Rizal Fauzi
Ma'had Aly Idrisiyyah

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Analogi dalam Interpretasi Wahdatul Wujud dan Implikasinya dalam Kehidupan Rizal Fauzi
Hikamia: Jurnal Pemikiran Tasawuf dan Peradaban Islam Vol. 1 No. 2 (2021): Hikamia
Publisher : Ma'had Aly Idrisiyyah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (317.821 KB) | DOI: 10.58572/hkm.v1i2.6

Abstract

Istilah “Wahdatul wujud”, tidak pernah ditemukan dalam tulisan-tulian Ibn ‘Arabi, ia merupakan kesimpulan dari beberapa peneliti berkenaan dengan konsep wujud Tuhan dan alam menurut Ibn ‘Arabi.Wahdatul wujud, menurut sebagian besar Shufi adalah puncak kondis batin yang fanadan syuhud, sehingga yang disadari dan dirasakan hanyalah wujud al-Haqq. Menurut sebagian Ulama wahdatul wujud adalah konsep tauhid di kalangan Shufiyah, sehingga menjadi ajaran aqidah. Dalam memahami kedalaman konsep wahdatul wujud, penulis menggunakan pendekatan analogis. Metode penelitian yang digunakan adalah studi pemikiran tokoh dengan meneliti kitab Fushuhs al-hikam, dan syarah-syarahnya. Sebagaimana biasa dilakukan oleh para Teolog dalam membuktikan keEsaan Tuhan, lewat entitas yang lainnya (siwallᾱh), Maka Ibn ‘Arabi dalam menjelaskan wujud Al-Haqq pun menggunakan perbandingan hakikat wujud alam (siwallᾱh). Pondasi konsep ini adalah hadis Nabi Saw,”Sesungguhnya Allah menciptakan Adam atas rupa-Nya. Salah satu Interpetasidalam memahami wahdatul wujud, yaitu wujud hakiki Tuhan adalah batin-Nya sedangkan zahir-Nya hanyalah cerminan atau bayangan-Nya yang bukanlah Dzat-Nya akan tetapi wujud makhluk-Nya yang bergantung kepada Allah SWT. Dengan analogiruh dan jasad manusia, dimana hakikat manusia adalah ruhnya sedangkan jasadnya hanyalah bungkus yang berbeda dengan ruh itu sendiri, akan tetapi menjadi satu kesatuan karena sangat dekat, akan tetapi tidak bercampur dan masing-masing memiliki perbedaan yang nyata. Dalam hal ini penulis mencoba mengintegrasikan pemahaman ‘ainiyyah(immanen) dan ghairiyyah dalam memahami wahdatul wujud. Hal ini disebabkan adanya dua pernyataan yang seolah bersebrangan dari Ibn ‘Arabi, antara tanzih(transenden)dan tasybih (imanen) Tuhan.
Bermursyid Kepada Mursyid Yang Sudah Wafat Menurut Para Sadat Shufiyah Rizal Fauzi
Hikamia: Jurnal Pemikiran Tasawuf dan Peradaban Islam Vol. 2 No. 1 (2022): Hikamia
Publisher : Ma'had Aly Idrisiyyah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (265.301 KB) | DOI: 10.58572/hkm.v2i1.9

Abstract

Menghilangkan amradh qalbiyah (penyakit hati) menurut para Ulama hukumnya wajib, dan tidak dapat dilakukan tanpa bimbingan Wali Mursyid. Sehingga mayoritas Ulama Salaf dan Khalaf menghukumi wajib mencari Mursyid zamannya yang tidak terputus silsilahnya dan berada dalam bimbingannya. Permasalahan muncul ketika suatu Tarekat tidak memiliki Mursyid yang meneruskan Mursyid sebelumnya, atau tidak meyakini adanya penerus dari Mursyid yang sudah wafat. Jenis penelitian yang digunakan adalah kepustakaan dengan pendekatan kajian teks kitab-kitab tasawuf yang menjadi rujukan dikalangan ahli-ahli Tarekat tasawuf. Menurut Syaikh Ibn ‘Arabi, bahwa bermursyid kepada yang sudah wafat dan tidak lagi mencari Mursyid penggantinya maka tidak dikategorikan shuhbah kepada Mursyid dan sulit meraih bimbingannya secara paripurna. Menurut Ahmad Musthafa al-‘Alawi, mursyid yang masih hidup, wakil dari Rasulullah dan seluruh Mursyid sebelummya yang sudah wafat sehingga bermursyid kepada mursyid yang masih hidup akan memperolah bimbingan yang paripurna. Menurut Syaikh ‘Abdul Wahhab asy-Sya’rani, kewajiban bagi murid apabila Syaikhnya wafat untuk segera bermursyid kepada yang masih hidup untuk melanjutkan dan menambah bimbingan Mursyid sebelumnya. Berkata Syaikh Ahmad Tijani kepada murid-murid yang datang setelahnya dan berguru kepadanya “ketahuilah bahwa Allah menjadikan berdasarkan ilmunya yang terdahulu bahwa al-madad itu berlaku setiap zaman beserta ahli zamannya (mursyid zamannya), barang siapa yang merasa cukup dengan ucapan-ucapan Mursyid sebelumnya dari yang sudah wafat, maka hatinya akan di cap dengan terhijab dari wushul. Murid yang berguru kepada Mursyid yang sudah wafat kondisinya ada 3 macam: 1) menolak kepada Mursyid yang mendapat istikhlaf, maka dia ingkar kepada Mursyid zamannya, dan terhalang dari bimbingan Mursyid sebelumnya, 2) ragu kepada Mursyid yang melanjukan karena diduga keras tidak mendapatkan istikhlaf, penunjukan, atau wasiat dari Mursyid sebelumnya, 3) tidak mempercayai sama sekali yang mengklaim sebagai Mursyid pelanjut, maka wajib bagi murid yang ragu dan tidak percaya, untuk mencari dan bersandar kepada Allah untuk diperjumpakan dengan Mursyid zamannya.
Al-Amrādh Al-Qalbiyyah Dan Terapinya Dalam Ilmu Tasawuf Rizal Fauzi
Hikamia: Jurnal Pemikiran Tasawuf dan Peradaban Islam Vol. 2 No. 2 (2022): Hikamia
Publisher : Ma'had Aly Idrisiyyah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (300.976 KB) | DOI: 10.58572/hkm.v2i2.21

Abstract

Qalbumengandungsifat-sifat Rabbani, sebagai pusat kehendak manusia, sebagaimana jiwa pusat dari karakter atau sifat dan akal pusat berpikir bagi manusia. Karakter dibentuk dari kehendak yang berulang-ulang demikian pula berpikir sebagai upaya mewu-judkan kehendak dari qalbu. Sehingga qalbu pusat dan bagaikan raja dalam diri manusia. Akan tetapi apabila qalbu mengalami sakit dan lemah maka syahwat nafsulah yang menguasai hati sehingga muncul sifat-sifat yang negatif danpikiran-pikiran yang jahat dan busuk. Apa yang dimaksud dengan qalbu yang sakit,apa saja penyakit qalb, dan bagaimana terapi penyembuhannya dalam ilmu tasawuf? Inilah rumusan permasalahan yang akan dijawab dalam tulisan ini. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analitik dengan sumber data dari kepustakaan. Fungsi utama qalbu adalah sebagai alat penghubung atau dzikir hambakepada Allah SWT. Hati yang selalu menghadap kepada Allah akan mendapatkan limpahan petunjuk, rahmat, dan penjagaan dari berbagai keburukan. Ada empat sumber penyakit hati yang menja-di ujian terbesar manusia, dan menjadi sorotan utama para ahli tasawuf. Empat sumber penyakit hati adalah dunia, kehidupan danmaterinya, makhluk, syaithan, dan syahwat nafs. Tujuan dari penu-lisan ini adalah menyajikan pembahasan tentang makna qalbu, penyakitnya, dan terapinya dalamilmu tasawuf. Sehingga diharap-kan setiap insan dapat mengenali kondisi hatinya. Kemudian tergerak untuk mencari tabib dan obat untuk penyembuhan qalbu-nya.Karena selain para Nabi dan yang menjadi pewaris sejatinya akan mudah terjangkit penyakit qalbu. Mudah-mudahan berawal dari qalbu-qalbu yang sehat(qalbunsalīm), akan tercipta peradab-anI slam yang dijanjikan oleh Nabi Saw diakhir zaman.
Bentuk-bentuk Ma’rifatullāh dalam Interpretasi Al-Hizb Al-Rābi’ Syaikh Ahmad bin Idris al-Fasi Rizal Fauzi
Hikamia: Jurnal Pemikiran Tasawuf dan Peradaban Islam Vol. 3 No. 1 (2023): Hikamia
Publisher : Ma'had Aly Idrisiyyah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58572/hkm.v3i1.32

Abstract

Syaikh Ahmad bin Idris al-Fasi seorang Mursyid yang masyhur dengan wirid al-istighfār al-kabῑr, tahlῑl al-makhṣūṣ, ash-shalawat al-‘aẓimiyah, dan ahzābnya. Selain sebagai pembaharu ajaran tasawuf (at-tasawuf at-tajdῑdiy), dan ahli tafsir dengan corak tafsir ‘irfaniy yang terpadu dengan kaidah-kaidah ilmu tafsir. Syaikh Ahmad bin Idris termasuk tokoh tasawuf yang detil mendeskripsikan bentuk-bentuk pengenalan yang mendalam kepada Allah SWT, yang mencapai ma’rifat Dzat Ilahi, sebagaimana Mursyid kamil mukammil sebelumnya seperti Syaikh ‘Abdul Qadir dalam kitab Sirr al-asrār wa maẓharul anwār. Ia menjelaskan bahwa ruh qudsi manusia pada dimensi Lahut, dapat menyaksi kepada Tajalli (penampakan) Dzat Tuhan. Syaikh Abul Hasan as-Syadziliy dalam Risalah al-amin-nya, mendeskripsikan secara detil penyaksian nafs (diri) Tuhan baik dalam dimensi az- ẓāhir maupun al-Bāṭin, Demikian Syaikh Muhyiddin Ibn ‘Arabiy, dan Shufi besar generasi awal seperti Syaikh Abu Yazid al-Busthami, Al-Hallāj dan lainnya. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis terhadap salah satu hizib Syaikh Ahmad bin Idris al-Fasi. Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan bentuk-bentuk ma’rifatullah, dalam konsep ma’rifatullah Syaikh Ahmad bin Idris al-Fasi dalam al-Hizb al-Rabi’nya yaitu dzauq bagi tajalli sifat-sifat dan nama-nama Allah SWT, dan musyahadah bagi tajlli Dzat Allah SWT, pada dimensi kedekatan dan kesucian Allah SWT, yang tertinggi. Keunggulan konsep makrifat Zat Ilahi, Syaikh Ahmad bin Idris adalah dapat terjaganya syariat-syariat Islam meskipun dalam kondisi fana` totalitas dari kesadaran dan perasaan dirinya.
Tipologi Thariqah Sufiyyah di Indonesia Rizal Fauzi
Hikamia: Jurnal Pemikiran Tasawuf dan Peradaban Islam Vol. 3 No. 2 (2023): HIkamia
Publisher : Ma'had Aly Idrisiyyah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58572/hkm.v3i2.37

Abstract

Thariqah sebagai madzhab shufiyah muncul sekitar 3H, dimana Junaid al-Baghdadi, diakui sebagai pencetus thariqah dalam shufiyah. Hal ini karena banyak murid Syaikh al-Junaid yang menjadi masyaikh shufiyah selanjutnya, seperti Abu ‘Abdillah al-Kattani, Abu Muhammad al-Jariri, Abu Ya’qub an-Nahrajuri, Abu ‘Abdullah al-Makki, dan lainnya. Adanya silsilah dalam Tarekat, merupakan salah satu syarat utama keabsahan suatu thariqah. Masuknya tarekat ke Indonesia diyakini berbarengan dengan masuknya Islam di Nusantara, dan berkembang sekitar abad ke 15M, seperti yang dibawa oleh Hamzah Fansur yang bertarekat Qadiriyah, Bahkan konon sebelum adab ke 13 para penasihat kerajaan Aceh dari ulama shufi. kemudian masuk tarekat Syathariyah, Naqsyabandiyah, Khalwatiyah, Samaniyah dan ‘Alawiyah. Kemudian masuk Tarekat Tijaniyah dan Sanusiyah Idrisiyyah ke Jawa Barat pada abad ke19 M, oleh Syaikh Akbar Abdul Fattah. Seiring perkembangan dan penyebaran Tarekat di Indonesia, terjadi keragaman corak atau tipologi tarekat, diantaranya tarekat normal, tarekat ruhaniyah, tarekat ‘Alawiyah, tarekat ta’lim wa ta’allum, dan tarekat neo shufisme. Metode penilitian yang digunakan berdasarkan kepada teori teori Mark J.R Sedgwick, dan merujuk kepada kepustakaan. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa adanya 5 tipologi tarekat di Indonesia dari segi silsilah dan ajaran.