Prioritas utama Indonesia dalam menghadapi keterbatasan ruang gerak kebijakan ekonomi makro di tengah kondisi ekonomi global yang bergejolak adalah dengan melakukan penguatan fundamental ekonomi domestik untuk menjaga daya saing. Penguatan fundamental ekonomi domestik dilakukan dalam bentuk stabilitas permintaan produk domestik, konsumsi produk privat guna meningkatkan tekanan harga global yang sangat mempengaruhi kemampuan Indonesia untuk meningkatkan daya saing dan daya tarik bagi investor. Kebijakan reformasi struktural yang komprehensif oleh Pemerintah melalui sistem cipta kerja Nasional dalam mendorong penguatan fundamental ekonomi domestik tentu melibatkan semua pihak-pihak terkait. Melalui kebijakan politik perlu disusun suatu peraturan yang bertujuan untuk menciptakan iklim kerja seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata di seluruh wilayah dalam rangka pemenuhan hak atas penghidupan yang layak sesuai dengan amanat Konstitusi. Tidak lepas juga terhadap sektor lapangan kerja melalui pengaturan hukum terkait peningkatan ekonomi investasi dan kegiatan usaha yang mana hal tersebut harus memuat paling sedikit mengenai penyederhanaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, kemudahan berusaha, riset dan inovasi, pengadaan lahan, dan kawasan ekonomi yang saat ini belum diatur secara eksplisit dalam suatu Undang-Undang. Berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, Presiden mempunyai hak prerogatif untuk mengeluarkan suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Dinamika politik hukum dalam mengatasi penguatan fundamental ekonomi domestik melahirkan suatu kebijakan pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam hal ini Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang pada saat itu pembentukannya belum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PUU), melalui pengujian materiil melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 kebijakan tersebut dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Langkah politik hukum Pemerintah selanjutnya adalah melakukan perubahan kedua UU PUU dengan memasukkan norma pembentukan Undang-Undang melalui sistem Omnibus Law. Guna mewujudkan komponen partisipasi yang bermakna Pemerintah dalam hal menunjang percepatan penerapan Norma Cipta Kerja, maka dibentuk Satuan Tugas Cipta Kerja yang bertugas untuk melakukan sosialisasi mengenai Norma Cipta Kerja. Berkaitan dengan Hak Prerogatif Presiden dalam pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat memiliki pandangan untuk mengesahkan regulasi tersebut melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang di dalam BAB IV mencangkup Ketenagakerjaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi kebijakan politik hukum Pemerintah Indonesia dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cipta kerja khusus terkait dengan Ketenagakerjaan. Metode dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil dari penelitian menunjukkan dalam UU Ciptaker diatur secara eksplisit dalam 5 (lima) bagian dan 1 paragraf, untuk itu diperlukan perhatian khusus terlebih dalam hal kewenangan lembaga terkait guna menyelesaikan permasalahan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Pekerja Alih Daya (Outsourcing), Pengupahan, Pernikahan buruh/Pekerja, Pesangon, Jaminan Sosial, dan Pekerja Migran.