Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Cornelis van Proosdij and Loekmono Hadi: History of Leaders of Kudus Hospital Supratno, Edy; Setiawati, Nur Aini
Paramita: Historical Studies Journal Vol 33, No 1 (2023): Social and Religious Aspect in History
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v33i1.36538

Abstract

This article discusses two doctors who were directors at Kudus Hospital, Cornelis van Proosdij, and Loekmono Hadi. Both are government doctors, but both come from different colleges. Van Proosdij is a doctor who graduated from a European university. In contrast, Loekmono graduated from the School tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA) in the Dutch East Indies, which is considered a different degree. Both also have other characteristics; Van Proosdij is attached to his colonialism, while Loekmono is classified as a nationalist. By using the historical method, this research uses a lot of archival sources and newspaper news published at that time. Specifically related to Loekmono, his research is also equipped with interviews with his children, so the data is more extensive, and the review is longer. The results of this study indicate that these two figures, although their characteristics are different, are still loved by the community. Another similarity is that both of them are victims of the political situation.Keywords: Hospital, Kudus Regency, Proosdij, Loekmono Hadi, Colonialists, Nationalists. Artikel ini membahas tentang dua orang dokter yang menjabat sebagai direktur di RS Kudus, Cornelis van Proosdij dan Loekmono Hadi. Keduanya adalah dokter pemerintah, tetapi keduanya berasal dari perguruan tinggi yang berbeda. Van Proosdij adalah seorang dokter lulusan universitas Eropa. Sebaliknya, Loekmono lulus dari School tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA) di Hindia Belanda, yang dianggap berbeda gelar. Keduanya juga memiliki karakteristik lain; Van Proosdij lekat dengan kolonialismenya, sedangkan Loekmono tergolong nasionalis. Dengan menggunakan metode sejarah, penelitian ini banyak menggunakan sumber arsip dan berita surat kabar yang terbit pada masa itu. Khusus terkait Loekmono, penelitiannya juga dilengkapi dengan wawancara dengan anak-anaknya, sehingga datanya lebih luas, dan penelaahannya lebih panjang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedua tokoh ini walaupun memiliki sifat yang berbeda, tetap digandrungi oleh masyarakat. Kesamaan lainnya adalah keduanya sama-sama menjadi korban situasi politik.Kata Kunci: Rumah Sakit Kabupaten Kudus, Proosdij, Loekmono Hadi, Penjajah, Nasionalis.
Masjid Megah dan Derita Kuli di Perkebunan Tembakau Supratno, Edy
FIHROS: Jurnal Sejarah dan Budaya Vol 5 No 1 (2021): FIHROS: Jurnal Sejarah dan Budaya
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.63915/fihros.v5i1.33

Abstract

Kesultanan Deli di Sumatera Timur menjadi bagian penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Wilayah ini awalnya menjadi rebutan antara Belanda dan Inggris yang akhirnya dimenangkan oleh Belanda. Diawali dari penaklukkan Kerajaan Siak, setahap demi setahap Kesultanan Deli jatuh ke kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Deli kemudian menjadi lumbung uang. Keadaan tiba-tiba berubah. Pihak kesultanan yang semula benci terhadap Belanda, melihat hasil perkebunan yang menggiurkan membuat mereka berbalik menjadi cinta. Masjid dibangun dan direhab menjadi megah. Di balik kesuksesan asing menangguk dollar, ada banyak penderitaan kuli di sana. Menariknya, justru orang Belanda sendiri yang membongkarnya.
WATER POLLUTION IN YOGYAKARTA 1926–1942 Setiawati, Nur Aini; Supratno, Edy; Utami, Santi Muji; Primaditya, Krisnanda Theo
Paradigma: Jurnal Kajian Budaya Vol. 15, No. 2
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Water pollution in Yogyakarta has a long history dating back to the colonial era in 1926. Therefore, the main issue addressed in this writing is why water pollution occurred in Yogyakarta from 1926 to 1942. Basically, there are two factors influencing water pollution, namely natural factors and human factors. Using a historical research method, this study aims to examine water pollution in the Yogyakarta region, so that the government and the community can seek solutions. The sources used include collections from Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie, De Locomotief, De Nieuwe Vorstenlanden, De Preanger Bode, and contemporary newspapers. The research findings on water pollution in Yogyakarta from 1926 to 1942 reveal that water pollution in the Yogyakarta region began when the population density increased. The arrival of the Dutch and Eastern foreigners increased the population, and their basic needs led to the pollution of clean water. Human needs caused the exploitation of natural resources, particularly water and human resources in Yogyakarta.
Masjid Megah dan Derita Kuli di Perkebunan Tembakau Supratno, Edy
FIHROS: Jurnal Sejarah dan Budaya Vol 5 No 1 (2021): FIHROS: Jurnal Sejarah dan Budaya
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.63915/fihros.v5i1.33

Abstract

Kesultanan Deli di Sumatera Timur menjadi bagian penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Wilayah ini awalnya menjadi rebutan antara Belanda dan Inggris yang akhirnya dimenangkan oleh Belanda. Diawali dari penaklukkan Kerajaan Siak, setahap demi setahap Kesultanan Deli jatuh ke kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Deli kemudian menjadi lumbung uang. Keadaan tiba-tiba berubah. Pihak kesultanan yang semula benci terhadap Belanda, melihat hasil perkebunan yang menggiurkan membuat mereka berbalik menjadi cinta. Masjid dibangun dan direhab menjadi megah. Di balik kesuksesan asing menangguk dollar, ada banyak penderitaan kuli di sana. Menariknya, justru orang Belanda sendiri yang membongkarnya.