Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

STATUS HUKUM HAK LINTAS NEGARA KEPULAUAN DITINJAU DARI UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA (UNCLOS) 1982 Jason Theogives Lamandasa; Caecilia J.J Waha; Lusy K.F.R. Gerungan
LEX ADMINISTRATUM Vol. 11 No. 5 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan hak lintas diwilayah perairan kepulauan dalam United Nation Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) 1982 dan untuk mengetahui Bagaimana implementasi hukum laut internasional terkait hak lintas diwilayah perairan kepulauan. Dengan metode penelitian yuridis normatif, kesimpulan yang didapat: 1. Pengaturan hak lintas diwilayah perairan kepulauan berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB 1982 atau United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982 menjelaskan tentang Hak lintas damai (right of innocent passage), Hak lintas alur laut kepulauan (right of archipelagic sea lanes passage), Kewajiban kapal dan pesawat udara selama melakukan lintas, kegiatan riset dan survey, Kewajiban Negara kepulauan dan peraturan perundang-undangan, dan Negara kepulauan bertalian dengan lintas alur laut kepulauan. 2. Implementasi hukum laut internasional dalam UNCLOS 1982 memberikan kedaulatan penuh pada perairan kepulauan dan mewajibkan Negara Kepulauan untuk memberi hak lintas damai dan hak lintas alur kepulauan. Inilah ketentuan yang 'memaksa' Indonesia menetapkan Alur Laut Kepulauan (Designated Sea Lane) walaupun UNCLOS 1982 telah mengatur tentang hak lintas damai dan hak lintas alur kepulauan. Kata Kunci : Hak Lintas Negara Kepulauan
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DISKRIMINASI WARNA KULIT (COLORISM) BERDASARKAN PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Arvi Chen Kalalo; Lusy K.F.R. Gerungan; Thor Bangsaradja Sinaga
LEX ADMINISTRATUM Vol. 12 No. 5 (2024): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan dan memberikan pengetahuan terhadap masyarakat dan penulis tentang Pengaturan hukum diskriminasi warna kulit (Colorism) dan untuk mengetahui dan menyelidiki bagaimana faktor-faktor sehingga terjadinya diskriminasi warna kulit dan bagaimana perlindungan hukum diskriminasi warna kulit tersebut. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Pengaturan terkait dengan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Diskriminasi Warna Kulit secara umum terdapat dalam Universal Declaration of Human Rights & Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Secara khusus terkait dengan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Diskriminasi Warna Kulit terdapat dalam Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, 1965. (Negara Indonesia Meratifikasi dengan Undang-Undang No. 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on the of All Forms of Racial Discrimination 1965), konvensi itu menjadi Pedoman Pembentukan Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. 2. Terjadinya diskriminasi warna kulit dikarenakan oleh beberapa faktor yakni 1) Ideologi Histori, yang menganggap warna kulit putih lebih unggul dan menimbulkan Hasrat kecantikan sehingga kulit putih menjadi standar kecantikan di Indonesia. 2) Prasangka dan Stereotipe Negatif, Kepercayaan dan prasangka yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan juga merupakan salah satu faktor sehingga terjadi diskriminasi warna kulit. 3) Sosial dan Ekonomi, Pengelompokan atau penggolongan kelas masyarakat tersebut sifatnya adalah hierarki vertikal yang akibatnya adalah memunculkan istilah kelas sosial atas atau upper class. Tingkatan kelas sosial tersebut memicu adanya suatu perlakuan yang membeda-bedakan. 4) Adanya kekecewaan terhadap seseorang akan menimbulkan suatu perlakuan yang membeda-bedakan, sehingga ujaran kebencian, penghinaan dan perlakuan diskriminasi secara tidak sengaja akan terjadi. Kata Kunci : colorism, hak asasi manusia
PERLINDUNGAN HAK – HAK ANAK DALAM STATUS PENGUNGSI MENURUT KONVENSI HAK-HAK ANAK TAHUN 1989 DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA Ricardo Juanito Kalangi; Caecilia J.J Waha; Lusy K.F.R. Gerungan
LEX PRIVATUM Vol. 12 No. 4 (2023): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan hukum berkaitan dengan bentuk perlindungan terhadap pengungsi anak menurut Konvensi Hak-hak Anak 1989 dan untuk mengetahui implementasi di Indonesia dalam kaitannya dengan perlindungan terhadap pengungsi anak. Dengan menggunakan metode cpenelitian yuridis normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Pengaturan Hukum perlindungan pengungsi anak merujuk pada Pasal 22 Konvensi Hak Anak Tahun 1989 (Convention on the Rights of the Child) yang juga merupakan instrumen hukum internasional yang menyatakan bahwa pengungsi anak berdasarkan statusnya sebagai pengungsi maupun anak-anak yang mencari status pengungsi berhak mendapatkan perlakuan yang layak serta perlindungan khusus. 2. Berkaitan dengan perlindungan terhadap pengungsi anak, Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, maka secara langsung Indonesia menyetujui seluruh isi konvensi, sehingga Indonesia telah melakukan tindakan implementasi sesuai prinsip-prinsip perlindungan dalam Konvensi Hak Hak Anak, dan juga sebagai amanat Undang Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia. Kata Kunci : hak–hak anak dalam status pengungsi, implementasinya di indonesia
PENYALAHGUNAAN LAMBANG KEPALANGMERAHAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2018 Kheiren Lafimina Walandouw; Lusy K.F.R. Gerungan; Imelda Amelia Tangkere
LEX PRIVATUM Vol. 13 No. 1 (2024): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan lambang kepalangmerahan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2018 dan untuk mengetahui pelaksanaan penegakkan hukum terhadap penyalahgunaan lambang kepalangmerahan. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. PMI merupakan sebuah organisasi kemanusiaan yang berstatus badan hukum, Pengaturan penggunaan lambang kepalangmerahan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2018. 2. Pelaksanaan penegakkan hukum terhadap penyalahgunaan lambang kepalangmerahan, Indonesia sebagai negara yang dalam hal ini hukum bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik. Pemberlakuan ketentuan pidana terhadap penyalahgunaan lambang kepalangmerahan dapat dikenakan pidana penjara dan pidana denda sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kata Kunci : penyalahgunaan lambang, palang merah indonesia
ANALISIS YURIDIS REINTEGRASI SOSIAL DALAM SISTEM PEMASYARAKATAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2022 TENTANG PAMASYARAKATAN Junivan Christian Poluan; Debby Telly Antow; Lusy K.F.R. Gerungan
LEX PRIVATUM Vol. 14 No. 2 (2024): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep reintegrasi sosial menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan dan untuk mengetahui pemenuhan hak binaan Didik narapidana melalui reintegrasi sosial. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Hak narapidana adalah hak yang dimiliki oleh narapidana hak itu punya arti sesuatu hal yang benar benar, kepunyaan, wewenang, kekuasaan untuk melakukan sesuatu (karena ini telah ditentukan oleh undang-undang, aturan hak untuk memegang kekuasaan atas sesuatu atau menuntut sesuatu, gelar atau martabat. Narapidana adalah orang yang haknya dibatasi sebagian, yaitu kebebasan, tetapi Narapidana tetap dapat menikmati hak-hak lain tanpa diskriminasi. 2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 juga memberikan support Hermi Asmawati terhadap kegiatan intelijen dalam penyelenggaraan fungsi pengamanan dan pengamatan. Konsep pembinaan dan pembimbingan yang dilakukan oleh Lapas dan Bapas bertujuan untuk mengembalikan narapidana yang menjadi warga binaan sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab sehingga nantinya dapat diterima kembali oleh masyarakat sebagaimana terkandung dalam tujuan pemasyarakatan itu sendiri. Kata Kunci : pelayanan kesehatan, masyarakat yang kurang mampu
KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MEMBUAT KERJASAMA DAERAH DI LUAR NEGERI MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2018 Fahdia Amannah Siahaan; Caecilia J.J Waha; Lusy K.F.R. Gerungan
LEX CRIMEN Vol. 12 No. 4 (2024): Lex crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui bagaimana Kewenangan pemerintah daerah dalam membuat kerjasama daerah di luar negeri menurut peraturan pemerintah Nomor 28 Tahun 2018. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode penelitian yuridis normatif, yakni penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan – bahan kepustakaan atau data sekunder. Kesimpulan Penelitian ini membahas kewenangan pemerintah daerah dalam melakukan kerja sama dengan pihak luar negeri berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2018. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan daerah untuk meningkatkan daya saing dan kemandirian, kerja sama luar negeri menjadi instrumen strategis bagi pemerintah daerah untuk mempercepat pembangunan dan meningkatkan kapasitas sumber daya lokal. Dalam peraturan ini, pemerintah daerah diberikan hak untuk menjalin hubungan kerja sama dengan pihak asing, baik dalam bentuk kerja sama ekonomi, budaya, pendidikan, maupun bidang lainnya, sepanjang tetap memperhatikan prinsip kedaulatan dan integritas negara. Kata kunci: Kewenangan, Pemerintah Daerah, Kerja Sama Luar Negeri.
HAK KEPEMILIKAN TANAH BAGI SEORANG AHLI WARIS BERSTATUS WARGA NEGARA ASING DI INDONESIA (Studi Kasus Putusan Nomor : 782 PK/Pdt/2016) Mangaku Jonathan Gerard; Lusy K.F.R. Gerungan; Pricillia A. E. Pandeiroot
LEX ADMINISTRATUM Vol. 13 No. 1 (2025): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui segala aspek yang berhubungan dengan pengaturan kepemilikan tanah bagi warga negara asing di Indonesia serta untuk mengidentifikasi segala hal yang berkaitan dengan Analisa hukum mengenai status kepemilikan tanah ahli waris warga negara asing di Indonesia.. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif. Metode ini pada prinsipnya melibatkan kajian mendalam terhadap berbagai dokumen dan sumber yang relevan dengan topik yang diteliti[1]. Fokus dari penelitian ini adalah pada kasus yang berkaitan dengan hak kepemilikan tanah bagi seseorang yang merupakan ahli waris dengan status WNA di Indonesia. Dalam penyusunan skripsi ini penulis hanya menggunakan sumber data dari telaah pustaka (Library Research) dimana data yang diperoleh dalam penelitian ini dilakukan dengan membaca literatur-literatur terkait dengan persoalan yang dikaji, kemudian mencatat hal-hal yang perlu untuk dijadikan bahan penulisan. Penulis menggunakan metode analisis kualitatif, dengan cara menentukan mana yang paling relevan dan signifikan terhadap materi penelitian. Proses ini bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran serta memberikan jawaban yang tepat terhadap permasalahan yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian. Kata Kunci : Hak Kepemilikan Tanah, Ahli Waris, Warga Negara Asing
PENGGUNAAN PMC (PRIVATE MILITARY COMPANY) DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNASIONAL DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Jeremy George Lengkong; Lusy K.F.R. Gerungan; Stefan Obaja Voges
LEX ADMINISTRATUM Vol. 13 No. 1 (2025): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan Private Military Company (PMC) dalam konflik bersenjata internasional ditinjau dari Hukum Humaniter Internasional (HHI). Berkembang dari praktik historis penggunaan tentara bayaran, PMC menghadirkan tantangan kontemporer terhadap hukum humaniter internasional . Latar belakang penggunaan PMC didorong oleh faktor-faktor seperti demiliterisasi, pemotongan anggaran militer, dan kebutuhan akan tenaga profesional di bidang keamanan . PMC didefinisikan sebagai entitas bisnis swasta yang menyediakan jasa militer dan keamanan, dengan karakteristik seperti struktur komando, penggunaan senjata secara terbuka, dan motif keuntungan finansial. Status hukum PMC dalam HHI masih belum jelas, berada dalam area abu-abu. Meskipun bukan bagian dari angkatan bersenjata resmi suatu negara, personil PMC terikat untuk mematuhi HHI dan hukum nasional yang berlaku. Oleh karena itu, studi ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan kerangka hukum yang komprehensif yang mengklarifikasi status PMC, memastikan kepatuhan mereka terhadap hukum humaniter internasional, dan menetapkan mekanisme akuntabilitas untuk mengurangi risiko terhadap penduduk sipil dan menegakkan prinsip-prinsip kemanusiaan selama konflik bersenjata. Kata kunci : Private Military Company, Konflik Bersenjata, Hukum Humaniter Internasional.
LEGALITAS PERKAWINAN ADAT SUKU KAJANG (AMMATOA) SULAWESI SELATAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF Nayatul Iffa; Youla O Aguw; Lusy K.F.R. Gerungan
LEX ADMINISTRATUM Vol. 13 No. 2 (2025): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami pengaturan hukum adat dan hukum positif yaitu Undang-Undang perkawinan metode yang digunakan adalah peneitian normatif dengan kesimpulan yaitu: 1. Prinsip Perkawinan Adat Suku Kajang Ammatoa, Perkawinan dalam masyarakat Kajang Ammatoa dianggap sakral dan harus memenuhi syarat serta ritual adat agar sah. Meski pencatatan di KUA dilakukan untuk keperluan administratif, keabsahan tetap bergantung pada hukum adat.2. Dalam perspektif hukum positif, legalitas perkawinan didasarkan pada ketentuan agama dan pencatatan resmi sebagaimana diatur dalam UU No. 16 Tahun 2019. Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa suatu perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing- masing, sehingga perkawinan adat Suku Kajang Ammatoa sah dan tetap diakui selama memenuhi syarat agama dan kepercayaan mereka. Namun, Pasal 2 ayat (2) mewajibkan pencatatan resmi, Dalam praktiknya, masyarakat Suku Kajang Ammatoa lebih mengutamakan keabsahan perkawinan berdasarkan hukum adat yang telah diwariskan secara turun-temurun.Selain itu, aturan adat yang melarang pernikahan dengan beda suku berpotensi menimbulkan konflik dengan hukum positif, melalui Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, menjamin hak membentuk keluarga, Larangan adat tersebut dapat dianggap membatasi kebebasan individu dalam memilih pasangan, sehingga berpotensi bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi. Kata Kunci:Perkawinan adat,suku kajang (ammatoa) sulawesi selatan