Kejahatan didefinisikan sebagai perbuatan atau perilaku yang buruk, yang mana perbuatan atau tindakan yang dilakukan tidak sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku, namun apakah teori biologis dan teori psikologis mempunyai hubungan yang erat dalam menentukan motif seseorang melakukan kejahatan? Berdarakan hasil survei yang dilakukan penulis terhadap 65 orang menemukan bahwa 62,1% orang lebih suka menyembunyikan dan bersikap tenang ketika mereka tertekan, sedangkan 22,7% lebih suka bersikap biasa saja ketika mereka tertekan, dan 15,2% lebih suka menunjukkan wajah marah, sedih, atau lelah kepada orang lain. Ini menunjukkan bahwa tidak dapat dibuktikan bahwa seseorang yang menunjukkan sikap dan respons yang tenang saat berada dalam situasi tertekan tidak mempunyai empati terhadap keadaan sekitar. Ini karena cara setiap orang bertindak dan menanggapi masalah yang mereka hadapi berbeda-beda. Jadi, pendekatan psikologi klinis yang digunakan untuk menilai reaksi dan perasaan korban atau terdakwa selama proses hukum sudah tidak relevan untuk digunakan karena menimbulkan asumsi-asumsi yang justru menghilangkan titik terang dalam proses pembuktian, apalagi jika sudah terpaut dengan tipologi fisik dan gesture setiap individu. Oleh karena itu, Penulis merekomendasikan bahwa alat bukti ‘Petunjuk’ haruslah juga lahir dari keterangan ahli, namun Hakim juga harus berhati-hati untuk mempertimbangkan keterangan yang diberikan oleh ahli. Bahwa tidak semua keterangan ahli dapat dijadikan sebagai bahan untuk dipertimbangkan oleh Hakim.