Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

HUKUM ADAT SUKU BUGIS Yuniar Rahmatiar; Suyono Sanjaya; Deny Guntara; Suhaeri Suhaeri
Jurnal Dialektika Hukum Vol 3 No 1 (2021): Jurnal Dialektika Hukum
Publisher : Law Department Jenderal Achmad Yani University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (304.062 KB) | DOI: 10.36859/jdh.v3i1.536

Abstract

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk karena terdiri atas berbagai suku bangsa, adat istiadat, bahasa daerah, serta agama yang berbedabeda. Keanekaragaman terdapat di berbagai wilayah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Indonesia adalah negara yang melahirkan beragam suku bangsa dan dari suku-suku itulah yang membuat adanya ciri khas atau keunikan dari setiap suku yang berada di Indonesia. Bugis adalah salah satu etnik besar di Sulawesi Selatan. Kebudayaan Bugis-Makassar adalah kebudayaan dari suku bangsa Bugis Makassar yang mendiami jazirah selatan pulau Sulawesi. Suku Bugis sebagai salah satu suku terbesar di Sulawesi Selatan memiliki nilai kebudayaan tersendiri. Ada tiga wujud kebudayaan, yaitu sistem budaya, sistem sosial dan hasil nyata budaya yang satu sama lain berhubungan secara timbal balik dan saling berhubungan dengan struktur kebudayaan. Struktur kebudayaan yang dimaksud antara lain adalah sistem politik yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat terutama yang barkaitan dengan pembagian tugas dan penyelenggaraan kekuasaan. Kekuasaan kerajaan yang dianut oleh bangsa Bugis zaman dulu adalah berbentuk monarchi atau kerajaan Kata Kunci : Hukum Adat, Suku Bugis
Legitimasi Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah di Wilayah Perairan Laut dalam Hukum Agraria Indonesia Naufal Rodiyatul Maula; Yuniar Rahmatiar; Muhammad Abas; Suyono Sanjaya
JURNAL USM LAW REVIEW Vol. 8 No. 3 (2025): DECEMBER
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/julr.v8i3.12332

Abstract

This research examines the legality of issuing ownership certificates (SHM) and building use rights (HGB) in marine areas, a practice that continues to appear in land administration despite the absence of a clear legal foundation. The fundamental problem is seen in the inconsistency between the Basic Agrarian Law, the legal regime governing marine spatial areas, and administrative practices that treat the sea as if it were eligible to become an object of land rights. Using a normative juridical technique with statutory and conceptual approaches, complemented by an examination of relevant administrative practices, this study assesses the compatibility of such certifications with the principle of legal certainty. The findings indicate that marine waters do not meet the criteria required to constitute a purpose of land rights, making the issuing of SHM/HGB in these locations legally defective and susceptible to cancellation through internal administrative correction or judicial review before the administrative court. Another finding highlights the legal uncertainty faced by certificate holders and third parties due to the inherently non-privatizable nature of marine areas. The originality of this research resides in its comprehensive investigation of the discord between agrarian and maritime legal regimes and its proposed regulatory reforms to prevent the recurrence of land-rights certification in marine spaces.   Penelitian ini mengkaji legalitas penerbitan Meskipun tidak memiliki landasan hukum yang jelas, sertifikat hak milik (SHM) dan hak guna bangunan di perairan laut masih banyak digunakan dalam prosedur administrasi pertanahan. Permasalahan utamanya terlihat pada ketidaksinkronan antara Undang-Undang Pokok Agraria, rezim hukum ruang laut, serta kewenangan administrasi pertanahan yang memperlakukan laut seolah-olah dapat menjadi objek hak atas tanah. Penelitian ini menggunakan teknik yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual, serta mengevaluasi prosedur administratif penting untuk menilai kepatuhannya terhadap asas kepastian hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laut tidak memenuhi kualifikasi sebagai objek hak atas tanah sehingga penerbitan SHM/HGB di wilayah tersebut merupakan tindakan administratif yang tidak sah dan berpotensi dibatalkan melalui mekanisme koreksi internal maupun peradilan tata usaha negara. Temuan lainnya adalah adanya risiko ketidakpastian hukum bagi pemegang sertifikat dan pihak ketiga akibat status objek yang tidak dapat dilekati hak privat. Orisinalitas penelitian ini terletak pada investigasi lengkap tentang ketidaksesuaian antara undang-undang pertanian dan kelautan serta rekomendasi penataan regulasi yang dapat mencegah berulangnya penerbitan hak atas tanah di wilayah laut.