Pemegang akta perjanjian pengikatan jual beli (pembeli) terhadap pembelian tanah atau rumah sering kali dirugikan ketika pengembang selaku penjual dinyatakan pailit oleh pengadilan, yang otomatis seluruh harta kekayaannya pada saat itu dan selama proses pailit akan masuk ke dalam boedel pailit. Namun, terdapat pengecualian terhadap Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang memiliki kekuatan hukum. Untuk menganalisis dan mengkaji hal tersebut, maka rumusan masalah pada penelitian ini. Pertama, bagaimana kekuatan hukum atas PPJB lunas yang belum mendapatkan pemecahan sertipikat dari developer yang dipailitkan berdasarkan hukum nasional? Kedua, bagaimana pertimbangan hakim terhadap status PPJB lunas yang belum mendapatkan pemecahan sertipikat dari developer yang dipailitkan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 481 K/Pdt.Sus-Pailit/2020? Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah penelitian hukum normatif berupa data sekunder yang didukung oleh bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang mana seluruh data bersumber dari studi kepustakaan. Hasil penelitian ini ialah mengacu pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016, terdapat penjelasan bahwa peralihan hak atas tanah berdasarkan PPJB secara hukum terjadi jika pembeli telah membayar lunas harga tanah, telah menguasai objek jual beli dan dilakukan dengan itikad baik. Selain itu, PPJB yang kuat ialah yang dibuat dihadapan Notaris. Dalam pertimbangannya, Hakim telah mengabaikan bukti P-3 dan petunjuk Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016. Hal ini menandakan bahwa terdapat kekeliruan dan secara tidak langsung juga telah mencederai prinsip perlindungan hukum yang seyogyanya harus dilakukan oleh seorang Hakim.