Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

KONSEP DAN PENYELESAIAN ASAS FIKTIF POSITIF MENURUT KETENTUAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA Wahidur Roychan
Dekrit (Jurnal Magister Ilmu Hukum) Vol 13 No 1 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56943/dekrit.v13n1.140

Abstract

Salah satu materi penting yang disusung oleh Undang-Undang Nomor 30Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah paradigma baru tentangasas fiktif positif yang mensyaratkan adanya tanggapan atas permohonan yangdiajukan kepada pemerintah, ketika tidak ditanggapi dan melewati jangka waktuyang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan, maka melalui pengadilanpermohonan dianggap dikabulkan secara hukum. Setelah munculnya Undang-Undang Cipta kerja, keterlibatan pengadilan dalam penyelesaian fiktif positifdihapuskan sehingga permohonannya dianggap dikabulkan secara hukum menjadiabstrak, karena secara legalitas tidak memiliki bukti bahwa permohonan tersebutdianggap dikabulkan selain telah lewatnya masa waktu bagi pemerintah untukmenetapkan suatu keputusan dan/ atau tindakan.Penelitian ini berusaha mencari dan menganalisis konsep yuridis asas fiktifpositif menurut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan serta penyelesaianpenerapan asas fiktif positif menurut ketentuan hukum positif di Indonesia.Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif yang mengkaji secara kritisdan komprehensif mengenai konsep hukum, asas-asas hukum dan peraturanperundangan-undangan yang terkait dengan tema penelitian. Pendekatan yangdigunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan peraturan perundang-undangan(statute approach), dan pendekatan konsep (conceptual approach).Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa asas fiktif positif merupakansebuah fiksi hukum yang digunakan untuk mempermudah konstruksi hukum yangada didalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 TentangAdministrasi Pemerintahan, dimana otoritas administrasi diwajibkan untukmenanggapi suatu permohonan yang diajukan kepadanya, apabila tidak ditanggapimaka permohonan dianggap dikabulkan secara hukum, akan tetapi setelah lahirnyaundang-undang cipta kerja dan berdasarkan asas lex posterior legi a priori makaasas fiktif positif yang digunakan mengacu kepada undang-undang cipta kerja, danpenyelesaianya tidak lagi melalui permohonan melainkan melalui upayaadministrasi terlebih dahulu sebelum mengajukan gugatan kepada Pengadilan TataUsaha Negara.
Penyelesaian Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yang Bersifat Non Executable Ernawati Huroiroh; Wahidur Roychan
Journal of Law and Administrative Science Vol. 2 No. 2 (2024): JLAS : Journal of Law and Administrative Science (Oktober)
Publisher : Universitas Teknologi Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33478/jlas.v2i2.24

Abstract

Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) menjadi salah satu ciri negara hukum rechtstaat yang dibentuk untuk melindungi hak-hak perseorangan atau masyarakat dari perbuatan atau tindakan badan/pejabat pemerintah yang merugikan masyarakat Namun didalam praktek, seringkali putusan PTUN tidak dapat dilaksanakan dan bersifat non executabel. Tidak dilaksanakannya putusan pengadilan berdampak pada lemahnya kepastian hukum dan menurunnya kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan yang pada derajat tertentu menggerus konsep negara hukum yang dicita-citakan. Penelitian ini merupakan jenis penelitian yuridis normatif dengan menggunakan motede penarikan kesimpulan melalui silogisme deduktif, yakni penarikan kesimpulan dari suatu hal yang umum ke suatu hal yang khusus. salah satu kendala eksekutorial putusan PTUN adalah Tidak adanya lembaga eksekutorial khusus atau lembaga sanksi yang berfungsi untuk melaksanakan putusan, serta rendahnya tingkat kesadaran Pejabat TUN dalam menaati putusan pengadilan TUN. Penyelesaian putusan PTUN yang bersifat non executable dapat dilakukan melalui dua cara yakni penyelesaian melalui lembaga PTUN dan penyelesaian di luar lembaga PTUN.