Dalam konstitusi Indonesia pada Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) bahwa, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Peradilan tata usaha negara (PTUN) merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang memiliki tugas serta wewenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Dalam hal menangani kasus mengenai perbuatan melawan hukum (PMH) yang dilakukan oleh Badan dan/oleh Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) selama ini diadili pada peradilan umum secara perdata. Namun terjadi pergeseran paradigma pada kompetensi absolut PTUN sejak hadirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan yang mana pada tertuang pada Diktum E bagian Kamar Tata Usaha Negara butir 1 huruf b Surat Edaran MA RI No. 4 Tahun 2016 menyatakan bahwa PTUN berwenang mengadili perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah, yaitu perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan pemerintahan (Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan) atau onrechtmatige overheidsdaad. Lebih lanjut melalui Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2019 kembali dipertegas mengenai kewenangan PTUN dalam menangani kasus Onrechtmatige Overheidsdaad. Namun pada prakteknya masih ada beberapa perkara Onrechtmatige Overheidsdaad yang diadili pada peradilan umum yang mana membuktikan bahwa peradilan umum masih menganggap mengadili perkara Onrechtmatige Overheidsdaad masih merupakan kewenangannya.