Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Analisis Desentralisasi Asimetris Pada Pengangkatan Penjabat (PJ) Gubernur Provinsi DKI Jakarta Asmui Asmui; Abdil Azizul Furqon; A. Salman Maggalatung; Mara Sutan Rambe; Muh. Ikhsan; Ahmad Risyad Fadli
SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol 10, No 3 (2023)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/sjsbs.v10i3.32559

Abstract

One of the impacts arising from the implementation of simultaneous elections and elections is the existence of vacancies in regional heads in several provinces and districts. To fill the vacancy, an Acting PJ was appointed by the Government. Rapture acting regional head as stipulated in the provisions of Article 201 paragraph (9) of the Law 10 of 2016 raises questions about its application in the DKI Jakarta Provincial Government. As regions with a special status different from other regional governments, Jakarta places the Governor with great authority, including appointing and dismissing the Mayor and Regent in Article 29 of 2007, which is indeed placed as an acting administrative task. Because of that great authority, the mechanism for electing the Governor of DKI Jakarta is more specialized, namely meeting the number of votes 50%, and if it is not fulfilled, a second round of elections will be held. This is done so that The governor elected by the people is truly of the will of the majority of the people because later the Governor has great authority. Given the specificity possessed by DKI Jakarta Government, hence the application of Article 201 paragraph (9) of Law Number 10 of 2016 is questionable, especially from its constitutionality.Keywords: Simultaneous Elections; Asymmetric Decentralization; Acting Regional Heads; DKI Jakarta AbstrakSalah satu dampak yang muncul dari pelaksanaan pemilu dan pemilukada serentak adalah adanya kekosongan jabatan pada kepala daerah di beberapa provinsi dan kabupaten. Sebagai upaya untuk mengisi kekosongan jabatan tersebut, maka diangkat Penjabat (PJ) oleh Pemerintah. Pengangkatan Penjabat (PJ) Kepala Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 201 ayat (9) Undang-Undang 10 Tahun 2016 menimbulkan pertanyaan penerapannya di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sebagai daerah yang memiliki status kekhususan yang berbeda dengan pemerintahan daerah lain, DKI Jakarta menempatkan Gubernur dengan kewenangan yang besar, termasuk mengangkat dan memberhentikan Walikota dan Bupati yang dalam desain Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007, memang ditempatkan sebagai pelaksana tugas administratif. Karena kewenangan yang besar itu, mekanisme pemilihan Gubernur DKI Jakarta lebih dikhususkan lagi yaitu memenuhi jumlah suara 50%, dan jika tidak terpenuhi akan dilakukan putaran kedua pemilihan. Hal tersebut dilakukan agar Gubernur yang dipilih oleh masyarakat adalah benar-benar dari kehendak mayoritas masyarakat sebab nantinya Gubernur memiliki kewenangan yang besar. Mengingat kekhususan yang dimiliki Pemerintahan DKI Jakarta, maka penerapan Pasal 201 ayat (9) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 patut dipertanyakan terutama dari konstitusionalitasnya.Kata Kunci: Pemilu Serentak; Desentralisasi Asimetris; Penjabat Kepala Daerah; DKI Jakarta
Kajian Desentralisasi Terhadap Kebijakan Privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Ahmad Risyad Fadli; Yuli Indrawati
SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol 10, No 4 (2023)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/sjsbs.v10i4.34073

Abstract

The 1945 Constitution mandates control over the country's economy to the government for the implementation of public welfare, but with the birth of the privatization policy, there was a delegation of authority from the government to the private sector over the country's economy, thereby reducing the role of the government. On the other side, the reduced role of the government does not eliminate its function as a state organizer and this must happen within the framework of decentralization. Meanwhile, the delegation of wealth becomes a discourse that can raise questions about privatization policies studied in the context of decentralization, especially privatization measures against BUMN. Privatization of BUMN is a policy that must be taken by the government so that the budgeting of the country's economy encourages an increase in sectoral business activities, and what needs to be underlined is that the delegation of authority in the privatization of BUMN does not eliminate the role of the government but the government is still given control in the form of supervision and regulation.Keywords: Privatization; Decentralization; The privatization of BUMN policy AbstrakUUD 1945 mengamanatakan penguasaan atas perekonomian negara kepada pemerintah demi terselenggaranya kesejahteraan masyarakat namun dengan lahirnya kebijakan privatisasi terjadi pelimpahan kewenangan dari pemerintah kepada swasta atas perekonomian negara sehingga mereduksi peran pemerintah. Disisi lain berkurangnya peran pemerintah tidak menghilangkan fungsinya sebagai penyelenggara negara dan hal yang demikian pasti terjadi dalam bingkai desentralisasi. Sementara itu, pelimpahan kewanangan tersebut menjadi diskursus yang dapat menimbulkan pertanyaan terhadap kebijakan privatisasi yang dikaji dalam konteks desentralisasi, terutama langkah privatisasi terhadap BUMN. Privatisasi BUMN menjadi kebijakan yang harus diambil oleh pemerintah agar penyelanggaran atas perekonomian negara untuk mendorong peningkatan dalam kegiatan usaha sektoral, dan yang perlu digarisbawahi pelimpahan kewenangan dalam privatisasi BUMN tidak serta menghilangkan peran pemerintah namun pemerintah masih diberikan penguasaan dalam bentuk pengawasan dan regulasi.Kata Kunci:Privatisasi; Desentralisasi; Kebijakan Privatisasi BUMN