Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Penyelesaian Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yang Bersifat Non Executable Ernawati Huroiroh; Wahidur Roychan
Journal of Law and Administrative Science Vol. 2 No. 2 (2024): JLAS : Journal of Law and Administrative Science (Oktober)
Publisher : Universitas Teknologi Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33478/jlas.v2i2.24

Abstract

Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) menjadi salah satu ciri negara hukum rechtstaat yang dibentuk untuk melindungi hak-hak perseorangan atau masyarakat dari perbuatan atau tindakan badan/pejabat pemerintah yang merugikan masyarakat Namun didalam praktek, seringkali putusan PTUN tidak dapat dilaksanakan dan bersifat non executabel. Tidak dilaksanakannya putusan pengadilan berdampak pada lemahnya kepastian hukum dan menurunnya kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan yang pada derajat tertentu menggerus konsep negara hukum yang dicita-citakan. Penelitian ini merupakan jenis penelitian yuridis normatif dengan menggunakan motede penarikan kesimpulan melalui silogisme deduktif, yakni penarikan kesimpulan dari suatu hal yang umum ke suatu hal yang khusus. salah satu kendala eksekutorial putusan PTUN adalah Tidak adanya lembaga eksekutorial khusus atau lembaga sanksi yang berfungsi untuk melaksanakan putusan, serta rendahnya tingkat kesadaran Pejabat TUN dalam menaati putusan pengadilan TUN. Penyelesaian putusan PTUN yang bersifat non executable dapat dilakukan melalui dua cara yakni penyelesaian melalui lembaga PTUN dan penyelesaian di luar lembaga PTUN.
Penerapan Presidential Threshold dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia Ernawati Huroiroh
As-Shahifah : Journal of Constitutional Law and Governance Vol. 4 No. 1 (2024)
Publisher : Fakultas Syariah Univeritas Islam Madura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19105/asshahifah.v4i1.17737

Abstract

Konsep negara demokrasi yang dianut oleh negara Indonesia menuntut adanya jaminan terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia bagi setiap warga negaranya. Ciri khas dari sistem demokrasi adalah proses pemilihan umum yang melibatkan rakyat dalam menentukan nasib masa depan negara, salah satunya melalui pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Saat ini sistem yang digunakan dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah penerapan Presidential Threshold atau ambang batas yang harus dipenuhi untuk dapat mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden, sehingga tidak semua orang dapat maju menjadi calon pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Ketentuan ini kemudian dianggap bertentangan dengan konsep Hak Asasi Manusia yang telah dijamin oleh konstitusi. Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statuta approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan Presidential Threshold dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden bukan merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. sebab Hak Asasi Manusia yang diterapkan di Indonesia bukanlah Hak Asasi Manusia secara mutlak melainkan terdapat batasan, tujuannya adalah untuk menghasilkan pemimpin yang mendapatkan dukungan mayoritas politik di parlemen untuk memperkuat sistem presidensil sehingga dalam melaksanaan roda pemerintahan tidak mudah tergoyahkan.
PERTENTANGAN NORMA ANTARA HAK KONSTITUSIONAL DAN REGULASI PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Ernawati Huroiroh; Vera Rimbawani Sushanty
Keadilan : Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tulang Bawang Vol 23 No 3 (2025): Keadilan
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Tulang Bawang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37090/g7xprm71

Abstract

Perkawinan beda agama di Indonesia masih menjadi isu kontroversial akibat adanya pertentangan norma antara hak konstitusional warga negara dan regulasi nasional yang mengaturnya. Di satu sisi, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kebebasan beragama dan hak untuk membentuk keluarga sebagai bagian dari hak asasi manusia. Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mensyaratkan bahwa perkawinan hanya sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama, yang sering kali menghambat pelaksanaan dan pencatatan perkawinan beda agama. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara mendalam kedudukan hak konstitusional dalam konteks perkawinan beda agama serta mengidentifikasi bentuk pertentangan normatif yang muncul antara konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Bahan hukum primer dan sekunder dikaji melalui studi kepustakaan dan dianalisis secara kualitatif dengan metode interpretasi sistematis dan penalaran deduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pertentangan norma antara jaminan konstitusional dalam Pasal 28B dan Pasal 29 UUD 1945 dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menyebabkan ketidakpastian hukum bagi warga negara. Oleh karena itu, diperlukan langkah legislasi dan penafsiran yudisial yang sejalan dengan prinsip konstitusionalisme dan pluralisme dalam masyarakat Indonesia. Kata Kunci: Beda Agama, Perkawinan, Konstitusi, Regulasi.
Implications of Constitutional Court Decision Number 135/PUU-XXII/2024 on the Separation of DPR and DPRD Elections on the Electoral System in Indonesia Ernawati Huroiroh; Titik Triwulan Tutik; Dossy Iskandar Prasetyo
JUSTITIA JURNAL HUKUM Vol 9 No 2 (2025): Justitia Jurnal Hukum
Publisher : Universitas Muhammadiyah Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30651/justitia.v9i2.28000

Abstract

Constitutional Court Decision Number 135/PUU-XXII/2024 regarding the separation of the DPR and DPRD elections marks a significant change in Indonesia's electoral system. Until now, the simultaneous implementation of elections using the “five boxes” model has caused various problems, including technical complexity in implementation, high logistical costs, and reduced attention to local issues. This study aims to analyze the constitutional implications and legal transition of the decision, particularly regarding the term of office of the DPRD, the potential for a vacuum in regional government, and the urgency of revising related laws. The research method used is normative legal research with a legislative approach and a conceptual approach through a review of the Constitutional Court's decision, the 1945 Constitution, the Election Law, the Regional Election Law, and relevant academic literature. The results of the study show that the separation of elections is intended to improve the effectiveness of their implementation, strengthen local democracy, and minimize the risk of administrative errors. However, this decision also poses challenges in the form of potential regulatory disharmony and constitutional uncertainty if it is not immediately followed by adjustments to legislation. Thus, this decision opens up space for electoral system reforms that are more responsive to local needs, but its success is highly dependent on the readiness of legislation and the governance of elections in Indonesia.
PERTENTANGAN NORMA ANTARA HAK KONSTITUSIONAL DAN REGULASI PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Ernawati Huroiroh; Vera Rimbawani Sushanty
Keadilan : Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tulang Bawang Vol 23 No 3 (2025): Keadilan
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Tulang Bawang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37090/g7xprm71

Abstract

Perkawinan beda agama di Indonesia masih menjadi isu kontroversial akibat adanya pertentangan norma antara hak konstitusional warga negara dan regulasi nasional yang mengaturnya. Di satu sisi, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kebebasan beragama dan hak untuk membentuk keluarga sebagai bagian dari hak asasi manusia. Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mensyaratkan bahwa perkawinan hanya sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama, yang sering kali menghambat pelaksanaan dan pencatatan perkawinan beda agama. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara mendalam kedudukan hak konstitusional dalam konteks perkawinan beda agama serta mengidentifikasi bentuk pertentangan normatif yang muncul antara konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Bahan hukum primer dan sekunder dikaji melalui studi kepustakaan dan dianalisis secara kualitatif dengan metode interpretasi sistematis dan penalaran deduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pertentangan norma antara jaminan konstitusional dalam Pasal 28B dan Pasal 29 UUD 1945 dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menyebabkan ketidakpastian hukum bagi warga negara. Oleh karena itu, diperlukan langkah legislasi dan penafsiran yudisial yang sejalan dengan prinsip konstitusionalisme dan pluralisme dalam masyarakat Indonesia. Kata Kunci: Beda Agama, Perkawinan, Konstitusi, Regulasi.
Disharmonisasi Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara Setelah Berlakunya Undang Undang Administrasi Pemerintahan Ernawati Huroiroh; Rimbawani Sushanty, Vera; Roychan, Wahidur
Sosio Yustisia: Jurnal Hukum dan Perubahan Sosial Vol. 2 No. 2 (2022): November
Publisher : Magister Hukum Tata Negara Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (292.135 KB) | DOI: 10.15642/sosyus.v2i2.198

Abstract

Kompetensi absolut yang dimiliki oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan kewenangan untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan permasalahan atau sengketa yang berada pada ruang lingkup Tata Usaha Negara sebagai suatu akibat dari dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Namun setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) kompetensi tersebut mengalami perubahan karena terdapat penambahan dan perluasan kompetensi oleh UUAP yang tidak diikuti oleh perubahan terhadap UU PTUN. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan sejarah (historical approach), dan pendekatan filosofi (philosophical approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwasannya lahirnya UUAP telah menambah dan memperluas kompetensi absolut yang dimiliki PTUN meliputi; Perluasan makna KTUN, Penyelesaian Sengketa setelah menempuh upaya administrasi, Pengaturan mengenai permohonan fiktif positif, dan kewenangan untuk melakukan penilaian terhadap ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan, yang tidak diikuti perubahan terhadap UU PTUN sehingga menimbulkan disharmonisasi yang mengakibatkan terjadinya tumpang tindih kompetensi PTUN serta menimbulkan ambiguitas dalam segi penegakannya.
Quo Vadis Eksistensi Komisi Yudisial Sebagai Majelis Kehormatan Mahkamah Kostitusi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 56/PUU-XX/2022 Ernawati Huroiroh; Roychan, Wahidur
Sosio Yustisia: Jurnal Hukum dan Perubahan Sosial Vol. 3 No. 2 (2023): November
Publisher : Magister Hukum Tata Negara Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/sosyus.v3i2.363

Abstract

Komisi Yudisial dibentuk sebagai konsekuensi politik hukum untuk membangun sistem check and balances dalam struktur kekuasaan kehakiman.namun eksistensi Komisi Yudisial sebagai pengawas kode etik dan perilaku hakim berubah setelah munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 dimana Hakim Konstitusi bukan bagian dari hakim yang dapat diawasi oleh Komisi Yudisial. saat ini pengawasan perilaku dan etika hakim Mahkamah Konstitusi dilakukan secara internal oleh badan yang yang disebut Majelis kehormatan Mahkamah Konstitusi yang bertugas untuk menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi. Penelitian ini merupakan jenis penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 56/PUU-XX/2022, Mahhkamah Konstitusi menolak keterlibatan Komisi Yudisial dalam hal apapun yang berkaitan dengan tugas dan fungsi dari hakim Mahkamah Konstitusi.