Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search
Journal : Oto Rhino Laryngologica Indonesiana

Pengaruh imunoterapi spesifik terhadap adenoid pada pasien rinitis alergi Pratita, Nindya; Madiadipoera, Teti; Ratunanda, Sinta Sari; Dermawan, Arif; Boesoirie, Shinta Fitri
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 47, No 1 (2017): Volume 47, No. 1 January - June 2017
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (484.302 KB) | DOI: 10.32637/orli.v47i1.194

Abstract

Latar belakang: Rinitis alergi (RA) adalah suatu reaksi inflamasi hidung yang diperantarai oleh IgE, dengan gejala hidung tersumbat, rinore, bersin, dan rasa gatal, akibat mukosa hidung terpapar alergen.Hipertrofi adenoid (HA) dianggap sebagai salah satu komorbid dari RA, sehingga mungkin terdapathubungan antara RA dengan HA.Tujuan: Mengetahui pengaruh imunoterapi spesifik terhadap penurunanukuran adenoid pada pasien RA.Metode: Penelitian dilakukan dengan desain quasi-eksperimental,menggunakan anamnesis, nasoendoskopi, dan skin prick test (SPT). Pengukuran derajat adenoid dilakukanpada 32 sampel di Poliklinik Rinologi-Alergi Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala- Leher Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung selama Februari – Juni 2015. Penelitian ini dibagimenjadi dua kelompok yaitu kelompok pasien RA dengan HA sebagai komorbid yang mendapatkanpengobatan imunoterapi spesifik, dan kelompok yang mendapatkan terapi medikamentosa kombinasiberupa fluticasone furoate dengan cetirizine.Hasil: Pada kelompok yang diberikan imunoterapi spesifik,terjadi penurunan ukuran adenoid yang bermakna, dibandingkan dengan kelompok yang diberikan terapimedikamentosa kombinasi. Persentase penurunan untuk kelompok imunoterapi spesifik sebesar 80,4%,sedangkan pada kelompok pembanding sebesar 60,5%.Kesimpulan: Terdapat penurunan ukuran adenoidsecara signifikan pada kelompok yang mendapatkan pengobatan imunoterapi spesifik, yang lebih baikjika dibandingkan terapi medikamentosa kombinasi.Kata kunci: Rinitis alergi, hipertrofi adenoid, imunoterapi spesifik ABSTRACTBackground: Allergic rhinitis (AR) is an IgE-mediated inflammation reaction of the nosecharacterized by specific symptoms of nasal obstruction, rhinorrhea, sneezing, and nasal itching, whenthe nasal mucous membrane was exposed to allergen. Adenoid hyperthrophy (AH) is considered to beone of AR comorbid factor, and there might be a relationship between AR and AH. Purpose: To evaluatethe effect of specific immunotherapy in decreasing the size of AH in AR’s patients. Methods: This studydesign was a quasi-experimental. We used anamnesis, nasoendoscopic finding, and skin prick test.Measurement of adenoid had been conducted on 32 subjects in the Rhinology-Allergy Clinic of ORL-HNSDepartement of Dr. Hasan Sadikin General Hospital during February – June 2015. This study was dividedinto a group which was given specific immunotherapy, and a group which was given medical treatmentin the form of combination fluticasone furoate and cetirizine. Results: The group which was treated withspecific immunotherapy showed a significant decrease of the adenoid size compared to the group withcombination medication of fluticasone furoate and cetirizine. Specific immunotherapy decreased adenoidsize up to 80.4%, while in the other group was 60.5%.Conclusion: The study showed that the decreaseof adenoid size in the group treated with specific immunotherapy treatment was better than the grouptreated with combined medication treatment.Keywords: Allergic rhinitis, adenoid hyperthrophy, specific immunotherapy
Displasia Mondini sebagai faktor risiko terjadinya komplikasi meningitis berulang Arifianto, Aditya; Lasminingrum, Lina; Aroeman, Nurakbar; Boesoirie, Shinta Fitri
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 45, No 2 (2015): Volume 45, No. 2 July - December 2015
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (321.196 KB) | DOI: 10.32637/orli.v45i2.121

Abstract

Latar belakang: Displasia Mondini  adalah kasus yang jarang ditemukan namun merupakan penyebab penting terjadinya meningitis berulang pada anak dan membutuhkan indeks kecurigaan klinisyang tinggi sehingga dapat dilakukan diagnosis sedini mungkin. Displasia Mondini  adalah kelainankongenital berupa malformasi koklea yang terjadi akibat dari gangguan perkembangan embrio pada telingabagian dalam, di minggu ke tujuh. Anomali kongenital tulang temporal dapat menyebabkan  fistulisasiantara telinga tengah dan ruang subarakhnoid. Tujuan: Mempresentasikan kasus displasia Mondini dengan komplikasi meningitis berulang. Kasus: Satu kasus displasia Mondini  disertai hipertrofi adenoiddan meningitis berulang pada anak laki-laki usia enam tahun. Penatalaksanaan: Medikamentosa denganpemberian antibiotik dan adenoidektomi. Kesimpulan: Displasia Mondini  dengan faktor predisposisihipertrofi adenoid disertai meningitis berulang yang dilakukan adenoidektomi memberikan hasil yangbaik dengan tidak didapatkan kembali meningitis berulang pada pasien setelah tiga tahun. Kata kunci : displasia Mondini, hipertrofi adenoid, adenoidektomi, meningitis berulang  ABSTRACTBackground: Mondini dysplasia is a rare case but has an important role for recurrent pyogenic meningitis in children and requires a high index of clinical suspicion for early diagnosis. Mondinidysplasia is malformation of the cochlea due to impairment of the embryonic development of the innerear during the seventh week of fetal life. Congenital anomalies of temporal bone may cause fistulisation between the middle ear and subarachnoid space. Purpose: To present a case of Mondini dysplasia with recurrent meningitis complication. Case: A  case of Mondini dysplasia accompanied by hypertrophyadenoid and recurrent meningitis in a six year old boy. Management: Medical treatment with antibioticand adenoidectomy. Conclusion: Adenoidectomy for management of Mondini dysplasia with recurrentmeningitis accompanied by adenoid hypertrophy, gave a good result with no recurrent meningitis afterthree years. Key words: Mondini dysplasia, adenoid hypertrophy, adenoidectomy, recurrent meningitis
Hearing status of children under five years old in Jatinangor district Wijana Wijana; Frino Abrianto; Shinta Fitri Boesoirie; Arif Dermawan
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 50, No 1 (2020): Volume 50, No. 1 January - June 2020
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (345.464 KB) | DOI: 10.32637/orli.v50i1.348

Abstract

Background: Hearing is one of the most influential factors in children developmental process. The critical period of hearing and speech development begins in the first 6 months of life and continues until the age of 3 years. World Health Organization estimates that one to three in a thousand births have sensorineural hearing loss (SNHL). Early detection of hearing loss is substantial so that the diagnosis can be established and appropriate intervention can be done earlier. Purpose: To determine the hearing status in children under five years of age in Jatinangor. Method: A cross-sectional observational study with 240 subjects under the age of five in 12 Integrated Healthcare Center (Posyandu) in Jatinangor. Examinations included parental interviews, Behavioral Observation Audiometry (BOA), Otoacoustic Emissions (OAE), and tympanometry tests. Result: One child (0.4%) had moderate conductive hearing lossin the left ear, 1 child (0.4%) had bilateralsevere SNHL, and 7 children (2.9%) had profound bilateral SNHL. Conclusion: The incidence of hearing loss in children under five in Jatinangor was 3.8%, with bilateral profound SNHL asthe highest number, and the most common cause were prenatal Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus (CMV) dan Herpes simplex virus (TORCH) infections.Keywords: children under-five, early detection, hearing status ABSTRAKLatar belakang: Pendengaran merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam proses perkembangan anak. Periode kritis perkembangan pendengaran dan berbicara dimulai dalam 6 bulan pertama kehidupan dan terus berlanjut sampai usia 3 tahun. Badan kesehatan dunia memperkirakan satu sampai tiga dalam seribu kelahiran terdapat kejadian gangguan dengar jenis sensorineural. Deteksi dini gangguan dengar penting untuk dilakukan sehingga diagnosis dapat ditegakkan dan intervensi yang tepat dapat dilakukan sedini mungkin. Tujuan: Untuk mengetahui status pendengaran pada anak usia bawah lima tahun di kecamatan Jatinangor. Metode: Penelitian observasional potong lintang dengan subjek penelitian 240 anak usia bawah lima tahun di 12 Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Kecamatan Jatinangor. Dilakukan pemeriksaan meliputi wawancara orangtua anak, tes Behavioral Observation Audiometry (BOA), tes Otoacoustic Emissions (OAE) dan tes timpanometri. Hasil: Didapatkan 1 anak (0,4%) mengalami gangguan dengar konduktif derajat sedang pada telinga kiri, 1 anak (0,4%) mengalami gangguan dengar sensorineural derajat berat bilateral, dan 7 anak (2,9%) mengalami gangguan dengar sensorineural derajat sangat berat bilateral. Kesimpulan: Angka kejadian gangguan dengar pada balita di kecamatan Jatinangor sebesar 3,8% dengan gangguan dengar terbanyak berupa sensorineural derajat sangat berat bilateral, dan latar belakang penyebab terbanyak adalah infeksi prenatal Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes simplex virus (TORCH).
Keberhasilan jabir bebas forearm dan jabir forehead paramedian pada rekonstruksi defek wajah luas Lina Marlina; Yussy Afriani Dewi; Irra Rubianti; Shinta Fitri Boesoirie
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 46, No 1 (2016): Volume 46, No. 1 January - June 2016
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2089.099 KB) | DOI: 10.32637/orli.v46i1.151

Abstract

Latar belakang: Penutupan defek wajah yang luas dengan jabir bebas forearm dan jabir foreheadparamedian merupakan salah satu pilihan pada pasien pasca eksisi luas dan pemberian radioterapi akibatkeganasan kepala leher. Tetapi cara ini bukan merupakan pilihan yang utama, meskipun memiliki tingkatkeberhasilan yang baik, khususnya pasca radioterapi.Tujuan: Kasus ini diajukan untuk memperlihatkankeberhasilan penutupan defek wajah yang luas dengan jabir bebas forearm, jabir forehead paramedianpasca eksisi luas dan radioterapi pada kasus karsinoma sel basal.Laporan kasus: Dilaporkan seorangperempuan 68 tahun dengan karsinoma sel basal yang dilakukan tindakan eksisi luas dan radioterapi.Penatalaksanaan: Setelah 6 bulan pasca radioterapi, dilakukan penutupan defek dengan menggunakanjabir bebas forearm, dan jabir forehead paramedian yang digunakan sebagai pengganti mukosa hidung sertadilakukan anastomosis radial forearm. Bagian dahi ditutup dengan full thickness skin graft (FTSG) yangdiambil dari regio abdominal pasien.Kesimpulan: Jabir bebas forearm dan jabir forehead paramedianmerupakan salah satu alternatif untuk rekonstruksi defek luas pada daerah kepala leher sesudah radioterapi. Kata kunci: Jabir bebas forearm, jabir forehead paramedian, karsinoma sel basal, radioterapi, eksisi luas ABSTRACTBackground: Paramedian forehead flap and radial forearm free flap is one option for reformationof excessive defect caused by tumor extirpation and radiotherapy in head and neck cancer, but not themain option in head neck reconstruction. In some certain condition, it has a better success rate thanother flap techniques, especially in postradiation patients on facial region. Purpose: To present evidencebased case report in order to show the result of reconstruction in a patient with basal cell carcinomawho underwent wide excision with paramedian forehead flap, radial forearm free flap and radiotherapy.Case report: We reported one case, a 68 years old woman who had basal cell carcinoma and underwentwide excision and radiotherapy. Management: Six months later, we performed reconstructive surgeryto close the forehead defect by reverse paramedian forehead flap, and replacing the nasal mucosa withradial forearm anastomosis, on the forehead covered with a full thickness skin graft (FTSG) taken fromabdominal region of the patient. Conclusion: Radial forearm and paramedian forehead flap can beconsidered as an alternative for reconstruction of wide defect of the head pasca radiotherapy. Keywords: Radial forearm flap, and paramedian forehead flap, basal cell carcinoma, radiotherapy, wideexcision Alamat korespondensi: Lina Marlina, Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-BedahKepala Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RumahSakit Hasan Sadikin, Bandung,e-mail: hendrika.lina@gmail.com.
Hearing status of children under five years old in Jatinangor district Wijana Wijana; Frino Abrianto; Shinta Fitri Boesoirie; Arif Dermawan
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol. 50 No. 1 (2020): Volume 50, No. 1 January - June 2020
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32637/orli.v50i1.348

Abstract

Background: Hearing is one of the most influential factors in children developmental process. The critical period of hearing and speech development begins in the first 6 months of life and continues until the age of 3 years. World Health Organization estimates that one to three in a thousand births have sensorineural hearing loss (SNHL). Early detection of hearing loss is substantial so that the diagnosis can be established and appropriate intervention can be done earlier. Purpose: To determine the hearing status in children under five years of age in Jatinangor. Method: A cross-sectional observational study with 240 subjects under the age of five in 12 Integrated Healthcare Center (Posyandu) in Jatinangor. Examinations included parental interviews, Behavioral Observation Audiometry (BOA), Otoacoustic Emissions (OAE), and tympanometry tests. Result: One child (0.4%) had moderate conductive hearing lossin the left ear, 1 child (0.4%) had bilateralsevere SNHL, and 7 children (2.9%) had profound bilateral SNHL. Conclusion: The incidence of hearing loss in children under five in Jatinangor was 3.8%, with bilateral profound SNHL asthe highest number, and the most common cause were prenatal Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus (CMV) dan Herpes simplex virus (TORCH) infections.Keywords: children under-five, early detection, hearing status ABSTRAKLatar belakang: Pendengaran merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam proses perkembangan anak. Periode kritis perkembangan pendengaran dan berbicara dimulai dalam 6 bulan pertama kehidupan dan terus berlanjut sampai usia 3 tahun. Badan kesehatan dunia memperkirakan satu sampai tiga dalam seribu kelahiran terdapat kejadian gangguan dengar jenis sensorineural. Deteksi dini gangguan dengar penting untuk dilakukan sehingga diagnosis dapat ditegakkan dan intervensi yang tepat dapat dilakukan sedini mungkin. Tujuan: Untuk mengetahui status pendengaran pada anak usia bawah lima tahun di kecamatan Jatinangor. Metode: Penelitian observasional potong lintang dengan subjek penelitian 240 anak usia bawah lima tahun di 12 Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Kecamatan Jatinangor. Dilakukan pemeriksaan meliputi wawancara orangtua anak, tes Behavioral Observation Audiometry (BOA), tes Otoacoustic Emissions (OAE) dan tes timpanometri. Hasil: Didapatkan 1 anak (0,4%) mengalami gangguan dengar konduktif derajat sedang pada telinga kiri, 1 anak (0,4%) mengalami gangguan dengar sensorineural derajat berat bilateral, dan 7 anak (2,9%) mengalami gangguan dengar sensorineural derajat sangat berat bilateral. Kesimpulan: Angka kejadian gangguan dengar pada balita di kecamatan Jatinangor sebesar 3,8% dengan gangguan dengar terbanyak berupa sensorineural derajat sangat berat bilateral, dan latar belakang penyebab terbanyak adalah infeksi prenatal Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes simplex virus (TORCH).
Displasia Mondini sebagai faktor risiko terjadinya komplikasi meningitis berulang Arifianto, Aditya; Lasminingrum, Lina; Aroeman, Nurakbar; Boesoirie, Shinta Fitri
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol. 45 No. 2 (2015): Volume 45, No. 2 July - December 2015
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32637/orli.v45i2.121

Abstract

Latar belakang: Displasia Mondini  adalah kasus yang jarang ditemukan namun merupakan penyebab penting terjadinya meningitis berulang pada anak dan membutuhkan indeks kecurigaan klinisyang tinggi sehingga dapat dilakukan diagnosis sedini mungkin. Displasia Mondini  adalah kelainankongenital berupa malformasi koklea yang terjadi akibat dari gangguan perkembangan embrio pada telingabagian dalam, di minggu ke tujuh. Anomali kongenital tulang temporal dapat menyebabkan  fistulisasiantara telinga tengah dan ruang subarakhnoid. Tujuan: Mempresentasikan kasus displasia Mondini dengan komplikasi meningitis berulang. Kasus: Satu kasus displasia Mondini  disertai hipertrofi adenoiddan meningitis berulang pada anak laki-laki usia enam tahun. Penatalaksanaan: Medikamentosa denganpemberian antibiotik dan adenoidektomi. Kesimpulan: Displasia Mondini  dengan faktor predisposisihipertrofi adenoid disertai meningitis berulang yang dilakukan adenoidektomi memberikan hasil yangbaik dengan tidak didapatkan kembali meningitis berulang pada pasien setelah tiga tahun. Kata kunci : displasia Mondini, hipertrofi adenoid, adenoidektomi, meningitis berulang  ABSTRACTBackground: Mondini dysplasia is a rare case but has an important role for recurrent pyogenic meningitis in children and requires a high index of clinical suspicion for early diagnosis. Mondinidysplasia is malformation of the cochlea due to impairment of the embryonic development of the innerear during the seventh week of fetal life. Congenital anomalies of temporal bone may cause fistulisation between the middle ear and subarachnoid space. Purpose: To present a case of Mondini dysplasia with recurrent meningitis complication. Case: A  case of Mondini dysplasia accompanied by hypertrophyadenoid and recurrent meningitis in a six year old boy. Management: Medical treatment with antibioticand adenoidectomy. Conclusion: Adenoidectomy for management of Mondini dysplasia with recurrentmeningitis accompanied by adenoid hypertrophy, gave a good result with no recurrent meningitis afterthree years. Key words: Mondini dysplasia, adenoid hypertrophy, adenoidectomy, recurrent meningitis