Nabila Syahrani, Shinta Hadiyantina, Amelia Ayu Paramitha Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Jl. MT. Haryono No. 169 Malang e-mail: nabilasyahrani@student.ub.ac.id Abstrak Pada skripsi ini penulis mengangkat permasalahan PENGATURAN KEWENANGAN INSTANSI PELAKSANA PEMERINTAH DALAM INTEGRASI KEBIJAKAN E-GOVERNMENT TERHADAP PELAYANAN PUBLIK. Pilihan ini di latarbelakangi oleh reformasi birokrasi dimana sekarang pelayanan publik sudah menuju digitalisasi. Disatu sisi pada ketentuan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 angka 13 huruf b menginstruksikan penghilangan sekat-sekat kewenangan antar instansi pemerintah dalam e-goverment namun pada ketentuan lain, yaitu angka 28 huruf a justru menginstruksikan bahwa pelaksana tanggung jawab dari e-government ini juga tetap berpegang teguh terhadap kewenangan instansinya masing-masing. Oleh karena itu, hal ini tentu merupakan suatu bentuk standar ganda yang menimbulkan kekaburan hukum dan memang dalam ketentuan yang berkaitan dengan e-government ini belum mengatur secara rigit mengenai pengintegrasian kebijakan dengan menghilangkan sekat-sekat kewenangan antar instansi pelaksana pemerintah dalam e-government dimana hal ini yang nantinya akan menimbulkan permasalahan hukum. Hal ini disebabkan karena masing-masing intstansi tidak mau kewenangannya saling diintervensi atau dicampuradukkan satu sama lain apalagi kalau melihat ketentuan Instruksi Presiden No.3 Tahun 2003 tersebut kewenangannya antar instansi justru seakan-akan direduksi, padahal bagaimana bisa suatu Instruksi Presiden bisa mereduksi kewenangannya suatu instansi pelaksana pemerintah yang kewenangannya sendiri bersumber dari Undang-Undang yang kedudukannya lebih tinggi dibandingkan dengan Instruksi Presiden. Kata Kunci: kewenangan, instansi pelaksana, e-government, pelayanan publik Abstract This research discusses the issue regarding the authority of acting governmental institutions in the integration of e-government policy concerning public services. This topic departed from the bureaucratic reform that is sifting to digitization. On one hand, the provision of the Presidential Instruction Number 3 of 2003 Number 13 point b instructs the abolishment of authority borders between government institutions and e-government. On the other hand, another provision in Number 28 point a implies that the responsibility of the e-government must adhere to the authority of each institution. Therefore, these mixed regulations represent double standards that lead further to the vagueness of the law. Moreover, it holds that the regulation concerning e-government has not rigidly governed the integration of policy by lifting authority borders between acting government institutions and e-government. This issue will certainly give rise to a legal problem since each institution will not give it a slight chance to be interfered with by others. Moreover, the Presidential Instruction Number 3 of 2003 implies that the authority of institutions is reduced. This is unacceptable recalling that government authorities are derived from laws with a position higher than the Presidential Instruction. Keywords: authority, implementing agencies, e-government, public servicesana, e-government, pelayanan publik