Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

PROFIL PASIEN PITIRIASIS VERSIKOLOR DI POLIKLINIK KULIT DAN KELAMIN RSUD ULIN BANJARMASIN PERIODE 2019-2021 ummu Nur Ainun Sajida; Sukses Hadi; Didik Dwi Sanyoto; Dwiana Savitri; Rahmiati Rahmiati
Homeostasis Vol 6, No 1 (2023)
Publisher : Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20527/ht.v6i1.8814

Abstract

Pitiriasis versikolor adalah gangguan kulit superfisialis kronis yang disebabkan  oleh Malassezia spp. Jamur ini bersifat larut lemak dan merupakan flora normal kulit. Predileksi lesi terutama di daerah penghasil lemak yaitu, badan, wajah dan ekstremitas. Lesi dapat berupa makula hipopigmentasi, makula hiperpigmentasi dan makula eritematosa. Tujuan dari penelitian untuk mengetahui profil pasien pitiriasis versikolor di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Ulin Banjarmasin periode 2019-2021. Penelitian ini menggunakan metode observasional deskriptif dari rekam medis dan pusat data elektronik. Hasil penelitian ini menunjukkan jumlah pasien pitiriasis versikolor periode 2019-2021 sebanyak 49 pasien. Profil terbanyak terjadi pada laki-laki yang berkisar (63,3%) dengan kelompok usia 11-20 tahun (32,6%). Daerah asal terbanyak adalah luar Banjarmasin (55,1%) dan sedang bersekolah (36,7%). Mayoritas pasien memiliki warna lesi makula hipopigmentasi (38,8%) dengan lokasi lesi kombinasi (20,4%) dan diterapi dengan kombinasi antijamur topikal dan sistemik (55,1%). Semua pasien tidak dilakukan pemeriksaan penunjang. Kesimpulan penelitian ini adalah profil pasien pitiriasis versikolor terbanyak terjadi pada pria dengan rentang usia 11-20 tahun. Daerah asal dari luar Banjarmasin dan mayoritas pasien sedang bersekolah. Warna lesi terbanyak adalah makula hipopigmentasi dengan lokasi lesi kombinasi. Antijamur topikal dan sistemik merupakan pengobatan terbanyak. 
Kulit Kayu Bangkal (Nauclea Subdita) sebagai Antihiperpigmentasi pada Bedak Dingin Kalimantan Dwiana Savitri; Rohana Siagian, Asima
Jurnal Ilmu Multidisiplin Vol. 4 No. 1 (2025): Jurnal Ilmu Multidisplin (April–Mei 2025)
Publisher : Green Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38035/jim.v4i1.839

Abstract

Salah satu masalah kulit yang sering ditemui adalah hiperpigmentasi yang terjadi akibat adanya sintesis melanin berlebihan. Hiperpigmentasi dapat diatasi dengan agen anti hiperpigmentasi yang berguna dalam menghambat aktivitas enzim tirosinase yang berperan dalam mengkatalisis proses biosintesis melanin. Kulit kayu bangkal (Nauclea subdita) dipercaya memiliki agen anti hiperpigmentasi karena sering digunakan sebagai bedak dingin oleh masyarakat Kalimantan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi senyawa aktif ekstrak kulit kayu bangkal dalam menghambat enzim tirosinase yang akan dibandingkan dengan ligan alami dan ligan pembandingnya secara in silico. Uji in silico dilakukan secara penambatan molekuler dengan tahapan yaitu preparasi ligan, optimasi tirosinase serta validasi dan penambatan. Metode penambatan molekuler telah dinyatakan valid karena RMSD yang diperoleh < 2 Å. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat beberapa senyawa yang menunjukkan penghambatan terhadap enzim tirosinase ditandai dengan rendahnya nilai energi bebas (-?G) salah satunya adalah Urolithin B 3-O-glucuronide dengan energi sebesar -8,81 kcal/mol. Hasil jenis ikatan yang terjadi dalam penelitian didapatkan semua senyawa uji dapat berinteraksi dengan bagian sisi aktif enzim tirosinase dengan jumlah interaksi berkisar antara satu sampai empat dan dalam bentuk ikatan hidrogen. Kesimpulan senyawa aktif ekstrak kulit kayu bangkal dapat dijadikan salah satu alternatif antihiperpigmentasi.
A Forgotten Case of Madura Foot Dwiana Savitri
Jurnal Ilmu Multidisiplin Vol. 4 No. 1 (2025): Jurnal Ilmu Multidisplin (April–Mei 2025)
Publisher : Green Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38035/jim.v4i1.840

Abstract

Mycetoma is a chronic, suppurative, and debilitating granulomatous infection primarily found in tropical and subtropical regions. The World Health Organization has classified it as a neglected tropical disease. The clinical diagnosis is typically based on a classic triad of localized swelling, the formation of sinus tracts, and the production of grains or granules. However, atypical presentations of the disease are also observed. Mycetoma is divided into two categories: eumycetoma, which is caused by fungal organisms, and actinomycetoma, which is caused by bacterial agents. While the clinical features of both types are similar, a precise diagnosis is crucial, as treatment approaches differ between the two. The treatment of mycetoma involves surgical debulking to remove the bulk of the lesion, followed by an extended course of medical therapy. This combined approach has become the standard due to the long duration of the disease and the often suboptimal response to treatment. The prolonged course of mycetoma necessitates careful management, as the disease can be difficult to treat effectively with just one modality. Therefore, early detection and accurate diagnosis are key to determining the most appropriate treatment plan for each patient.
Lucio Phenomenon pada Penyakit Hansen: Sebuah Kasus yang Terabaikan Dwiana Savitri
Jurnal Ilmu Multidisiplin Vol. 4 No. 2 (2025): Jurnal Ilmu Multidisplin (Juni–Juli 2025)
Publisher : Green Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38035/jim.v4i2.902

Abstract

Diagnosis kusta Lucio sulit dilakukan karena manifestasi pada kulit tidak khas, sehingga pasien sering datang ketika kondisinya sudah parah disertai dengan fenomena Lucio. Seorang pria berusia 25 tahun, mengeluhkan bercak hitam dan luka disertai lepuh yang pecah tersebar di sekujur tubuh sejak 4 hari terakhir.  Riwayat penggunaan obat steroid jangka panjang untuk keluhan kaki yang sering bengkak dan nyeri lama kelamaan wajah terasa bengkak dan bulat serta timbul guratan-guratan di perut. Riwayat mengonsumsi obat MDT selama 1 tahun. Pemeriksaan dermatologis diperoleh, makula purpura dengan area ulserasi yang besar dan banyak, dengan batas tidak beraturan dan sudut tajam, di daerah ekstremitas bawah disertai erosi, sebagian ditutupi dengan jaringan nekrotik kehitaman dengan luas permukaan tubuh mencapai 40%. Pemeriksaan slit smear apusan kulit menemukan bakteri tahan asam dengan indeks bakteri +6 dan indeks morfologi 1%. Sementara pada perwarnaan Ziehl Neelsen ditemukan bakteri tahan asam dalam jumlah besar, tersebar di area dermis, dan sebagian mencapai endotelium pembuluh darah mendukung gambaran fenomena Lucio. Pasien mengalami lekositosis dan kenaikan gula darah, karena keluhan nyeri sendi, pasien dirawat di departemen Penyakit Dalam dengan diagnosis radang sendi dan tidak pernah berkonsultasi dengan dermatologist. Fenomena Lucio adalah reaksi kusta parah yang sulit dikenali dengan manifestasi klinis berupa lesi kulit necrotizing erythema, terutama pada ekstremitas. Pengetahuan tentang penyakit morbus Hansen dengan fenomena lucio masih terbatas,ini merupakan kendala utama yang sering ditemui pada saat penatalaksanaan, sehingga terjadi misdiagnosis seperti pada kasus ini. Terapi multidrug untuk kusta multibasiler (MDT-MB) menurut rejimen WHO adalah terapi utama yang dapat  dikombinasikan dengan kortikostroid sistemik.