Kejahatan kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia merupakan masalah serius yang mendesak perhatian masyarakat. Dampak dari tindak pidana ini sangat membahayakan, sehingga diperlukan penegakan hukum yang luar biasa baik dalam substansi maupun penerapannya. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kasus kekerasan seksual yang diputus berdasarkan Putusan Nomor 989/Pid.Sus/2022/PN.Bdg jo. Putusan Nomor 86/Pid.Sus/2022/PT.Bdg dan Putusan Nomor 5645 K/Pid.Sus/2022, yang menjatuhkan terpidana dengan hukuman mati. Penerapan pidana mati dalam kasus ini berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia, baik bagi korban maupun terpidana. Oleh karena itu, rumusan masalah dalam penelitian ini berfokus pada penjatuhan pidana mati atas tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak, dengan merujuk pada Putusan Nomor 5642 K/Pid.Sus/2022, ditinjau dari perspektif hak asasi manusia. Dalam analisis ini, digunakan teori pemidanaan dan teori hak asasi manusia, yang mencakup hak hidup terpidana serta hak hubungan orang tua dan anak, khususnya bagi anak sebagai korban. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan data sekunder dari studi pustaka, mengadopsi pendekatan undang-undang, kasus, dan konsep hak asasi manusia. Kesimpulannya, penjatuhan pidana mati dalam Putusan Nomor 5642 K/Pid.Sus/2022 berpotensi melanggar hak asasi manusia, sehingga pidana seumur hidup menjadi alternatif yang lebih sesuai karena memungkinkan terpidana menjalankan kewajibannya sebagai orang tua terhadap anak dari korban kekerasan seksual.