Penyalahgunaan kewenangan dalam penyalahgunaan kewenangan jabatan yang merugikan keuangan negara merupakan bagian dari unsur perbuatan melawan hukum yang selalu melibatkan pejabat publik. Persinggungan keterkaitan antara tindakan korupsi dengan jabatan menunjukkan adanya jabatan dalam pemerintahan memberikan peluang dan kedekatan bagi terjadinya korupsi. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori penegakan hukum, teori kewenangan dan teori keuangan negara. Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah metode hukum normatif. Penelitian ini menggunakan empat pendekatan sekaligus, yitu pendekatan perundang-undangan (statute aproach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan pendekatan analitis (analytical approach). Penulis mengumpulkan sumber-sumber hukum berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier melalui penelusuran kepustakaan yang dianalisis dengan penafsiran gramatikal dan penafsiran sistematis. Hasil penelitian menunjukan bahwa penyalahgunaan kewenangan jabatan yang merugikan keuangan negara sering kali terjadi dalam bentuk praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi maupun bagi pihak lain. Penyalahgunaan wewenang ini termasuk dalam tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang menetapkan bahwa suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai korupsi apabila mengandung unsur penyalahgunaan wewenang yang menyebabkan kerugian bagi keuangan dan perekonomian negara. Namun, meskipun memiliki posisi sentral dalam upaya pemberantasan korupsi, penerapan ketentuan ini masih menimbulkan ketidakjelasan, terutama akibat ketiadaan definisi yang rinci mengenai batasan dan tolok ukur penyalahgunaan wewenang dalam hukum pidana. Hal ini menyebabkan perbedaan interpretasi dalam membedakan antara penyalahgunaan wewenang sebagai tindak pidana dan sebagai pelanggaran administrasi negara. Selain itu, ancaman pidana dalam Pasal 3 seharusnya lebih berat dibandingkan Pasal 2, mengingat bahwa pelaku korupsi dalam Pasal 3 merupakan pejabat yang memiliki otoritas dan kewenangan, sehingga dampak yang ditimbulkan lebih besar terhadap negara.