p-Index From 2020 - 2025
0.408
P-Index
This Author published in this journals
All Journal Jurnal Dimensi PETITA
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

PENEGAKAN HUKUM PASAL 504 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TERHADAP PENGEMIS DI MUKA UMUM KOTA BATAM Hutasoit, Isfandir; Rahmanidar, Rahmanidar; Putri, Febby De
JURNAL DIMENSI Vol 9, No 1 (2020): JURNAL DIMENSI (MARET 2020)
Publisher : Universitas Riau Kepulauan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33373/dms.v9i1.2328

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat penegakan hukum terhadap pengemis di muka umum berdasarkan Pasal  504 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Kota Batam serta melihat hambatan penegakan hukum terhadap pengemis di muka umum berdasarkan Pasal 504 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Kota Batam. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian empiris yang mencakup penelitian sosiologis atau empiris yang terdiri dari penelitian terhadap identifikasi hukum dan penelitian terhadap efektifitas hukum. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer berupa hasil wawancara dan observasi dan data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, artikel dan bahan hukum lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian. Metode pengumpulan data yang digunakan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah wawancara, observasi dan studi kepustakaan. Penegakan hukum terhadap pengemis di muka umum berdasarkan Pasal 504 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Kota Batam belum berjalan dengan baik dan maksimal. Penegakan terhambat dikarenakan penerapan hukumnya seolah tumpang tindih dilihat dari penegakan hukum dan dalam Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 6 Tahun 2002 Tentang Ketertiban Sosial di Kota Batam. Hambatan terhadap penegakan hukum adalah dimana saling melempar tanggung jawab dikarenakan kurangnya pemahaman terhadap keberlakukan hukum dan pemerintah melalui dinas sosial tidak menyediakan sarana dan prasarana untuk pelaksanaan perturan-peraturan yang telah dibuat. Hambatan dari Masyarakat dan budaya di wilayah Kota Batam kurang mendukung untuk penegakan ini dimana masyarakat memandang tindakan mengemis bukan suatu tindak pidana dan sikap yang murah hati yang tinggi dan tidak menyadari tindakan tersebut dapat meningkatkan persebaran para pengemis di wilayah Kota Batam
EKSISTENSI GRASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA Rahmanidar, Rahmanidar
PETITA Vol 2, No 2 (2015): Vol. 2 No. 2 Desember 2015
Publisher : PETITA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (26.402 KB) | DOI: 10.33373/pta.v2i2.674

Abstract

Grasi merupakan hak preogratif yang dimiliki oleh Presiden. Dalam keputusan dari permohonan grasi  ini, baik diitolak atau dikabulkan oleh Presiden, dasar keputusannya tetap didasarkan pada teori pemidanaanMengenai kewenangan presiden memberikan grasi, disebut kewenangan presiden yang bersifat judisial, atau disebut juga sebagai kekuasaan presiden dengan konsultasi.Dengan pengabulan grasi, seseorang dapat lebih ringan, berkurang, atau bahkan hapus sama sekali pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim. Seperti diketahui sebelumnya, permohonan grasi hanya dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht). Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak dapat dilawan dengan upaya hukum biasa, tapi dapat dengan jalan upaya hukum luar biasa.
PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN BANK DALAM PEMBERIAN KREDIT DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERBANKAN Rahmanidar, Rahmanidar
PETITA Vol 1, No 1 (2014): Vol. 1 No 1 Juni 2014
Publisher : PETITA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (26.402 KB) | DOI: 10.33373/pta.v1i1.681

Abstract

Salah satu usaha bank yang telah cukup dikenal masyarakat adalah memberikan dana pinjaman atau utang kepada nasabahnya, namun mengandung risiko yang dapat berpengaruh pada  kesehatan dan kelangsungan usaha bank, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus menerapkan ketentuan-ketentuan perkreditan yang sehat. Salah satu hal  penting yang dianut industri perbankan nasional saat ini adalah dengan menjalankan prinsip kehati-hatian (prudential principles) seperti yang tercantum pada pasal 2 dan pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
SANKSI PIDANA PENCABUTAN HAK POLITIK DAN DENDA MAKSIMAL TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195 K/Pid.Sus/2014) rahmanidar, Rahmanidar; Yardi, Budi
PETITA Vol 2, No 1 (2020): Petita Vol 2 No. 1 Juni 2020
Publisher : PETITA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (26.402 KB) | DOI: 10.33373/pta.v2i1.2569

Abstract

Salah satu tindak pidana yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) adalah tindak pidana korupsi, sehingga upaya dalam pemberantasannya juga perlu cara yang luar biasa pula dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat, khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum. Namun semangat itu sepertinya hanya seruan saja, karena sampai saat ini kasus tindak pidana korupsi menunjukkan tren peningkatan yang sangat signifikan bahkan melibatkan semua lini birokrasi. Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Sanksi Pencabutan Hak Politik dan Denda Maksimal Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia dengan studi melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195 K/Pid.Sus/2014.          Permasalahan penelitian ini adalah bagaimana pengaturan sanksi pidana pencabutan hak politik dan denda maksimal dalam hukum pidana Indonesia dan bagaimanakah perspektif Hak Asasi Manusia terhadap sanksi pidana pencabutan hak politik dan denda maksimal terhadap pelaku tindak pidana korupsi.          Jenis penelitian ini adalah normatif yang mengacu pada norma hukum dan peraturan perundang-undangan, maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses dengan menggunakan sumber data sekunder yang dikumpulkan dengan cara studi kepustakaan yang dianalisa dengan metode deduktif dan kualitatif.          Dari penelitian yang dilakukan, menunjukkan bahwa pidana pencabutan hak politik dan denda maksimal seperti pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195 K/Pid.Sus/2014, telah diatur dalam konsepsi hukum pidana Indonesia baik dalam KUHP maupun Undang-Undang Pemberantasan Tipidkor, namun pada konteks tidak adanya limitasi pencabutan hak adalah bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 38 KUHP maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia. Untuk itu, diperlukan adanya produk hukum dengan muatan sanksi yang lebih berat dari yang sudah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang mampu mewujudkan tujuan pemidanaan agar pelaku tindak pidana korupsi jera dan orang/pejabat lain tidak melakukan perbuatan yang sama dikemudian hari dengan tetap menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.Kata Kunci : Pidana, Hak Politik, Denda, Maksimal, Hak Asasi Manusia.
PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 (Studi Kasus Wilayah Hukum Kelurahan Kawal Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan) Siahaan, kennedy; rahmanidar, rahmanidar
PETITA Vol 1, No 2 (2019): Vol 1 No. 2 Desember 2019
Publisher : PETITA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (26.402 KB) | DOI: 10.33373/pta.v6i2.2228

Abstract

 In the current era of globalization, society tends to develop which causes the mindset of the more advanced society. The development of the community also resulted in the community trying to make renewal in all areas of technology. Increasing people's mindset and technological progress have an impact on increasing crime by using sophisticated modus operandi, especially in Narcotics and drugs. Narcotics is the greatest enemy for the next generation of nation not only the responsibility of the Police but also the responsibility of the society itself. Public participation is active means that the public must report when the occurrence of Narcotic criminal acts are very useful in combating illicit traffic Narcotics. The existence of Community Empowerment Agency. Agency can be a container in tackling and preventing the circulation of Narcotics crime in the community.Recognizing that Narcotics Crime is a big Crime and has wide impact for many people, so that in the effort to overcome the Government and Police need support from the public participation in order to eradicate Narcotics crime which is rampant circulating. However, in the implementation there are limitations of the community itself which resulted in the delayed destroyed Narcotics crime.The method or type of research used by the author is the method of empirical normative law research which is a combination of normative legal approach with the addition of some empirical elements. While the data collection method that is done is direct observation to the field to get real and objective data. The type of data used by the authors in this study is, Primary data, supported by secondary data, this data is obtained from literature materials and interviews from several sources.In this chapter the authors describe and explain with reference to the formulation of the problem, the authors can draw conclusions, among others, that community participation in the eradication and control of Narcotics crime is very important. Therefore the need for Government's attention through the Community Empowerment Institute to protect and invite the community who is the front guard pion to fight Narcotics. The obstacles to eradication and control of Narcotics are the lack of infrastructure, the number of personnel from the Institute of Community Empowerment itself and the public knowledge about the dangers of Narcotics.