Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Pengaturan Pelaksanaan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam Perspektif Pembentukan Undang-Undang Abdul Latif; Hery Chariansyah
UNES Law Review Vol. 6 No. 1 (2023): UNES LAW REVIEW (September 2023)
Publisher : LPPM Universitas Ekasakti Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/unesrev.v6i1.1030

Abstract

Sebelum dilakukannya amandemen terhadap UUD NRI 1945, MPR berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, akan tetapi pasca dilakukannya amandemen terhadap UUD NRI 1945 kedudukan MPR sederajat dengan lembaga negara lainnya, hal ini menimbulkan permasalahan hukum serta isu-isu hukum yang disebabkan kurang jelasnya kewenangan dan fungsi yang dimiliki oleh MPR pasca amanden UUD NRI 1945. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan dan kewenangan MPR dalam sistem hukum ketatanegaraan di Indonesia dan untuk mengetahui pengaturan mengenai pelaksanaan wewenang dan fungsi MPR. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kajian hukum normatif dengan pendekatan analisis kaidah hukum yang diatur dalam UUD NRI 1945 dan kajian sosiologi hukum dengan pendekatan hukum empiris sesuai kenyataan praktik. Hasil dari penelitian ini yakni memberi kesimpulan bahwa kedudukan MPR dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia pasca amandemen UUD NRI 1945 adalah sederajad dengan lembaga negara lainnya, dan MPR tidak memiliki lagi kewenangan untuk menetapkan dan mengubah GBHN, serta memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden karena telah diserahkan kepada rakyat melalui pelaksanaan Pemilu. Pengaturan mengenai pelaksanaan wewenang dan fungsi MPR yang berlaku saat ini yakni UU MD3, akan tetapi pemberlakuan UU MD3 tersebut dianggap tidak dapat menunjang kewenangan dan fungsi MPR dikarenakan dalam UU MD3 tidak mengatur mengenai MPR secara khusus sebagai lembaga negara, tetapi juga mengatur lembaga negara lainnya. Hal tersebut mencerminkan belum terwujudnya Pasal 2 ayat (1) UUD NRI 1945.
Pelaksanaan Hukuman Kebiri Kimia Terhadap Pelaku Kejahatan Seksual Pada Anak Sebagai Pembaharuan Hukum Perlindungan Anak Chariansyah, Hery
Begawan Abioso Vol. 14 No. 1 (2023): Begawan Abioso
Publisher : Magister Ilmu Hukum, Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37893/abioso.v14i1.479

Abstract

Hukuman kebiri kimia yang diatur dalam undang-undang tentang perlindungan anak menjadi bentuk keseriusan negara dalam melindungi anak-anak dari kejahatan seksual, akan tetapi pada pelaksanaannya banyak terjadi penolakan pada hukuman kebiri tersebut karena dianggap sebagai hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan bertentangan dengan etika kedokteran. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tentang perlindungan hukum terhadap anak dari tindak pidana kejahatan seksual pada anak dalam sistem hukum di Indonesia, dan untuk menganalisis kepastian hukum atas hukuman kebiri kimia sebagai pembaharuan hukum atas kejahatan seksual terhadap anak. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang dilakukan dengan cara penelitian terhadap kaidah hukum positif dan asas hukum yang dievaluasi terhadap kaidah-kaidah hukum (peraturan perundang-undangan) yang relevan. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa hukuman kebiri kimia yang dikenakan kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak merupakan bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah terhadap anak dalam melindungi anak-anak di Indonesia dari kejahatan seksual dan penegakan hukum atas hukuman kebiri yakni telah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi undang-undang dan digunakan sebagai dasar hukum oleh hakim dalam memberikan hukuman kebiri kimia kepada pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak.
Kedudukan dan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Ketatanegaraan Indonesia Pasca Undang-Undang Baru Wiryadi, Uyan; Gifari, Fadhila; Chariansyah, Hery
Begawan Abioso Vol. 14 No. 2 (2023): Begawan Abioso
Publisher : Magister Ilmu Hukum, Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37893/abioso.v14i2.797

Abstract

Pentingnya independensi yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertujuan untuk mempercepat kinerja lembaga KPK itu sendiri. Namun, pasca disahkannya Undang-Undang KPK, kedudukan KPK yang mulanya merupakan lembaga non pemerintah kini termasuk dalam rumpun cabang kekuasaan pemerintah dan beberapa revisi terkait kewenangannya yang saat ini diatur dalam UU KPK terbaru membuat banyak kalangan ahli mengkritik hal tersebut. Penelitian normatif, peneliti tidak melakukan pengumpulan data primer melalui observasi atau eksperimen, melainkan lebih fokus pada analisis terhadap dokumen-dokumen yang sudah ada. Dengan pendekatan ini, peneliti dapat menggali pemahaman yang mendalam mengenai isu hukum yang sedang diteliti. Ada tujuh poin utama yang menjadi penilaian mengapa dalam UU KPK terbaru justru membuat KPK menjadi lemah diantaranya: Pertama, terkait kedudukan KPK yang berada dalam rumpun eksekutif yang dalam pelaksanaan kewenangan dan tugasnya tetap independen; Kedua, mengenai pembentukan Dewan Pengawas KPK; Ketiga, terkait pelaksanaan fungsi penyadapan; Keempat, mengenai mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh KPK; Kelima, terkait koordinasi kelembagaan KPK dengan penegak hukum sesuai dengan hukum acara pidana, kepolisian, kejaksaan, dan kementerian atau lembaga lainnya dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi; Keenam, mengenai mekanisme penggeledahan dan penyitaan; Ketujuh, terkait sistem kepegawaian KPK.
Juridical Implications of Constitutional Court Decision Number 105/PUU-XXII/2024 Regarding Freedom of Expression in the Digital Space Chariansyah, Hery
SIGn Jurnal Hukum Vol 7 No 1: April - September 2025
Publisher : CV. Social Politic Genius (SIGn)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37276/sjh.v7i1.498

Abstract

Constitutional Court Decision Number 105/PUU-XXII/2024 emerges as a crucial judicial intervention amid an Indonesian digital legal landscape characterized by the widespread criminalization of freedom of expression through vaguely worded articles in Law Number 11 of 2008 and its amendments. This research aims to comprehensively analyze the juridical implications of this decision, evaluate its consistency with constitutional norms and international human rights standards, and map its implementation challenges and prospects for future legal reform. Utilizing a normative legal research method that integrates statute, case, and comparative approaches, this study deeply dissects the legal reasoning (ratio decidendi) of the Constitutional Court and its impact on the legal system. The findings indicate that this decision fundamentally transforms the crime of defamation into an absolute complaint-based offense that purely protects individual honor. It significantly strengthens legal protection for public criticism and the democratic oversight function of citizens. It was also found that the decision is fully aligned with the constitutional guarantees in the 1945 Constitution and consistent with the principles of necessity and proportionality within the ICCPR. It is concluded that although the ruling represents a monumental advancement, its implementation faces serious challenges. These challenges include a legal vacuum concerning the protection of institutional reputation and the urgent need for a cultural shift within law enforcement agencies, thereby necessitating that this decision be leveraged as momentum for a broader digital law reform agenda.
Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Secara Tidak Hormat Karena Melakukan Kejahatan Jabatan Wiyardi, Uyan; Sukardan, Ernawati; Chariansyah, Hery
Binamulia Hukum Vol. 12 No. 2 (2023): Binamulia Hukum
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37893/jbh.v12i2.705

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui upaya administratif yang dapat ditempuh oleh Pegawai Negeri Sipil yang diberhentikan secara tidak hormat serta mengetahui penegakan hukum dalam pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang melakukan Tindak Kejahatan Jabatan. Metode penelitian yuridis normatif yang menekankan pada penggunaan data sekunder. Data dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif dan dikaitkan dengan sanksi pemberhentian tidak hormat bagi PNS. Hasilnya pertama, diatur Pasal 129 ayat (1) UU ASN mendefinisikan sengketa Pegawai ASN sebagai sengketa yang diajukan oleh pegawai terhadap keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian. Upaya administratif, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2021 tentang Upaya Administratif dan Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara, merupakan penyelesaian sengketa antara Pegawai ASN dengan Pejabat Pembina Kepegawaian. Upaya ini meliputi keberatan dan banding, menyatakan ketidakpuasan atas keputusan pemberhentian atau pemutusan hubungan kerja. Kedua, Pemberhentian Miftahul Maulana sebagai PNS didasarkan pada Putusan Pidana Nomor 123/Pid.Sus/RPK/2016/PN.Jkt.Pst dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Kementerian Agama mengeluarkan Surat Keputusan Bersama yang mengimbau Pejabat Pembina Kepegawaian untuk melakukan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap PNS yang memperoleh putusan pengadilan dan berkekuatan hukum tetap.
Discretionary Policy (Freies Ermessen) of State Administrative Bodies or Officials in Government Administrative Law Latif, Abdul; Chariansyah, Hery
Journal of Social Research Vol. 3 No. 2 (2024): Journal of Social Research
Publisher : International Journal Labs

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55324/josr.v3i3.1945

Abstract

The aim is to examine and analyze how state government administrative agencies or officials carry out actions that are in accordance or not in accordance with the Ermessen freies legal conception itself which is known in scientific literature, especially state administrative law. In this case, the term "vrij inititiet" is used by Logeman in his book Eet Staaterecht van Indonesie, while Donner has the term "Vrijheid vanhet bestuur". The object of discussion in literature and practice is the application of discretionary policies or the use of Ermessen freies in order to achieve general welfare. The results of this research found that the meaning of freis Ermessen is the same or in accordance with practice through field research or cases that have occurred and to what extent the regulations that require Ermessen are in accordance with the facts implemented in practice.
Pengaturan Pelaksanaan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam Perspektif Pembentukan Undang-Undang Latif, Abdul; Chariansyah, Hery
UNES Law Review Vol. 6 No. 1 (2023)
Publisher : Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/unesrev.v6i1.1030

Abstract

Sebelum dilakukannya amandemen terhadap UUD NRI 1945, MPR berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, akan tetapi pasca dilakukannya amandemen terhadap UUD NRI 1945 kedudukan MPR sederajat dengan lembaga negara lainnya, hal ini menimbulkan permasalahan hukum serta isu-isu hukum yang disebabkan kurang jelasnya kewenangan dan fungsi yang dimiliki oleh MPR pasca amanden UUD NRI 1945. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan dan kewenangan MPR dalam sistem hukum ketatanegaraan di Indonesia dan untuk mengetahui pengaturan mengenai pelaksanaan wewenang dan fungsi MPR. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kajian hukum normatif dengan pendekatan analisis kaidah hukum yang diatur dalam UUD NRI 1945 dan kajian sosiologi hukum dengan pendekatan hukum empiris sesuai kenyataan praktik. Hasil dari penelitian ini yakni memberi kesimpulan bahwa kedudukan MPR dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia pasca amandemen UUD NRI 1945 adalah sederajad dengan lembaga negara lainnya, dan MPR tidak memiliki lagi kewenangan untuk menetapkan dan mengubah GBHN, serta memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden karena telah diserahkan kepada rakyat melalui pelaksanaan Pemilu. Pengaturan mengenai pelaksanaan wewenang dan fungsi MPR yang berlaku saat ini yakni UU MD3, akan tetapi pemberlakuan UU MD3 tersebut dianggap tidak dapat menunjang kewenangan dan fungsi MPR dikarenakan dalam UU MD3 tidak mengatur mengenai MPR secara khusus sebagai lembaga negara, tetapi juga mengatur lembaga negara lainnya. Hal tersebut mencerminkan belum terwujudnya Pasal 2 ayat (1) UUD NRI 1945.