Claim Missing Document
Check
Articles

Found 21 Documents
Search

Gejala Klinis Sindroma Waardenburg Laporan Kasus Finisia, Febri Wisudawan; Wijana, Wijana; Lasminingrum, Lina; Suseno, Bogi
Jurnal Sistem Kesehatan Vol 2, No 2 (2016): Volume 2 Nomor 2 Desember 2016
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (284.422 KB) | DOI: 10.24198/jsk.v2i2.11265

Abstract

sindroma Waardenburg adalah kelainan bawaan yang jarang ditemukan, dengan prevalensi di Amerika Serikat 1 per 42000 orang. Ditandai dengan ketulian sensorineural, berhubungan dengan kelainan pigmen dan kecacatan jaringan yang berasal dari neural crest. Berdasarkan gejala yang menyertai, sindroma Waardenburg terbagi menjadi 4 tipe, insidensi tersering adalah tipe 1 dan 2. Gejala klinis kelainan ini diantaranya adalah: dystopia canthorum, kelainan pigmen (white forelock, kelainan pada alis mata, bulu mata, rambut tubuh dan heterochromia iris), ketulian sensorineural, pangkal hidung yang menonjol dan rambut  memutih pada usia muda (<30 tahun). Tujuan: mempresentasikan 3 kasus sindroma Waardenburg di poli audiovestibuler RS Hasan Sadikin Bandung pada periode Januari 2015-Desember 2015. Kasus:  Tiga anak dengan dugaan sindroma Waardenburg tipe 2, keluhan utama belum dapat berbicara.  Pemeriksaan audiologi didapatkan ketulian sensorineural, pemeriksaan fisik didapatkan kelainan pigmen iris. Kesimpulan: sindroma Waardenburg merupakan kelainan bawaan yang jarang ditemukan, diagnosis dapat ditegakan dengan mudah. Intervensi dini dapat menghasilkan perkembangan bicara dan bahasa yang lebih baik.Kata Kunci: keterlambatan bicara, dystopia canthorum, sindroma Waardenburg tipe 2.
POTENCY OF VINEGAR THERAPY IN OTOMYCOSIS PATIENTS Sulaiman, Eman; Purwanto, Bambang; Lasminingrum, Lina; Dewi, Yussy Afriani; Mahdiani, Sally
Journal of Medicine and Health Vol 1, No 2 (2015)
Publisher : Maranatha Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Otomycosis is an outer ear canal infection caused by fungi. Clinicians are trying to find out the most effective antifungal drug for treating otomycosis. Traditionally Apple cider vinegar has been used for the treatment of various diseases, including antifungal.The high cost in otomycosis treatment effort, long duration of treatment, high recurrence rate, and the difficulty in the application of drugs in the otomycosis treatment have encouraged the researcher to do this study. Having evaluated  the improvement of clinical symptoms, otoscopy view and examination of KOH 10% in patients receiving apple cider vinegar therap, this study uses descriptive study design of four otomycosis patients in the ORL HNS outpatient clinic of Hasan Sadikin Hospital Bandung from July to August 2014. Having evaluated a clinical symptoms improvement, it is found out that there is an increase of otoscopy view and examination of KOH 10% in patients receiving apple cider vinegar. In other words, there is an Improvement of clinical symptoms, otoscopy view, and examination of KOH 10% in patients receiving apple cider vinegar therapy. Topical apple cider vinegar therapy gives a good result in the improvement of clinical symptom,otoscopy view, and examination of KOH 10% in otomycosis  patients. Keywords: otomikosis, sign and symptoms improvement, apple cider vinegar.
Nasal Endoscopy Findings in Acute and Chronic Rhinosinusitis Patients Dharmaputri, Stephanie; Lasminingrum, Lina; Sofiatin, Yulia
Althea Medical Journal Vol 4, No 3 (2017)
Publisher : Althea Medical Journal

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (604.437 KB)

Abstract

Background: According to European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2012, rhinosinusitis is diagnosed based on symptoms, nasal endoscopy, and CT scan. The CT scan is the gold standard to diagnose rhinosinusitis, but its high cost and lack of availability become the problems in Indonesia. Hence, nasal endoscopy is a choice to diagnose rhinosinusitis. This study was aimed to describe the findings of nasal endoscopyin in acute and chronic rhinosinusitis. Methods: This cross-sectional descriptive study was performed using medical record of acute and chronic rhinosinusitis patients. The samples were chosen with consecutive sampling. Inclusion criteria of this study were patients that underwent nasal endoscopy examination in Otorhinolaryngology–Head and Neck Surgery Clinic Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung in 2014.The collected data were analyzed in the form of tables.Results: Among 138 patients, the number of female patients (55.1%) was higher than male patients. Majority of the patients (37.5%) were 25–44 years old. Majority of the chief complaint was nasal obstruction (48.6%). The patients with allergic history (48.6%) were higher than patients without allergic history (19.6%). According to nasal endoscopy results, nasal discharge and edema were found in most of the patients (68.8% and 63.0%), but nasal polyp was only found in 15.9% patients. Other findings, such as hypertrophy concha or nasal septum deviation, were also found on 87.7% patients. Conclusions: Most of the rhinosinusitis patients are found with at least one of the following results of nasal endoscopy, which are nasal discharge, edema, or nasal polyp. 
Efektivitas Ekstrak Kulit Manggis Sebagai Terapi Adjuvan Terhadap Perbaikan Gejala dan Tanda Klinis serta Kualitas Hidup Pasien Rinitis Alergi Kadarullah, Oke; Lasminingrum, Lina; Sumarman, Iwin
Jurnal Berkala Ilmiah Kedokteran dan Kesehatan Vol 1, No 4 (2017): MAGNA MEDICA
Publisher : Jurnal Berkala Ilmiah Kedokteran dan Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar belakang: Rinitis alergi (RA) merupakan penyakit inflamasi di mukosa hidung yang diperantarai IgE setelah paparan alergen. Polusi dapat memperberat inflamasi alergi. Terapi RA ditujukan untuk memperbaiki gejala, mencegah perburukan, dan meningkatkan kualitas hidup. Ekstrak kulit manggis merupakan herbal yang lazim digunakan sebagai terapi adjuvan/tambahan dengan efek antiinflamasi dan antioksidan. Kapasitas antioksidannya lebih tinggi dibandingkan buah lain. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai perbaikan gejala klinis, tanda klinis, serta kualitas hidup pada RA menetap sedang berat.Metode: Penelitian ini merupakan quasi experimental randomized trial open label pre and post test design.Penelitian berlangsung di poliklinik Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung bulan September −November 2013. Kelompok kontrol mendapat terapi standar berupa tablet loratadin dan kortikosteroid intranasal, sedangkan kelompok perlakuan diberi tambahan kapsul ekstrak kulit manggis selama 14 hari. Diagnosis berdasarkan anamnesis , pemeriksaan fisik dan tes kulit tusuk. Lalu dinilai skor gejala hidung semikuantitatif Weeke, Davis dan Okuda (TNSS), skor nasoendoskopi adaptasi Lund Kennedy, serta skor gangguan kualitas hidup RQLQ dari Juniper. Data dianalisis menggunakan uji Wilcoxon dan Mann Whitney.Hasil: Dari 34 subjek terbagi dalam dua kelompok, perbaikan skor TNSS, skor nasoendoskopi, dan skor RQLQ didapatkan hasil yang signifikan (p<0,05) pada tiap kelompok pascaterapi. Namun perbandinganseluruh variabel pemeriksaan pasca terapi antara kedua kelompok tidak siginifikan (p>0,05).Simpulan: Pemberian kapsul ekstrak kulit manggis sebagai terapi adjuvan tidak efektif pada pasien RA menetap derajat sedang berat dalam meningkatkan efektivitas terapi standar.Kata kunci: ekstrak kulit manggis, klinis, terapi adjuvan, rinitis alergi.
Displasia Mondini sebagai faktor risiko terjadinya komplikasi meningitis berulang Arifianto, Aditya; Lasminingrum, Lina; Aroeman, Nurakbar; Boesoirie, Shinta Fitri
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 45, No 2 (2015): Volume 45, No. 2 July - December 2015
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (321.196 KB) | DOI: 10.32637/orli.v45i2.121

Abstract

Latar belakang: Displasia Mondini  adalah kasus yang jarang ditemukan namun merupakan penyebab penting terjadinya meningitis berulang pada anak dan membutuhkan indeks kecurigaan klinisyang tinggi sehingga dapat dilakukan diagnosis sedini mungkin. Displasia Mondini  adalah kelainankongenital berupa malformasi koklea yang terjadi akibat dari gangguan perkembangan embrio pada telingabagian dalam, di minggu ke tujuh. Anomali kongenital tulang temporal dapat menyebabkan  fistulisasiantara telinga tengah dan ruang subarakhnoid. Tujuan: Mempresentasikan kasus displasia Mondini dengan komplikasi meningitis berulang. Kasus: Satu kasus displasia Mondini  disertai hipertrofi adenoiddan meningitis berulang pada anak laki-laki usia enam tahun. Penatalaksanaan: Medikamentosa denganpemberian antibiotik dan adenoidektomi. Kesimpulan: Displasia Mondini  dengan faktor predisposisihipertrofi adenoid disertai meningitis berulang yang dilakukan adenoidektomi memberikan hasil yangbaik dengan tidak didapatkan kembali meningitis berulang pada pasien setelah tiga tahun. Kata kunci : displasia Mondini, hipertrofi adenoid, adenoidektomi, meningitis berulang  ABSTRACTBackground: Mondini dysplasia is a rare case but has an important role for recurrent pyogenic meningitis in children and requires a high index of clinical suspicion for early diagnosis. Mondinidysplasia is malformation of the cochlea due to impairment of the embryonic development of the innerear during the seventh week of fetal life. Congenital anomalies of temporal bone may cause fistulisation between the middle ear and subarachnoid space. Purpose: To present a case of Mondini dysplasia with recurrent meningitis complication. Case: A  case of Mondini dysplasia accompanied by hypertrophyadenoid and recurrent meningitis in a six year old boy. Management: Medical treatment with antibioticand adenoidectomy. Conclusion: Adenoidectomy for management of Mondini dysplasia with recurrentmeningitis accompanied by adenoid hypertrophy, gave a good result with no recurrent meningitis afterthree years. Key words: Mondini dysplasia, adenoid hypertrophy, adenoidectomy, recurrent meningitis
Ketebalan Tunika Intima dan Media Arteri Karotis Komunis pada Karsinoma Nasofaring Pra dan Pascaradioterapi Sofyan, Ferryan; Samiadi, Dindy; Soeseno, Bogi; Boesoirie, M. Thaufiq; Lasminingrum, Lina
Majalah Kedokteran Bandung Vol 44, No 3 (2012)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1600.862 KB)

Abstract

Radioterapi eksternal merupakan pengobatan utama karsinoma nasofaring. Radioterapi  eksternal menyebabkan disfungsi endotel arteri karotis komunis yang menurunkan produksi nitrogen oksida dan prostasiklin di sel endotel sehingga terjadi penebalan dinding pembuluh darah. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perubahan ketebalan intima media dan diameter lumen arteri karotis komunis akibat radioterapi eksternal  pada penderita karsinoma nasofaring. Tipe penelitian adalah  studi deskriptif dengan rancangan pre-post design. Penelitian dilakukan di Departemen Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher-Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung mulai Maret 2009–Februari 2010. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan  ultrasonografi  gray scale praradioterapi, pascaradioterapi, dan 10 minggu pascaradioterapi.  Hasil penelitian ini menggunakan uji Fischer dan T berpasangan. Terdapat 25 subjek karsinoma nasofaring dan hasil penelitian ditemukan peningkatan ketebalan intima media sebesar 0,1 mm di intima media arteri karotis komunis kanan dan 0,09 mm di intima media arteri karotis komunis kiri (p<0,001), juga ditemukan pengurangan diameter lumen arteri karotis komunis kanan sebesar 0,384 mm dan 0,342 mm di arteri karotis komunis kiri (p<0,001).  Simpulan, radioterapi eksternal menunjukkan ketebalan intima media dan pengurangan diameter lumen arteri karotis komunis pada penderita karsinoma nasofaring. [MKB. 2012;44(3):179–85].Kata kunci: Diameter lumen, karsinoma nasofaring, ketebalan intima media, radioterapi eksternal                     Intima and Media Tunica Thickness of Common Carotid Artery in Nasopharyngeal Carcinoma Pre and Post External RadiotherapyExternal radiotherapy is the main treatment for nasopharyngeal carcinoma. External radiotherapy  can cause endothelial dysfunction of common carotid artery and reduces nitrogen oxide and prostacyclin by endothelial cell and cause thickening of the vessels walls. Purpose of this study was to find out changes in intima-media thickness and lumen diameter of common carotid artery due to radiotherapy in patients with nasopharyngeal carcinoma. This research was descriptive with pre and post design and performed from March 2009 to February 2010 in the Ear Nose Throat-Head Neck Surgery Department of Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung. Gray scale ultrasound examination was performed before, after and ten weeks after radiotherapy and calculated by using Fischer’s test and paired T test.  They were 25 subjects and was found out 0.1 mm additional thickness in right intima media and 0.09 mm in left intima media common carotid artery (p<0.001), also found reduction in lumen diameter of common carotid artery in which 0.384 mm in the right and 0.342 mm in the left (p<0.001). In conclusions, external radiotherapy can cause increase intima media thickness  and reduction lumen  diameter  in common  carotid artery  in patients with nasopharyngeal carcinoma. [MKB. 2012;44(3):179–85].Key words: External beam irradiation, intima media thickness, lumen diameter, nasopharyngeal carcinoma DOI: http://dx.doi.org/10.15395/mkb.v44n3.206
Clinical Finding, Diagnosis, and Management of Tuberculous Mastoiditis in 4 Cases Sally Mahdiani; Lina Lasminingrum; Bambang Purwanto; Riri Handayani
Indian Journal of Forensic Medicine & Toxicology Vol. 15 No. 3 (2021): Indian Journal of Forensic Medicine & Toxicology
Publisher : Institute of Medico-legal Publications Pvt Ltd

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37506/ijfmt.v15i3.15944

Abstract

Background: Tuberculous mastoiditis is a rare case of chronic otitis media disease and extrapulmonary tuberculosis, caused by Mycobacterium tuberculosis. Case Presentation: Four cases of tuberculous mastoiditis were reported, ranging in age from 16 to 66 years. All patients presented with chronic discharge with signs of mastoiditis with intra and extratemporal complications. Two patients only manifested in the mastoid and two other patients had symptoms of tuberculosis in other organs, especially the lungs. All patients underwent radical mastoidectomy and histopathological examination showed tuberculosis. All patients received category 1 and category 2 antituberculosis drugs. Conclusion: The clinical features of tuberculous mastoiditis vary. Diagnosis of tuberculous mastoiditis can be done by histopathological examination and geneXpert. Surgical therapy and administration of antituberculosis are the main options in the management of tuberculous mastoiditis.
Nasal Endoscopy Findings in Acute and Chronic Rhinosinusitis Patients Stephanie Dharmaputri; Lina Lasminingrum; Yulia Sofiatin
Althea Medical Journal Vol 4, No 3 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (604.437 KB)

Abstract

Background: According to European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2012, rhinosinusitis is diagnosed based on symptoms, nasal endoscopy, and CT scan. The CT scan is the gold standard to diagnose rhinosinusitis, but its high cost and lack of availability become the problems in Indonesia. Hence, nasal endoscopy is a choice to diagnose rhinosinusitis. This study was aimed to describe the findings of nasal endoscopyin in acute and chronic rhinosinusitis. Methods: This cross-sectional descriptive study was performed using medical record of acute and chronic rhinosinusitis patients. The samples were chosen with consecutive sampling. Inclusion criteria of this study were patients that underwent nasal endoscopy examination in Otorhinolaryngology–Head and Neck Surgery Clinic Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung in 2014.The collected data were analyzed in the form of tables.Results: Among 138 patients, the number of female patients (55.1%) was higher than male patients. Majority of the patients (37.5%) were 25–44 years old. Majority of the chief complaint was nasal obstruction (48.6%). The patients with allergic history (48.6%) were higher than patients without allergic history (19.6%). According to nasal endoscopy results, nasal discharge and edema were found in most of the patients (68.8% and 63.0%), but nasal polyp was only found in 15.9% patients. Other findings, such as hypertrophy concha or nasal septum deviation, were also found on 87.7% patients. Conclusions: Most of the rhinosinusitis patients are found with at least one of the following results of nasal endoscopy, which are nasal discharge, edema, or nasal polyp. 
Laporan Kasus: Otitis Media Supurastif Kronik Tipe Kolesteatoma dengan Fistel Kutaneus Multipel dan Kelainan Kongenital Telinga Luar Unilateral Fransiskus Poluan; Arif Dermawan; Lina Lasminingrum; Bogi Soeseno
Majalah Kedokteran UKI Vol. 32 No. 2 (2016): APRIL - JUNI
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/mkvol34iss2pp60

Abstract

Abstrak Otitis media supuratif kronik (OMSK) tipe kolesteatoma sering dijumpai dan dapat menimbulkan komplikasi seperti fistel kutaneus. Kelainan kongenital telinga luar berupa mikrotia dan atresia liang telinga merupakan faktor predisposisi terbentuknya OMSK tipe tersebut. Pada tulisan ini dilaporkan kasus OMSK tipe kolesteatoma yang disertai fistel kutaneus multipel dan kelainan kongenital telinga luar. Seorang perempuan berusia 21 tahun memiliki riwayat nyeri telinga disertai otorea berulang pada telinga kanan sejak tiga tahun yang lalu. Kelainan tersebut disertai keluarnya cairan dari fistel kutaneus pada daerah preaurikular dan retroaurikular. Selain itu, pasien juga menderita kelainan kongenital telinga luar yaitu mikrotia dan atresia kanalis akustikus eksternus. Untuk tata laksana dilakukan mastoidektomi dinding runtuh dan penutupan primer fistel dan kanaloplasti. Kasus ini, OMSK tipe kolesteatoma dengan fistel kutaneus multipel disertai kelainan telinga luar, merupakan kasus yang jarang ditemukan. Kata kunci: kolesteatoma, mikrotia, mastoidektomi dinding runtuh Abstract Chronic suppurative otitis media (CSOM) with cholesteatoma often leads to complications such as cutaneous fistula. Congenital outer ear abnormality such as microtia and aural atresia is a predisposing factor of cholesteatoma formation and middle ear infection. We present a case of 21-year old woman who came with history of pain in her right ear with recurrent otorrhea since 3 years ago and discharge from preauricular and retroauricular fistulae, with microtia and aural atresia. Canal wall down mastoidectomy, primary closing of fistula and canaloplasty were successfully done. Currently, the general condition of the patient is fine. CSOM with cholesteatoma and multiple cutaneous fistula with congenital outer ear abnormality is a rare case, which can be treated with canal wall down mastoidectomy primary closing of cutaneous fistula with edge excision and canaloplasty. Keywords: cholesteatom, microtia, canal wall down mastoidectomy.
Gejala Klinis Sindroma Waardenburg Laporan Kasus Febri Wisudawan Finisia; Wijana Wijana; Lina Lasminingrum; Bogi Suseno
Jurnal Sistem Kesehatan Vol 2, No 2 (2016): Volume 2 Nomor 2 Desember 2016
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (284.422 KB) | DOI: 10.24198/jsk.v2i2.11265

Abstract

sindroma Waardenburg adalah kelainan bawaan yang jarang ditemukan, dengan prevalensi di Amerika Serikat 1 per 42000 orang. Ditandai dengan ketulian sensorineural, berhubungan dengan kelainan pigmen dan kecacatan jaringan yang berasal dari neural crest. Berdasarkan gejala yang menyertai, sindroma Waardenburg terbagi menjadi 4 tipe, insidensi tersering adalah tipe 1 dan 2. Gejala klinis kelainan ini diantaranya adalah: dystopia canthorum, kelainan pigmen (white forelock, kelainan pada alis mata, bulu mata, rambut tubuh dan heterochromia iris), ketulian sensorineural, pangkal hidung yang menonjol dan rambut  memutih pada usia muda (<30 tahun). Tujuan: mempresentasikan 3 kasus sindroma Waardenburg di poli audiovestibuler RS Hasan Sadikin Bandung pada periode Januari 2015-Desember 2015. Kasus:  Tiga anak dengan dugaan sindroma Waardenburg tipe 2, keluhan utama belum dapat berbicara.  Pemeriksaan audiologi didapatkan ketulian sensorineural, pemeriksaan fisik didapatkan kelainan pigmen iris. Kesimpulan: sindroma Waardenburg merupakan kelainan bawaan yang jarang ditemukan, diagnosis dapat ditegakan dengan mudah. Intervensi dini dapat menghasilkan perkembangan bicara dan bahasa yang lebih baik.Kata Kunci: keterlambatan bicara, dystopia canthorum, sindroma Waardenburg tipe 2.