Proses penerapan Syariat Islam di Aceh dimulai pada 15 Maret 2002, dengan pembentukan Wilayatul Hisbah (WH) sebagai bagian dari Satuan Polisi Pamong Praja untuk menegakkan Qanun, termasuk pencegahan ikhtilath percampuran antara laki-laki dan perempuan non-mahram. WH menghadapi tantangan dalam implementasinya, termasuk resistensi sosial, keterbatasan sumber daya, dan dualisme kewenangan dengan peradilan adat. Meski sudah ada peraturan tegas dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 mengenai hukuman untuk ikhtilath, permasalahan masih sering terjadi. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris untuk menganalisis implementasi kewenangan Wilayatul Hisbah dalam pencegahan ikhtilath di Kota Lhokseumawe. Penelitian ini bersifat deskriptif dan kualitatif, dengan metode deskriptif analitis untuk menggambarkan fenomena yang ada. Populasi mencakup seluruh elemen terkait. Data dikumpulkan melalui wawancara, studi pustaka, dan dokumentasi, serta dianalisis secara induktif untuk menghasilkan interpretasi. Wilayatul Hisbah (WH) di Kota Lhokseumawe melakukan pencegahan ikhtilath melalui patroli rutin, edukasi, dan penegakan hukum sesuai Qanun Jinayat Nomor 6 Tahun 2014. Meskipun berhasil mengendalikan pelanggaran seperti khamar dan zina, kasus khalwat masih dominan. Untuk meningkatkan efektivitas, WH mendirikan Dayah Balai Rehabilitasi Moral dan Akhlak (BERAKHLAK) pada 2023 dan mempertimbangkan anggaran serta kesulitan operasional dalam memilih rehabilitasi dibandingkan hukuman cambuk. WH menghadapi hambatan seperti resistensi sosial-budaya, keterbatasan sumber daya, dan dualisme kelembagaan, termasuk konflik antara qanun dan peradilan adat serta ketidakmampuan dalam penahanan. Qanun Nomor 7 Tahun 2013 memperluas kewenangan WH.