk itu, penelitian ini penting dilakukan untuk mengurangi ketegangan dan konflik dalam masyarakat. Kearifan lokal masyarakat Jambi yang telah dibentuk selama puluhan tahun perlu dikembalikan sebagai dasar untuk upaya ini. Sebelum kapitalisme mendominasi kehidupan masyarakat, nilai-nilai kearifan lokal yang terbukti untuk menjaga masyarakat plural dalam harmoni. 
DARI MUKJIZAT KE KEMISKINAN ABSOLUT: PERLAWANAN PETANI DI RIAU MASA ORDE BARU DAN REFORMASI 1970-2010 Zaiyardam, Zaiyardam; Lindayanti, Lindayanti
Paramita: Historical Studies Journal Vol 27, No 1 (2017): PARAMITA
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v27i1.9188

Abstract

The research objective is to learn the unjustice economic policy. It is necessary look for alternative policies that favor the farmers. The research method was qualitative. The method was carried out through a series of interviews with resource persons who understand the problem. In addition, documentary method was used. The research found that the life of the poor peasants are deeply deprived. Their land, field, forest and jungle had been grabbed by the state and the capitalist. After being land grabbed, they serve as slaves and receive small wages which were only sufficient to survive. During the dry season, these slaves were told to burn the land. If caught, the charge falls on them. "Fire is done by the people of Badarai, which performed shifting cultivation," wrote the mass media, which is a mouthpiece for capitalists. If caught, they were left. Without sin, the business owner sent other slaves back to burn the forest in order to clear the land. Exact phrase Pope Francis, the capitalist is dirt of devils. Said it all. However, farmers fight back. The style of resistance like the wind on the high seas. Occasionally breezy. On the other full-time ripples. Sometimes like a hurricane, devastated. Waves of resistances came inexhaustibly with the aim of restoring their land robbed. For robbery, enslavement and burning that they had done, can the state and the capitalists be categorized as a terrorist?. In this context, this paper attempting to give a new perspective on the state and capitalist as terrorists. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari kebijakan ekonomi ketidakadilan. Hal ini terlihat diperlukan untuk kebijakan alternatif yang menguntungkan petani. Penelitian ini menemukan bahwa kehidupan para petani miskin sangat kehilangan tanah mereka, bidang, hutan dan hutan telah diraih oleh negara dan kapitalis. Setelah tanah menyambar, mereka melayani sebagai budak dan menerima upah kecil yang hanya cukup untuk bertahan hidup. Selama musim kemarau, budak tersebut diberitahu untuk membakar lahan. Jika tertangkap, biaya jatuh pada mereka. "Api yang dilakukan oleh orang-orang dari Badarai, yang dilakukan dengan perladangan berpindah," tulis media massa, yang merupakan corong kapitalis. Jika tertangkap, mereka ditinggalkan. Tanpa dosa, pemilik bisnis menyuruh hamba lain kembali untuk membakar hutan untuk membuka lahan. Frase yang tepat menurut Paus Francis, kapitalis adalah kotoran iblis. Namun, petani melawan. Gaya perlawanan seperti angin di laut lepas. Sesekali semilir, beriak di waktu lainnya. Kadang-kadang seperti badai yang menghancurkan. Gelombang resistensi datang tujuan memulihkan tanah mereka dirampok. Karena perampokan, perbudakan dan pembakaran bahwa mereka telah melakukan, bisa negara dan kapitalis dikategorikan sebagai teroris? Dalam konteks ini, tulisan ini mencoba untuk memberikan perspektif baru tentang negara dan kapitalis sebagai teroris. 
KONFLIK DAN INTEGRASI DALAM MASYARAKAT PLURAL: JAMBI 1970-2012 Lindayanti, Lindayanti; Zaiyardam, Zaiyardam
Paramita: Historical Studies Journal Vol 25, No 2 (2015): PARAMITA
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v25i2.5129

Abstract

Jambi region was constituted by plural society. The social relations formed within a long period had created a conducive environment for plural society. The citizens were used to deal with people from different social and cultural background, and the differences of social class, religion, group and culture did not trigger conflict. Furthermore, interactions among ethnics, i. e. Melayu, Jambi, Minangkabau, Banjar, Bugis, Java and Batak even gave birth to new identity; the Jambi society. Nonetheless, the infiltration of big capital owners and trans-migration in 1990s had shaken this stability. The climax took place during the reformasi when a huge number of unrests surfaced, where society demanded the return of the land to the hands of people. It was important to build and employ attempts to lessen the tense and conflicts in this plural society. The local wisdom of Jambi people which has been formed for decades needed to be returned as a foundation for this attempt. Before capitalism dominated the life of the society, the values of local wisdom were proven to keep the plural society in harmony. Wilayah Jambi dihuni oleh masyarakat yang plural. Relasi sosial yang terjadi terbentuk dalam kurun waktu yang lama dan telah membentuk lingkungan yang kondusif untuk masyarakat plural. Penduduknya telah memiliki kesepahaman terhadap masyarakat dengan latar sosial dan budaya yang berbeda, dan perbedaan kelas, agama, kelompok, serta budaya tidak memicu terjadinya konflik. Lebih lanjut lagi, interaksi antara etnik Melayu, Jambi, Minangkabau, Banjar, Bugis, Jawa, dan Batak bahkan melahirkan identitas baru sebagai masyarakat Jambi. Akan tetapi, infiltrasi dari para pemodal besar dan transmigrasi pada tahun 1990-an telah mengguncang stabilitas yang ada. Puncaknya terjadi selama reformasi ketika sejumlah besar kerusuhan muncul, di mana masyarakat menuntut pengembalian tanah. Untuk itu, penelitian ini penting dilakukan untuk mengurangi ketegangan dan konflik dalam masyarakat. Kearifan lokal masyarakat Jambi yang telah dibentuk selama puluhan tahun perlu dikembalikan sebagai dasar untuk upaya ini. Sebelum kapitalisme mendominasi kehidupan masyarakat, nilai-nilai kearifan lokal yang terbukti untuk menjaga masyarakat plural dalam harmoni. 
Batik Incung Industry in Kerinci 1995-2017 Pitri, Nandia; Herwandi, Herwandi; Lindayanti, Lindayanti
Paramita: Historical Studies Journal Vol 31, No 1 (2021): Maritime and Socio-Economic History of Indonesia
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v31i1.18887

Abstract

Abstract: Kerinci has batik called incung developed from the beauty of incung letters (ancient Kerinci's letters). This letter was used to be used by Kerinci's ancestors to write literary works, incantation, and customary law. The medium used to write the incung letters was wood bark, bamboo, coconut leaf, and the buffalo horn. However, this research tries to discuss the development of the batik industry in Kerinci: History Perspective. The method applied in this research is one of historical research to collect, select, and test the sources of history critically so that it results in the fact of history in line with what happened in the field. The results showed that the industry's oh Incung batik started in 1995 due to the Administration of Kerinci Regency's policy as to hold a training. Meanwhile, an independent training was held by  Jaya and Iryani in Jambi, speaking of which working for three years at Batik Mas in the City of Jambi. After 3 years, they went home to develop batik with particular Kerinci. The early stage of incung batik development was not eye-catching for the local people. They still focus on agricultural matters, though, following the issuance of a leaflet of the Mayor of Sungaipenuh ordering to develop the specific motif of Kerinci, triggering the public enthusiasm in developing batik. The incung batik marketing does not only cover the area of Kerinci Regency and City of Sungaipenuh, but also it has already reached the City of Jambi, West Sumatra, Jakarta, Bandung, and Solo. Abstrak: Kerinci memiliki batik yang disebut incung yang dikembangkan dari keindahan huruf incung (huruf Kerinci kuno). Huruf ini dulunya digunakan nenek moyang Kerinci untuk menulis karya sastra, mantera, dan hukum adat. Media yang digunakan untuk menulis huruf incung adalah kulit kayu, bambu, daun kelapa, dan tanduk kerbau. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba membahas perkembangan industri batik di Kerinci dalam Perspektif Sejarah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah salah satu metode penelitian sejarah untuk mengumpulkan, menyeleksi, dan menguji secara kritis sumber-sumber sejarah, sehingga menghasilkan fakta sejarah yang sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa industri batik oh incung dimulai pada tahun 1995 karena adanya kebijakan Pemerintah Kabupaten Kerinci untuk mengadakan pelatihan. Sedangkan pelatihan mandiri diadakan oleh Jaya dan Iryani di Jambi yang  bekerja selama tiga tahun di Batik Mas di Kota Jambi. Setelah 3 tahun, mereka pulang untuk mengembangkan batik khas Kerinci. Perkembangan awal pembatikan incung ternyata tidak begitu menarik perhatian warga sekitar. Meski begitu, mereka tetap fokus pada pertanian, menyusul keluarnya edaran dari Walikota Sungaipenuh yang memerintahkan untuk mengembangkan motif khas Kerinci sehingga memicu antusias masyarakat untuk mengembangkan batik. Pemasaran batik incung tidak hanya mencakup wilayah Kabupaten Kerinci dan Kota Sungaipenuh, tetapi juga sudah menjangkau Kota Jambi, Sumatera Barat, Jakarta, Bandung, dan Solo. 
Seni dan Simbolisme Budaya Masyarakat Kerinci dalam Batik Incung: Perspektif Sejarah Nandia Pitri; Herwandi Herwandi; Lindayanti Lindayanti
Galanggang Sejarah Vol 2 No 1 (2020): GALANGGANG SEJARAH: Publishing January 2020
Publisher : PAMA Aksara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.5281/zenodo.3833131

Abstract

This study revealed the phenomenon of incung batik as an art and cultural symbolism of the Kerinci community. The symbol on batik illustrates a community identity that is a non-verbal communication tool carried out by humans. The method used in this research is the method of historical research using the cultural approach and incung batik as its medium. The results showed that Kerinci was an area that was unique in developing batik motifs using the incung script (ancient Kerinci script). This is a cultural symbol for the people of Kerinci because they are able to develop ancient scripts by making it a batik motif. The art for the Kerinci community in batik is because the community can make batik with the development of incung batik and in the Kerinci community there is also a tradition of using batik cloth at weddings. Thus, batik usage in the Kerinci community has been going on since the past.
Eksistensi Ahmadiyah di Kota Padang Pasca Peraturan Gubernur Tahun 2011 Resti Febi Ramadani; Herwandi Herwandi; Lindayanti Lindayanti
NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial Vol 6, No 3 (2019): NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial
Publisher : Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (15.201 KB) | DOI: 10.31604/jips.v6i3.2019.445-456

Abstract

This study seeks to find out how the existence of an organization, that is prohibited by the Indonesian government itself. This research uses historical research methods, including, heurustics, this activity collects the source of the object concerned such as books, archives, and megazine. Then source criticism, wich is sorting out the sources that have been collected, then interpretations, and historiography. Drawing conclusions using a descriptive-analytical approach. This study found that Ahmadiyya in West Sumatera, which in 2005 and 2011 the government had banned this organization, through governors regulations and as well as getting resistance from the community, howefer it seems that the Ahmadiyya still exists until now, even having a good relationship with the non-Ahmadiyya community.Keywords: Existence, Ahmadiyya, Padang
ANALISA KONFLIK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI PROVINSI RIAU ANTARA MASYARAKAT DENGAN PERUSAHAAN (STUDI TENTANG PTPN V, PT SRK 1980-2019) Sri Rahmi Utari; Zaiyardam Zubir; Lindayanti Lindayanti
NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial Vol 8, No 2 (2021): NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial
Publisher : Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31604/jips.v8i2.2021.310-330

Abstract

Hadirnya perusahaan perkebunan kelapa sawit menyebabkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Peranap Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Pemicu permasalahan yaitu ketidakpuasan masyarakat terhadap keputusan sehingga menimbulkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan. Pemicu konflik lainnya disebabakan karena perusahaan  merampasan tanah, tidak diberi ganti rugi,  ganti rugi yang rendah, koperasi sebagai wadah perusahaan diberhentikan, dan keterlambatan sisa hasil usaha (SHU) sehingga memicu terjadinya perlawanan masyarakat. Penulisan ini menggunakan metode sejarah yang terdiri dari heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Dalam rangka pengumpulan data dilakukan dengan menggali informasi melalui wawancara terhadap pelaku dan saksi sejarah konflik perkebunan kelapa sawit, selain itu juga mengumpulkan arsip-arsip dokumen baik milik perusahaan (akta notaris), koleksi pribadi, Surat Keputusan Pemerintah Daerah Kabupaten Indragiri Hulu, selanjutnya data yang dikumpulkan dilakukan proses kritik terhadap sumber secara intern dan eksteren. Kemudian data yang melewati proses kritik intepretasi atsu penasiran melalui upaya analisa dan fakta-fakta sejarah dan terakhir penulisan sejarah. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bawah  konflik ini terdiri dari faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yaitu perampasan tanah, internal yaitu koperasi yang tidak ada kejelasan dan ganti rugi yang tidak sampai ke masyarakat. Dampak positifnya yaitu meningkatkan perekonomian masyarakat, berkurangnya angka pengangguran di Kecamatan Peranap, dampak negatifnya masyarakat kehilangan tanah ulayat adat dan tanah milik pribadi.
Koperasi Solok Radjo: Perubahan Kehidupan Petani dan Perdagangan Kopi Arabika di Kabupaten Solok Mela Prima Irna; Lindayanti Lindayanti; Nopriyasman Nopriyasman
NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial Vol 6, No 3 (2019): NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial
Publisher : Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1033.456 KB) | DOI: 10.31604/jips.v6i3.2019.457-472

Abstract

Penelitian ini mengungkapkan tentang kesulitan yang dihadapi petani kopi dikarenakan harga kopi yang rendah disebabkan karena panjangnya rantai perdagangan kopi sehingga melatarbelakangi terbentuknya sebuah koperasi dengan nama Koperasi Solok Radjo. Kemudian digambarkan peran koperasi dalam mengubah kehidupan petani kopi arabika dan perdagangan kopi arabika di Kabupaten Solok. Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian kualitatif dengan menggunakan metode sejarah yang dibagi dalam empat tahap yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi dan penulisan sehingga berbentuk tulisan sejarah yang bersifat ilmiah deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Koperasi Solok Radjo mampu memutus mata rantai yang panjang dari jaringan perdagangan konvensional dan menciptakan perdagangan satu pintu sehingga petani dapat diuntungkan dari segi harga. Selain menciptakan harga yang menguntungkan bagi petani, koperasi juga mengedukasi petani tentang budidaya kopi yang baik sehingga kualitas kopi yang dihasilkan juga baik dan kuantitas biji kopi yang dipanen juga meningkat. Selain itu, antusiasme petani untuk berkebun kopi juga meningkat. Kata kunci: Koperasi, Petani, Perdagangan dan Perubahan
Relasi Permukiman dan Moda Transportasi di Kota Padang Tahun 1957-2017 Daumar Mike Pahutar; Lindayanti Lindayanti; Nopriyasman Nopriyasman
Titian: Jurnal Ilmu Humaniora Vol. 5 No. 1 (2021): Juni 2021
Publisher : Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (132.302 KB) | DOI: 10.22437/titian.v5i1.11870

Abstract

ABSTRAKTulisan ini membahas tentang persebaran permukiman dan relasinya dengan moda transportasi di kota Padang dalam tahun 1957-2017. Menggunakan pendekatan historis dengan tahapan heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian menggambarkan kota Padang tahun 1957-1979 dimana terjadi invasi kota, sebagai akibat pergolakan daerah PRRI. Mobilitas penduduk meningkat, permukiman tersebar disepanjang pusat pemerintahan maupun fasilitas umum lainnya yang tersebar di 3 kecamatan. Permukiman itu dihubungkan dengan moda transportasi yang telah ada sebelumnya (Pelabuhan, Kereta Api, Bus, Bendi, Sepeda Motor), ditambah Bemo (1962), Oplet (1976), disusul Angkot (1979). Dalam tahun 1980-2009 terjadi perluasan kota. Permukiman tersebar hingga ke 11 kecamatan.Moda transportasi yang dioperasikan bertambah dengan kehadiran Mikrolet (1982), Taksi (1990).Pasca gempa 2009-2017 persebaran permukiman mengikuti kebijakan mitigasi bencana yang menyasar ke kawasan tinggi seperti koto tangah (pusat pemerintahan sekarang).Permukiman dihubungkan dengan tambahan moda transportasi masal Trans Padang (2014) dan moda transportasi berbasis online (Gojek) dalam tahun 2017.Kata kunci: Permukiman, Transportasi, Manusia, Alam, Pemerintah.ABSTRACTThis text deals with the distribution of the settlement and transport modes in the Padang city of the 1957-2017. Using historical approaches with heuristic stages source criticism, interpretation, and historiography. Research shows the Padang city of 1957-1979 that the city’s invasion occured, as a result of unrest in regional PRRI. Population mobility is increasing, settlements spread across the government center and other public facilities are scattered in 3 sub-districts. The settlement were linked with preexisting transport modes (Port, Train, Bus, Bendi, Motorcycle), plus Bemo (1962), Oplet (1976), followed by Angkot (1979). In 1980-2009 there was an expansion of the city. Settlement dispersed to 11 sub-districts. Operated mode of transportation increased by the presence of Microlet (1982), Taxi (1990). After the 2009-2017 earthquake of settlement followed a disaster mitigation policy aimed at high region like Koto Tangah (current government center). Settlement were linked to additional Trans Padang (2014) mass transport modes and online (Gojek) transport modes in 2017. Keywords: Settlement, Transportation, Human, Nature, Government
Analysis Of The Community Satisfaction Index On Public Services At The Sub-District Head Office Of The Ulu Musi Sub-District, Empat Lawang District Lindayanti, Lindayanti; Fitriano , Yun; Abi , Yudi Irawan
Journal of Indonesian Management Vol. 3 No. 4 (2023): Desember
Publisher : Penerbit Jurnal Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53697/jim.v3i4.1486

Abstract

The research was conducted in Ulumusi District, Empat Lawang Regency. The purpose of this study was to determine the analysis of the community satisfaction index on public services at the Sub-District Office of Ulu Musi District, Empat Lawang Regency. The data analysis technique used is to use the measurement of the value of the Community Satisfaction Index / IKM based on the Regulation of the Minister of Administrative Reform and Bureaucratic Reform of the Republic of Indonesia Number 14 of 2017 concerning the Regulation of the Minister of Administrative Reform and Bureaucratic Reform on Guidelines for Preparing Community Satisfaction Surveys for Public Service Delivery Units. The sample used was 210 people who came to the Ulu Musi Sub-District Office, Empat Lawang Regency. From the results of the study, it was found that the services of the Ulu Musi Sub-District Office of Empat Lawang Regency were at a good level. This is indicated by the value of the Community Satisfaction Index (IKM) of 9 (nine) IKM elements of 3.13 and with an IKM conversion value of 78.25. . The indicator that has the highest IKM value is the cost/tariff with an IKM value of 3.54 with an IKM conversion value of 88.69. While the indicator that has the lowest IKM value is the facilities and infrastructure indicator, getting an IKM value of 2.90 and an IKM conversion value of 72.64. The nine elements of the IKM at the Ulu Musi Sub-District Office, Empat Lawang Regency, the quality of service obtained after the research is all predicated on at least "Good". The weighted NR value after conducting research amounted to 3.13. So the weighted IKM value is predicated on "Good".