Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Teori Pendidikan Ibn Sina dan Jean Piaget: Perbandingan antara Perkembangan Kognitif dan Pertumbuhan Usia Peserta Didik Hafiz, Abdul; Romdaniah, Leli; Ahmad Nizar, Rasya; Mauliza, Syifa; Nata, Abuddin; Mu'ti, Abdul
Rayah Al-Islam Vol 7 No 3 (2023): Rayah Al Islam Desember 2023
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Arab Ar Raayah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37274/rais.v7i3.819

Abstract

Metode penelitian yang dapat digunakan untuk membandingkan konsep pendidikan Ibn Sina (Avicenna) dan Jean Piaget tentang perkembangan kognitif dan pertumbuhan peserta didik dapat mencakup pendekatan perbandingan filosofis dan psikologis. Pendekatan perbandingan filosofis akan mencari kesamaan dan perbedaan dalam pandangan Ibn Sina dan Piaget tentang konsep pendidikan. Penelitian ini akan menganalisis karya-karya keduanya yang relevan dengan pendidikan, mencari titik-titik persamaan dalam pandangan mereka mengenai bagaimana peserta didik mengembangkan pemahaman, berpikir kritis, dan mencapai tahap perkembangan kognitif yang lebih tinggi. Di sisi lain, pendekatan perbandingan psikologis akan memfokuskan pada teori-teori perkembangan kognitif yang diusulkan oleh Ibn Sina dan Piaget. Penelitian ini akan memeriksa kesesuaian teori-teori ini dengan temuan-temuan ilmiah terkini dalam psikologi perkembangan kognitif. Metode penelitian ini mungkin melibatkan analisis konten terhadap tulisan-tulisan dan karya-karya ilmiah keduanya, serta mungkin juga melibatkan studi kasus yang melibatkan peserta didik yang dipengaruhi oleh pandangan mereka. Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan pemahaman lebih mendalam tentang pandangan Ibn Sina dan Jean Piaget tentang pendidikan, serta bagaimana pandangan mereka memengaruhi perkembangan kognitif dan pertumbuhan peserta didik. Selain itu, penelitian ini juga dapat membantu dalam merancang pendekatan pendidikan yang lebih efektif dan relevan berdasarkan konsep-konsep dari kedua tokoh tersebut.
Konsep Pendidikan Hasan Langgulung (Berbasis Psikologi dan Agama) dan Konsep Pendidikan Jürgen Habermas (1929) Mazhab Frankfurt; Perbandingan tentang Tujuan, Kurikulum, PBM, Guru, Evaluasi dan Lingkungan Pendidikan Hafiz, Abdul; Romdaniah, Leli; Ahmad Nizar, Rasya; Mauliza, Syifa
Rayah Al-Islam Vol 7 No 3 (2023): Rayah Al Islam Desember 2023
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Arab Ar Raayah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37274/rais.v7i3.832

Abstract

Konsep Pendidikan Hasan Langgulung (Berbasis Psikologi dan Agama) dan Konsep Pendidikan Habermas (1929) Mazhab Frankfurt dapat dibandingkan dalam beberapa aspek, terutama dalam konteks pembebasan dari ideologi kapitalis dan penghormatan terhadap nalar spiritual serta positivisme. Meskipun Hasan Langgulung adalah tokoh pemikir Islam Indonesia yang hidup pada abad ke-20 dan memiliki sudut pandang yang berbeda dengan pemikiran Habermas yang berasal dari Mazhab Frankfurt, perbandingan ini akan mencoba untuk mengeksplorasi beberapa elemen kunci dalam kedua konsep pendidikan ini. Penelitian ini akan menganalisis konsep keduanya yang relevan dengan pendidikan, mencari titik-titik persamaan dalam pandangan mereka mengenai Perbandingan tentang Tujuan, Kurikulum, PBM, Guru, Evaluasi dan Lingkungan Pendidikan. Hasan Langgung: Tujuan pendidikan Hasan Langgung adalah untuk membentuk individu yang berakhlak mulia, religius, dan memiliki pemahaman mendalam tentang nilai-nilai agama. Pendidikan berbasis psikologi dan agama bertujuan untuk mengembangkan karakter dan moral individu serta mempersiapkan mereka untuk mencapai pemahaman spiritual yang lebih dalam. Habermas (Mazhab Frankfurt): Tujuan pendidikan dalam pemikiran Mazhab Frankfurt, termasuk Habermas, adalah menciptakan masyarakat yang lebih adil dan demokratis dengan mengembangkan kemampuan berpikir kritis, partisipasi politik, dan kesadaran akan struktur sosial. Tujuan ini bertujuan untuk mencapai pembebasan dari dominasi ideologi kapitalis. Hasan Langgulung Educational Concept (Based on Psychology and Religion) and Habermas's (1929) Frankfurt School Concept of Education can be compared in several aspects, especially in the context of liberation from capitalist ideology and respect for spiritual reason and positivism. Even though Hasan Langgulung was an Indonesian Islamic thinker who lived in the 20th century and had a different point of view from Habermas's thinking which came from the Frankfurt School, this comparison will try to explore several key elements in these two educational concepts. This research will analyze the concepts of both that are relevant to education, looking for points of similarity in their views regarding the comparison of objectives, curriculum, PBM, teachers, evaluation and educational environment. Hasan Langgung: The aim of Hasan Langgung's education is to form individuals who have noble, religious character and have a deep understanding of religious values. Psychology and religion-based education aims to develop individual character and morals and prepare them to achieve deeper spiritual understanding. Habermas (Frankfurt School): The goal of education in Frankfurt School thought, including Habermas, is to create a more just and democratic society by developing critical thinking skills, political participation, and awareness of social structures. This goal aims to achieve liberation from the domination of capitalist ideology.
Konsep Kenabian dan Ajaran Moral dalam Agama-Agama Hafiz, Abdul; Romdaniah, Leli; Ahmad Nizar, Rasya; Mauliza, Syifa
Rayah Al-Islam Vol 8 No 1 (2024): Rayah Al Islam Februari 2024
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Arab Ar Raayah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37274/rais.v8i1.912

Abstract

Kenabian merupakan konsep sentral dalam banyak agama-agama yang tersebar di seluruh dunia. Konsep ini merujuk pada wahyu ilahi yang diterima oleh individu tertentu, yang disebut sebagai nabi atau rasul, untuk menyampaikan pesan-pesan Tuhan kepada umat manusia. Artikel ini mengeksplorasi peran kenabian dalam beberapa agama utama, seperti Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, dan Buddha. Dalam Islam, kenabian diwakili oleh serangkaian nabi, dengan Nabi Muhammad SAW dianggap sebagai nabi terakhir. Mereka dianggap sebagai utusan Tuhan yang membawa petunjuk hidup, hukum moral, dan ajaran-ajaran untuk mencapai kehidupan yang benar di dunia dan akhirat. Sementara itu, dalam Kekristenan, kenabian terfokus pada Yesus Kristus sebagai Anak Allah dan penyelamat umat manusia. Alkitab Kristen, yang mencakup Perjanjian Lama dan Baru, memuat banyak catatan kenabian yang memberikan panduan spiritual. Dalam tradisi Yahudi, kenabian terkait dengan nabi-nabi seperti Musa dan Elia, yang membawa Taurat dan tulisan-tulisan nabi lainnya. Hindu memiliki konsep Avatara, di mana Dewa turun ke dunia sebagai inkarnasi untuk melindungi dharma. Dalam Buddhisme, Siddhartha Gautama, yang kemudian dikenal sebagai Buddha, dianggap sebagai "yang tercerahkan" dan membimbing orang untuk mencapai pembebasan dari siklus kelahiran dan kematian. Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan signifikan dalam pemahaman kenabian di antara agama-agama tersebut, konsep ini secara umum mencerminkan upaya Tuhan untuk berkomunikasi dengan umat manusia melalui utusan-utusan-Nya. Kenabian tidak hanya menjadi dasar ajaran moral dan spiritual, tetapi juga menginspirasi umat manusia untuk mencapai tujuan kehidupan yang bermakna dan mendalam. Artikel ini merinci peran dan signifikansi kenabian dalam kerangka kepercayaan beragam, memberikan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana agama-agama memandang hubungan antara manusia dan yang Maha Kuasa. Prophethood is a central concept in many religions spread throughout the world. This concept refers to divine revelations received by certain individuals, referred to as prophets or apostles, to convey God's messages to humanity. This article explores the role of prophecy in several major religions, such as Islam, Christianity, Judaism, Hinduism, and Buddhism. In Islam, prophethood is represented by a series of prophets, with the Prophet Muhammad SAW considered the last prophet. They are considered as messengers of God who bring life guidance, moral laws, and teachings to achieve a right life in this world and the afterlife. Meanwhile, in Christianity, prophecy focuses on Jesus Christ as the Son of God and savior of mankind. The Christian Bible, which includes the Old and New Testaments, contains many prophetic accounts that provide spiritual guidance. In Jewish tradition, prophethood is associated with prophets such as Moses and Elijah, who brought the Torah and the writings of other prophets. Hinduism has the concept of Avatara, where Gods descend to the world as incarnations to protect dharma. In Buddhism, Siddhartha Gautama, later known as the Buddha, was considered "the enlightened one" and guided people to achieve liberation from the cycle of birth and death. Although there are significant differences in the understanding of prophecy between these religions, this concept generally reflects God's efforts to communicate with humanity through His messengers. Prophethood is not only the basis of moral and spiritual teachings, but also inspires humanity to achieve meaningful and deep life goals. This article details the role and significance of prophecy within diverse belief frameworks, providing a better understanding of how religions view the relationship between humans and the Almighty.
Toleransi Beragama dalam Masyarakat Plural : Inisiatif Pendidikan, Kebijakan Publik, dan Peran Media dalam Membentuk Sikap Toleransi Hafiz, Abdul; Romdaniah, Leli; Ahmad Nizar, Rasya; Mauliza, Syifa
Rayah Al-Islam Vol 8 No 1 (2024): Rayah Al Islam Februari 2024
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Arab Ar Raayah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37274/rais.v8i1.916

Abstract

Artikel ini mengulas konsep dan praktik toleransi beragama dalam masyarakat plural. Fokus utama adalah menjelajahi bagaimana masyarakat yang beragam dalam hal keyakinan dan kepercayaan dapat mencapai koeksistensi yang harmonis melalui pemahaman, dialog, dan penghargaan terhadap perbedaan. Diskusi melibatkan studi kasus dari berbagai negara dan budaya yang sukses dalam mempromosikan toleransi beragama sebagai landasan bagi kerukunan sosial. Toleransi beragama didefinisikan sebagai sikap terbuka dan penghargaan terhadap variasi keyakinan agama tanpa mengorbankan nilai-nilai fundamental keadilan dan hak asasi manusia. Dalam masyarakat plural, pemahaman terhadap perbedaan keyakinan menjadi esensial untuk mengatasi konflik potensial. Artikel ini membahas inisiatif pendidikan, kebijakan publik, dan peran media dalam membentuk sikap toleransi sejak dini. Studi kasus melibatkan negara-negara yang sukses mengimplementasikan model toleransi beragama, seperti Indonesia dengan falsafah "Bhinneka Tunggal Ika", yang berarti "Berbeda-beda namun tetap satu". Pengalaman-pengalaman positif ini memberikan inspirasi bagi masyarakat di seluruh dunia untuk mengadopsi prinsip-prinsip toleransi dalam konteks keberagaman agama. Artikel ini menyimpulkan dengan menekankan pentingnya menerapkan pendekatan inklusif dalam mempromosikan toleransi beragama, yang melibatkan pendidikan yang mendalam, dialog antaragama, dan peran aktif masyarakat sipil. Pemahaman dan penerimaan terhadap pluralitas keyakinan dianggap sebagai kunci untuk menciptakan masyarakat yang adil, damai, dan bersatu meskipun perbedaan keyakinan agama. This article reviews the concept and practice of religious tolerance in a plural society. The main focus is exploring how societies that are diverse in terms of beliefs and beliefs can achieve harmonious coexistence through understanding, dialogue and respect for differences. The discussion involves case studies from various countries and cultures that have been successful in promoting religious tolerance as a foundation for social harmony. Religious tolerance is defined as an open attitude and respect for variations in religious beliefs without sacrificing the fundamental values ​​of justice and human rights. In a pluralistic society, understanding differences in beliefs is essential for resolving potential conflicts. This article discusses educational initiatives, public policy, and the role of the media in forming attitudes of tolerance from an early age. Case studies involve countries that have successfully implemented a model of religious tolerance, such as Indonesia with the philosophy of "Bhinneka Tunggal Ika", which means "Diverse but still one". These positive experiences provide inspiration for people around the world to adopt the principles of tolerance in the context of religious diversity. The article concludes by emphasizing the importance of implementing an inclusive approach in promoting religious tolerance, involving in-depth education, interfaith dialogue, and the active role of civil society. Understanding and acceptance of a plurality of beliefs is considered the key to creating a just, peaceful and united society despite differences in religious beliefs.
Digitalization of Institutional Communication in Islamic Education: Opportunities and Challenges in the Era of Society 5.0 Hafiz, Abdul; Burhan; Sari Dewi, Ratna; Ahmad Nizar, Rasya; Romdaniah, Leli; Mauliza, Syifa
Rayah Al-Islam Vol 9 No 2 (2025): Rayah Al Islam April 2025
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Arab Ar Raayah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37274/rais.v9i2.1421

Abstract

The digitalization of institutional communication is an important phenomenon in various sectors, including Islamic education. The era of Society 5.0, which emphasizes the integration of technology into social and economic life, presents both challenges and new opportunities in communication within Islamic educational institutions. This article discusses the opportunities and challenges of digitalizing communication in Islamic education and its implications for the development of educational quality. Through a qualitative approach and literature review, this article explores various digital innovations that can be implemented in Islamic educational institutions and their impact on communication processes among institutions, teachers, and students. Additionally, this article identifies barriers that need to be addressed to ensure that digital communication is optimally utilized within the context of Islamic education.