Alvan Kharis
Universitas Nahdlatul Ulama Sulawesi Tenggara

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

MENAKAR YURISDIKSI PRA PERADILAN DAN KONSEP RECHTER COMMISARIS DI DALAM RUU KUHAP Alvan Kharis
Lakidende Law Review Vol. 2 No. 2 (2023): DELAREV (AGUSTUS)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Lakidende

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47353/delarev.v2i2.50

Abstract

Tipe Penelitian ini merupakan Penelitian Yuridis Normatif. Penelitian Yuridis Normatif merupakan metode penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah dan mengkaji peraturan perundang-undangan, teori-teori dan konsep-konsep. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conseptual approach) dan pendekatan historis (historical approach). Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui, menelaah dan mengkaji yurisdiksi, substansi, hakikat dan pengaturan dari Konsep Hakim Pemeriksa atau Rechter Commisaris dalam RUU KUHAP dan komparasi antara Konsep Hakim Pemeriksa atau Rechter Commisaris dengan Lembaga Pra Peradilan dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bahwa Konsep Hakim Pemeriksa atau Rechter Commisaris didalam Konsep RUU KUHAP lahir dikarenakan lembaga Pra Peradilan dengan kelemahan dan keterbatasan yurisdiksinya dianggap sangat terbatas dan tidaklah mampu menemukan Kebenaran Materiil (Materiele Waarheid) sebagaimana tujuan daripada Hukum Pidana itu sendiri yaitu mencari dan menemukan Kebenaran Materiil (Materiele Waarheid). Hal ini dikarenakan Lembaga Pra Peradilan Yurisdiksi dan Kewenangannya hanya terbatas pada aspek Formil belaka. Disisi lain Lembaga Pra Peradilan juga dianggap belum berjalan sebagaimana konsep dasarnya yaitu “Habeas Corpus” yang merupakan konkretisasi Perlindungan Hak Asasi Manusia,karena Hakim Pra-Peradilan hanya berada pada Yurisdiksi Post Vacum atau Post Facto sehingga Hakim Pra-peradilan sama sekali tidak memiliki pengetahuan pada Fase Pra Ajudikasi terkecuali sangat terbatas pada surat yang diterbitkan oleh Penyidik, itupun terhadap surat a quo, proses diterbitkanya dengan cara seperti apa dan bagaimana, entah dengan cara melawan hukum maupun dengan cara yang tidak dibenarkan secara hukum, maka Hakim Pra peradilan sama sekali tidak akan mengetahui hal tersebut, karena tidak berada pada yurisdiksinya dan tidak pula terlibat langsung pada fase tersebut. Lembaga Pra Peradilan yang dimaktub didalam KUHAP lebih cenderung kepada proses uji Administratif belaka dan tidak mampu menjangkau ruang uji terkait keabsahan Asas Yuridis dan Asas Nesesitas secara materiil serta tidak mampu menguji apakah bukti permulaan yang cukup sebagai dasar penetapan status tersangka guna melakukan upaya paksa (dwang middelen) itu sah secara materill, diperoleh dari mana maupun dengan cara seperti apa, lembaga ini tidak didesain untuk menjangkau dan menjawab hal demikian, tentu hal ini sangat jauh berbeda dengan konsep awalnya yaitu “Habeas Corpus”. Artinya Lembaga Pra-Peradilan dengan segala bentuk keterbatasannya dalam regulasi KUHAP masih sangat memerlukan Peninjauan secara Signifikan, Holistik bahkan Evaluatif yang cenderung Eksessif disebabkan peran lembaga Pra Peradilan dalam proses pidana (Strafproces) sangatlah pasif (Lijdelijkheid). Maka Atas hal tersebut lahirlah konsep Hakim Pemeriksa atau Rechter Commisaris didalam RUU KUHAP sebagai solusi baru untuk memperbaiki masalah dan kelemahan-kelemehan pada lembaga Praperadilan dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
RECIPROCAL TRUST: HAL MENDASAR DALAM HUBUNGAN ADVOKAT DAN KLIEN Rismawati; Alvan Kharis
Lakidende Law Review Vol. 2 No. 2 (2023): DELAREV (AGUSTUS)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Lakidende

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47353/delarev.v2i2.54

Abstract

Advokat, sebagai salah satu profesi hukum, memiliki kode etik yang digunakan untuk membatasi hingga sejauh mana seorang advokat seharusnya bertindak. Salah satu yang diatur dalam kode etik tersebut adalah menjaga kerahasiaan kliennya. Sekilas, hal tersebut rasanya tidak menimbulkan kepelikan tersendiri bagi advokat. Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan bahwa klien yang begitu mempercayai advokatnya, menceritakan semua kejadian yang terjadi, bahkan hingga hal paling penting yang akan menjadi poin kunci terbongkarnya suatu kasus, yang sebenarnya tidak menguntungkan posisi klien yang bersangkutan. Pilihan dilematis antara mengungkap kebenaran dan menjaga kerahasiaan klien tentu akan menghinggapi pikiran sang advokat dan berpotensi meresahkannya. Keresahan tersebut tentu akan berujung pada dua pendapat, di mana satu pendapat akan berkata, bagaimana mungkin seorang advokat tidak menceritakan kebenaran kepada hakim atau pihak lain? Tidakkah itu berarti melindungi kliennya yang bersalah? Tetapi, di sisi lain dapat pula timbul pendapat yang menyatakan, bagaimana mungkin seorang advokat menodai kepercayaan yang telah diberikan klien kepadanya? Tidakkah hal tersebut justru akan meruntuhkan sistem kemasyarakatan yang lebih besar, sehingga klien-klien lain maupun calon klien tidak akan lagi berkata jujur kepada siapapun, karena advokat saja yang notabene merupakan pembelanya malah mengutarakan rahasianya? Hal tersebut dapat terjadi karena hubungan paling mendasar antara advokat dan klien dibangun oleh hubungan saling percaya (reciprocal trust). Untuk menjawab pilihan dilematis tersebut, digunakan metode penelitian yuridis normatif yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan terkait, kode etik advokat, serta mazhab hukum alam dan positivisme hukum. Sehingga pada akhirnya didapat kesimpulan, bahwa bagaimanapun, seorang advokat tetap perlu menjaga hubungan saling percaya tersebut dengan kliennya.