Untuk melangsungkan suatu perkawinan harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan agama demikian juga dengan syarat-syarat tersebut ditentukan oleh hukum perkawinan. Jika pernikahan sudah dilakukan tetapi tidak bertemu persyaratan yang telah ditentukan, maka dapat diajukan pembatalan perkawinan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 22 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 70 putusnya tali perkawinan juga dapat dimungkinkan karena pernikahan atau dengan artian dalam pembatalan pernikahan, dimana pembatalan pernikahan disebabkan oleh pelanggaran atau larangan menikah, sedangkan larangan untuk menunjukan kerusakan, atau sesuatu yang di larang seperti tidak memenuhi persyaratan dan rukun pernikahan dalam keharmonisan rumah tangga. Salah satu perkara pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan adalah perkara dengan Nomor : 3728/Pdt.G/2021/PA.JS. Dalam perkara ini istri sebagai pemohon mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dikarenakan suami sebagai termohon ternyata masih berumah tangga dengan wanita lain dan Termohon mengaku duda (cerai hidup). Berdasarkan analisis hukum terhadap putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Majelis Hakim dalam memutuskan perkara Nomor : 3728/Pdt.G/2021/PA.JS. tentang pembatalan perkawinan disebabkan karena pemalsuan identitas dalam Putusan Majelis Hakim menerima permohonan pemohon. Penelitian ini bersifat yuridis normatif yaitu mengkaji proses pembuktian dan pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder. Data sekunder mempunyai ruang lingkup yang meliputi surat-surat pribadi, buku-buku, sampai pada dokumen resmi yang di keluarkan oleh pemerintah.