Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

PENCABUTAN HAK KEKEBALAN TERHADAP PEJABAT DIPLOMATIK MENURUT PASAL 32 KONVENSI WINA 1961 Stefan Obaja Voges; Gary Gerald Tambajong; Fernando J.M.M Karisoh
LEX PRIVATUM Vol. 11 No. 4 (2023): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimanakah pengaturan hak kekebalan dan hak keistimewaan pejabat diplomatik menurut Konvensi Wina 1961 dan untuk mengetahui bagaimanakah penerapan sanksi dan penyelesaian perkara terhadap para pejabat diplomatik yang menyalahgunakan hak kekebalan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, kesimpulan yang didapat sebagai berikut: 1. Menurut Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik seorang perwakilan diplomatik diberikan Hak Kekebalan dan Keistimewaan, hal ini dibenarkan oleh hukum internasional dan sudah menjadi Hukum kebiasaan Internasional sejak berabad- abad yang lalu, serta diatur dalam Hak kekebalan yang melekat pada seorang pejabat diplomatik menurut Konvensi Wina 1961 adalah, kekebalan pribadi, kekebalan terhadap yurisdiksi pidana, perdata, dan administrasi negara penerima, dan keistimewaan (privileges) berupa pembebasan dari pajak,iuran, bea cukai negara penerima (sending state), pebebasan dari pemeriksaan barang, terdapat juga pembebasan dari jaminan sosial, pelayanan sosial, dan wajib militer. 2. Hak Kekebalan Yurisdiksi terhadap tindak pidana yang diatur dalam Konvensi Wina 1961 dalam hal ini seringkali melepaskan pejabat diplomatik yang melakukan tindak pidana di negara penerima bebas dari sanksi hukum yang seharusnya diterima dan sulit untuk diadili, sehingga dalam hal ini sebagai negara pengirim sudah seharusnya juga turut bertanggung jawab atas tindakan pejabat diplomatnya tersebut dalam hal ini untuk saling menjaga hubungan baik antar negara. Kata Kunci : Konvensi Wina, Kekebalan Diplomatik
TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERJANJIAN KERJA SAMA SISTER CITY DI INDONESIA Esti Nikolin Mata; Caecilia J.J Waha; Stefan Obaja Voges
LEX ADMINISTRATUM Vol. 12 No. 5 (2024): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dari skripsi ini adalah untuk memahami dasar hukum, mekanisme pelaksanaan, serta dampak dari perjanjian kerja sama Sister City di Indonesia. Penelitian ini berfokus pada bagaimana perjanjian kerja sama antara dua kota di negara yang berbeda dapat mempengaruhi hubungan diplomasi, ekonomi, pendidikan, budaya, dan aspek lainnya. Dalam pembahasannya, skripsi ini mengeksplorasi landasan peraturan yang mendukung kerja sama Sister City, serta mekanisme perjanjian yang melibatkan pemerintah daerah di Indonesia. Salah satu studi kasus yang dibahas adalah kerja sama antara Kota Bandung dengan Kota Suwon di Korea Selatan, yang berhasil mencapai beberapa tujuan awal seperti peningkatan kerja sama di bidang ekonomi, pendidikan, dan budaya. Namun, skripsi ini juga mengidentifikasi bahwa tidak semua perjanjian Sister City berhasil mencapai tujuannya, dengan beberapa kerja sama yang tidak memberikan dampak signifikan. Oleh karena itu, skripsi ini memberikan rekomendasi untuk perbaikan dalam pelaksanaan perjanjian Sister City agar lebih efektif dan memberikan manfaat yang nyata bagi daerah yang terlibat. Kata Kunci : Sister City, Kerja Sama Internasional, Perjanjian Internasional, Hukum Internasional, Indonesia.
TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PERLINDUNGAN CAGAR BUDAYA SAAT KONFLIK BERSENJATA Vanaquesa Pingkan; Natalia Lengkong; Stefan Obaja Voges
LEX PRIVATUM Vol. 13 No. 2 (2024): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perlindungan cagar budaya (cultural property) dalam Hukum Internasional telah ada sejak masa Romawi dan Yunani. Cagar budaya dianggap sebagai bagian dari peradaban kehidupan manusia. Pada masa modern, merusakkan cagar budaya masuk dalam kategori melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan perkembangan yang ada, perlindungan akan cagar budaya mulai dibuat dalam konvensi-konvensi internasional. Ini dibuktikkan dengan hadirnya Konvensi den Haag 1954 yang merupakan konvensi pencetus dari konvensi perlindungan cagar budaya lainnya. Akan tetapi, kehadiran Konvensi den Haag 1954 sebagai salah satu konvensi yang melindungi cagar budaya, tidak bisa menjamin perlindungan yang efektif. Dalam konflik bersenjata internasional antara Rusia dan Ukraina terdapat lebih dari 300 situs cagar budaya yang rusak akibat konflik yang terjadi. Situs ini meliputi tempat ibadah, museum, bangunan bersejarah, monumen bersejarah, perpustakaan dan tempat pengarsipan. Konflik yang terjadi di tempat lainnya juga menghasilkan hal yang sama. Mekanisme yang disediakan telah mencakup keseluruhan proses, baik pada masa damai, saat konflik bersenjata dan sesudah konflik bersenjata. Langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah negara mengambil langkah preventif pada masa damai untuk mencegah perusakan terjadi di cagar budaya. Selain itu, peran masyarakat dan pihak-pihak terkait juga sangat penting untuk membantu menjaga cagar budaya yang ada. Kata Kunci: Cagar Budaya, Perlindungan, Hukum Internasional, Konflik Bersenjata.
PENGGUNAAN PMC (PRIVATE MILITARY COMPANY) DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNASIONAL DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Jeremy George Lengkong; Lusy K.F.R. Gerungan; Stefan Obaja Voges
LEX ADMINISTRATUM Vol. 13 No. 1 (2025): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan Private Military Company (PMC) dalam konflik bersenjata internasional ditinjau dari Hukum Humaniter Internasional (HHI). Berkembang dari praktik historis penggunaan tentara bayaran, PMC menghadirkan tantangan kontemporer terhadap hukum humaniter internasional . Latar belakang penggunaan PMC didorong oleh faktor-faktor seperti demiliterisasi, pemotongan anggaran militer, dan kebutuhan akan tenaga profesional di bidang keamanan . PMC didefinisikan sebagai entitas bisnis swasta yang menyediakan jasa militer dan keamanan, dengan karakteristik seperti struktur komando, penggunaan senjata secara terbuka, dan motif keuntungan finansial. Status hukum PMC dalam HHI masih belum jelas, berada dalam area abu-abu. Meskipun bukan bagian dari angkatan bersenjata resmi suatu negara, personil PMC terikat untuk mematuhi HHI dan hukum nasional yang berlaku. Oleh karena itu, studi ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan kerangka hukum yang komprehensif yang mengklarifikasi status PMC, memastikan kepatuhan mereka terhadap hukum humaniter internasional, dan menetapkan mekanisme akuntabilitas untuk mengurangi risiko terhadap penduduk sipil dan menegakkan prinsip-prinsip kemanusiaan selama konflik bersenjata. Kata kunci : Private Military Company, Konflik Bersenjata, Hukum Humaniter Internasional.
TINJAUAN HUKUM PENGATURAN USIA MENURUT UNDANG UNDANG NO. 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK BERKAITAN DENGAN HAK DAN KEWAJIBAN ANAK Gerald Hengky Bawole; Jacobus Ronald Mawuntu; Stefan Obaja Voges
LEX ADMINISTRATUM Vol. 13 No. 2 (2025): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan usia anak menurut UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan untuk mengetahui ketentuan hak dan kewajiban anak dalam pengaturan usia menurut UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Metode yang digunakan adalah penelitian normatif, dengan kesimpulan yaitu: 1. Urgensi pengaturan ketentuan usia anak dalam hukum memiliki peran fundamental dalam melindungi hak-hak anak serta mencapai kepastian hukum. Namun, harmonisasi hukum dalam pengaturan usia anak di Indonesia mencerminkan upaya perlindungan hak anak yang terus berkembang seiring dengan dinamika sosial dan prinsip internasional. 2. Memahami hak dan kewajiban anak dengan terlebih dahulu mengidentifikasi kriterium anak dan pembeda-pembedanya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pertama, pengelompokan berdasarkan label yang mencakup Anak, Anak Terlantar, Anak Penyandang Disabilitas, Anak yang Memiliki Keunggulan, Anak Angkat, dan Anak Asuh. Kemudian, pengelompokan anak berdasarkan jenjang usia anak yang masih dalam kandungan, bayi baru lahir, bayi, anak balita, anak prasekolah, anak usia sekolah, dan remaja. Menarik pembeda di antaranya bertujuan agar negara dapat membedakan perlakuan hukum terhadap setiap anak bergantung pada label yang disandang. Kata Kunci : perlindungan anak, hak dan kewajiban anak