p-Index From 2020 - 2025
0.444
P-Index
This Author published in this journals
All Journal JURNAL RETENTUM
Jaminuddin Marbun
Universitas Darma Agung

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN (ORMAS) DALAM PERLINDUNGAN KONSUMEN USAHA WARALABA(STUDI KASUS PADA MPW PEMUDA PANCASILA PROVINSI DKI JAKARTA) Tohom Purba; Jaminuddin Marbun; Muhammad Yasid Nasution
JURNAL RETENTUM Vol 3 No 1 (2021): MARET
Publisher : Pascasarjana UDA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46930/retentum.v3i1.902

Abstract

Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana kajian yuridis terhadap peran organisasi kemasyarakatan (Ormas) dalam perlindungan konsumen usaha waralaba, bagaimana peran organisasi kemasyarakatan (Ormas) Pemuda Pancasila dalam perlindungan konsumen usaha waralaba, dan kendala apa saja dihadapi organisasi kemasyarakatan Pemuda Pancasila dalam perlindungan konsumen usaha waralaba. Grand theory yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sistem hukum. Sedangkan midle theory yang digunakan adalah teori perlindungan konsumen, dan applied theory yang digunakan adalah teori waralaba. Penelitian ini bersifat kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan aturan hukum perlindungan konsumen diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Peran ormas dalam perlindungan konsumen di atur dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c UUPK, yang menyatakan bahwa Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) mempunyai hak untuk mengajukan gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dengan syarat, LPKSM tersebut berbentuk badan hukum atau yayasan, dalam anggaran dasarnya disebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan LPKSM tersebut telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. Ormas Pemuda Pancasila (PP) berperan dalam perlindungan konsumen usaha waralaba, yaitu dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang hak-hak konsumen sebagaimana diatur dalam UU PK, menerima laporan atau pengaduan dari masyarakat atau konsumen waralaba yang merasa dirugikan oleh pengusaha waralaba, melakukan mediasi antara korban dengan pengusaha terlapor untuk mencari penyelesaian sengketa di luar pengadilan, serta melakukan pendampingan terhadap korban dalam pemeriksaan perkara di pengadilan. Pemuda Pancasila berperan lebih baik dalam perlindungan konsumen dengan adanya bidang organisasi yang secara khusus menangani perlindungan konsumen dalam struktur kepengurusan Badan Penyuluhan dan Pembelaan Hukum (BPPH). Faktor kendala ormas PP dalam perlindungan konsumen waralaba adalah: kendala peraturan hukum, adanya stigma negative masyarakat terhadap peran ormas, mediasi sulit mencapai kesepakatan damai, kendala internal ormas PP, kendala kurangnya kesadaran masyarakat serta kurangnya kesadaran pelaku usaha. UU PK tidak memberikan wewenang kepada ormas untuk melakukan advokasi terhadap korban yang dirugikan pelaku usaha tetapi hanya sebatas penggugat, sedangkan beberapa anggota masyarakat juga masih memiliki pandangan negative terhadap ormas karena dianggap bahwa pendampingan yang dilakukan sebagai upaya untuk mencari keuntungan bagi ormas itu sendiri atau bagi oknumnya. Disamping itu terdapat juga kendala internal ormas PP karena sarana dan prasarana yang terbatas serta kualitas SDM yang masih kurang memadai. Disarankan pemerintah perlu mengkaji lebih jauh terhadap peran ormas dalam perlindungan konsumen dengan melakukan revisi terhadap UU Perlindungan Konsumen agar memberikan wewenang kepada ormas untuk berperan sebagai advokasi terhadap korban pelanggaran hak konsumen oleh pelaku usaha waralaba. Pemerintah perlu mendorong keterlibatan ormas untuk secara aktif melakukan sosialisasi tentang hak-hak konsumen dan melakukan pendampingan terhadap korban yang dirugikan oleh pelaku usaha waralaba. Ormas PP perlu lebih mendekatkan diri kepada masyarakat umum untuk membangun stigma positif di tengah masyarakat khususnya mengenai peran ormas PP dalam perlindungan konsumen.
ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDI PUTUSAN NO. 1972/PID.SUS/2018/PN.MDN) Hana Nelsri Kaban; Jaminuddin Marbun; Syawal Amry Siregar
JURNAL RETENTUM Vol 4 No 1 (2022): MARET
Publisher : Pascasarjana UDA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46930/retentum.v4i1.1333

Abstract

Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dapat dilakukan oleh sesama anggota keluarga kepada anggota keluarga yang lain, baik kekerasan secara fisik maupun kekerasan secara psikis. Majelis hakim memutuskan terdakwa bersalah melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, serta menjatuhkan pidana penjara 1 tahun 2 bulan. Sementara ancaman pidana yang diatur dalam pasal 44 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana pengaturan hukum tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia, Bagaimana penegakan hukum tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga pada Pengadilan Negeri Medan, bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara kekerasan dalam rumah tangga sesuai Putusan No. 1972/Pid.sus/2018/PN.Mdn. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis empiris, dan analisis data digunakan secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan hukum tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tetang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Ancaman pidana kekerasan fisik dalam UU tersebut diatur dalam pasal 44 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Penegakan hukum tindak pidana KDRT pada Pengadilan Negeri Medan terlebih dahulu memberikan kesempatan kepada para pihak untuk berdamai di luar pengadilan, tetapi jika tidak berhasil maka mejelis hakim akan melakukan pemeriksaan perkara di pengadilan serta menetapkan putusan yang dapat memberikan penjeraan dan mewujudkan rasa keadilan bagi korban. Dasar pertimbangan majelis hakim dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa adalah melanggar pasal Pasal 44 Ayat (1) UU RI No. 23/ 2004 Tentang PKDRT yang unsur-unsurnya adalah ”barang siapa” dan “melakukan kekerasan terhadap fisik dalam lingkup rumah tangganya””. Kedua unsur sudah tepat, tetapi pidana yang dijatuhkan majelis hakim terlalu ringan sehingga kurang memberikan rasa keadilan bagi korban dan tidak memberi efek penjeraan. Disarankan aparat penegak hukum perlu berupaya dengan berbagai cara memperoleh keterangan yang lebih lengkap dari dalam lingkup keluarga sehingga penegakan hukum terhadap terdakwa KDRT dapat dilakukan dengan bukti-bukti yang lebih kuat. Pemerintah perlu menetapkan ancaman pidana minimal dalam setiap tindak pidana yang diatur dalam UU PKDRT sehingga majelis hakim tidak dapat menjatuhkan pidana yang terlalu ringan. Disamping itu pemerintah juga perlu mengatur perlindungan hukum terhadap korban yang perkawinannya tidak dicatat secara resmi. Majelis hakim perlu lebih tegas dalam menjatuhkan pidana atas kekerasan dalam rumah tangga sehingga dapat memberikan rasa keadilan bagi korban serta efek penjeraan bagi terdakwa.