Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

MENINJAU JEJAK DAN KONFLIK TANGGAPAN ATAS PEMBERLAKUAN PRESIDENTIAL THRESHOLD DALAM PEMILIHAN PRESIDEN DI INDONESIA Nayara Dihati; Irwan Triadi
Causa: Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan Vol. 4 No. 3 (2024): Causa: Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan
Publisher : Cahaya Ilmu Bangsa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.3783/causa.v4i3.3513

Abstract

Pemilihan presiden, atau biasa dikenal dengan Pilpres, merupakan persaingan politik yang diadakan lima tahun sekali sebagai bentuk perwujudan atas demokrasi prosedural bagi warga Indonesia dalam melaksanakan hak politik mereka. Sebagaimana yang diatur pada Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan Presiden memegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan, menunjukkan sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia yaitu sistem pemerintahan presidensial dengan sistem multipartai. Dengan membutuhkan suatu jaring atau kebijakan yang dapat menjamin stabilitas sistem presidensial dan penyederhanaan multipartai, maka munculnya ambang batas atau Presidential Threshold. Kajian dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan studi kepustakaan. Kajian akan membahas dua poin permasalahan, yakni : Pertama, bagaimanakah jejak pemberlakuan Presidential Threshold dari awal pemberlakuan yaitu Pemilu Tahun 2004 sampai dengan Pemilu Tahun 2024 dan perubahan Undang-Undang Pemilu yang menjadi dasar hukum atas kebijakan ambang batas. Kedua, Presidential Threshold yang menjadi problematika menimbulkan berbagai pendapat pro maupun kontra dari para ahli hukum, akademisi dan politisi dengan adanya Pasal 222 Undang-Undang No.7 Tahun 2017 sebagai dasar ketentuan ambang batas 20% bagi partai politik untuk mengusungkan calon presiden, sehingga telah digugat berkali-kali untuk Mahkamah Konstitusi melakukan uji materi, namun tidak ada satupun gugatan yang diterima. Maka, dengan adanya perdebatan terkait Presidential Threshold yang dinilai membatasi ruang demokrasi partai politik dalam ikut berkontestasi secara politik, sebaiknya angka dari Presidential Threshold diturunkan ambang batasnya ataupun dijadikan 0%, yang dimana dapat membentuk lingkup politik yang berkeadilan, khususnya dalam Pemilihan Umum yang menegakkan prinsip demokrasi bagi semua peserta Pemilu selama keberlangsungannya sehingga menjaga keseimbangan antara stabilitas politik dan demokrasi.
POTENSI EFEKTIVITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA ALTERNATIF SEBAGAI SOLUSI PENGURANGAN OVERCROWDING DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN INDONESIA Trianjani, Suci; Muhammad Hanif Arkan; Nayara Dihati; Alif Hakim Parulian Tambunan
Journal Social Sciences and Humanioran Review Vol. 1 No. 05 (2024): SEPTEMBER
Publisher : Zhata Institut

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.64578/jsshr.v1i05.144

Abstract

One of the general criminal sanctions in Indonesia is imprisonment, implemented in penitentiary as a place of rehabilitation for convicts facing significant challenges in the form of overcrowding phenomenon. This article aims to discuss the effectiveness of the application of alternative criminal sanctions to reduce overcrowding in Indonesian penitentiary and the types of alternative criminal sanctions that can be applied in Indonesia. The research method used is normative juridical with a conceptual approach in the form of analysis of secondary data from legal literature and legislation, as well as descriptive-prescriptive data presentation techniques. The results show that overcrowding in Indonesian penitentiary is not balanced with the provision of adequate facilities and infrastructure, causing many problems such as fights between residents and less than optimal health services. The conclusion of this study is that overcrowding in Indonesian penitentiary is caused by a punishment policy that still prioritizes imprisonment and an imbalance between human resources and the dense inflow of convicts. To overcome this problem, it is recommended to apply alternative criminal sanctions that are more humanist, where convicts are responsible for their actions but are given the opportunity to improve themselves through constructive mechanisms such as social work, fines, coaching, or rehabilitation programs.