Hermanus, Rio Rocky
Unknown Affiliation

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

PENDIDIKAN MODERASI BERAGAMA BERDASARKAN HERMENEUTIKA LUKAS 10:25-37 DALAM KONTEKS GEREJA TORAJA Rerung, Alvary Exan; Hermanus, Rio Rocky
Jurnal STT Gamaliel Vol 6, No 2 (2024): Jurnal Gamaliel Vol. 6 No. 2 September 2024
Publisher : STT Gamaliel

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38052/gamaliel.v6i2.207

Abstract

Penelitian ini berbicara tentang bagaimana Gereja Toraja dapat membangun persahabatan dengan agama lain. Gereja Toraja masih belum mewujudkan sikap bertoleransi dengan tepat. Tulisan ini menawarkan pendidikan moderasi beragama berdasarkan hermeneutika Lukas 10:25-37 dalam konteks Gereja Toraja. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuat narasi bagi Gereja Toraja yang dapat digunakan dalam membangun persahabatan dengan agama-agama lain. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan kritik naratif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada tiga poin penting yang terkandung dalam teks Lukas 10:25-37, yang semuanya mengusung konsep hidup tidak membeda-bedakan seseorang dalam masyarakat. Sikap tersebut harus direalisasikan dalam tindakan nyata dalam masyarakat. Ketiga poin ini selaras dengan narasi moderasi beragama yang juga mengusung konsep hidup toleransi dan anti kekerasan dalam masyarakat. Hasil penelitian ini akan bisa dijadikan sebagai pendidikan moderasi beragama dalam konteks Gereja Toraja. This research talks about how the Toraja Church can build friendship with other religions. The Toraja Church still has not implemented an appropriate attitude of tolerance. This article offers religious moderation education based on the hermeneutics of Luke 10:25-37 in the context of the Toraja Church. The aim of this research is to create a narrative for the Toraja Church that can be used to build friendship with other religions. This research uses a descriptive qualitative method with a narrative critical approach. The research results show that there are three important points contained in the text of Luke 10:25-37, all of which convey the concept of living without discrimination between people in society. This attitude must be realized in real action in society. These three points are in line with the narrative of religious moderation which also promotes the concept of tolerance and non-violence in society. The results of this research can be used as education for religious moderation in the context of the Toraja Church.
Tradisi Cium Hidung: Sarana Moderasi Beragama Berbasis Kearifan Lokal di Nusa Tenggara Timur Hermanus, Rio Rocky; Rerung, Alvary Exan
Jurnal Dialog Vol 47 No 2 (2024): Dialog
Publisher : Sekretariat Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BMBPSDM) Kementerian Agama RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47655/dialog.v47i2.908

Abstract

Abstrak Fundamentalisme, radikalisme, ekstremisme, dan fanatisme berlebihan dari agama mana pun yang mengakibatkan kekerasan, intoleransi, dan skeptisisme terhadap perbedaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi salah satu model penguatan moderasi beragama berdasarkan kearifan lokal, seperti tradisi mencium hidung di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini ditulis menggunakan metode kualitatif deskriptif dan pendekatan etnografi, serta mekanisme pengumpulan data menggunakan studi literatur, observasi, dan wawancara dengan masing-masing sumber untuk memperkuat analisis dalam tulisan ini. Hasil penelitian ini memberikan pemahaman tentang elemen-elemen toleransi yang terkandung dalam tradisi mencium hidung, termasuk sebagai ikatan hubungan, simbol penyelesaian masalah, introspeksi diri, dan kontrol sosial masyarakat. Sikap tersebut adalah keramahtamahan yang menghilangkan batasan sosial, seperti perbedaan agama, etnis, budaya, dan bahasa. Tradisi mencium hidung dipahami sebagai sarana untuk menciptakan keramahan dan sebagai bentuk realisasi nilai-nilai yang terkandung dalam narasi moderasi beragama. Mencium hidung juga menghadirkan simbol kekerabatan yang lengket, simbol penyelesaian masalah, simbol toleransi, dan fungsi kontrol sosial dalam masyarakat untuk menciptakan hubungan harmonis antara satu pihak dengan pihak lainnya. Akhirnya, eksplorasi narasi moderasi beragama berdasarkan tradisi mencium hidung membawa kita pada kesimpulan bahwa ada beberapa elemen komitmen nasional, anti-kekerasan, toleransi, dan sikap akomodatif terhadap budaya lokal yang tergambar dalam tradisi mencium hidung.   Abstract: Fundamentalism, radicalism, extremism, and excessive fanaticism from any religion that results in violence, intolerance, and skepticism towards differences. This research aims to explore one model of strengthening religious moderation based on local wisdom, such as the tradition of nose kissing in Kupang City, East Nusa Tenggara. This research is written using a descriptive qualitative method and an ethnographic approach, as well as data collection mechanisms using literature study, observation, and interviews with each source to strengthen the analysis in this paper. The results of this research provide an understanding of the elements of tolerance contained in the tradition of nose kissing, including: as a bond of relationships, a symbol of problem-solving, self-introspection, and social control of the community. That attitude is hospitality that eliminates social boundaries, such as differences in religion, ethnicity, culture, and language. The tradition of nose kissing is understood as a means to create hospitality and a form of realization of the values contained in the narrative of religious moderation. Kissing the nose also presents a sticky symbol of relationships, a symbol of problem-solving, a symbol of tolerance, and a function of social control within the community to create harmonious relationships between one party and another. Finally, the exploration of the narrative of religious moderation based on the tradition of nose kissing leads us to a conclusion that there are several elements of national commitment, anti-violence, tolerance, and an accommodating attitude towards local culture depicted in the tradition of nose kissing.
Internalisasi Nilai-nilai Oikumene Gerejawi dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Cabang Makassar Silvia, Erlita; Hermanus, Rio Rocky
LOKO KADA TUO: Jurnal Teologi Kontekstual dan oikumenis Vol. 2 No. 1 (2025): Maret 2025
Publisher : SEKOLAH TINGGI TEOLOGI MAMASA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.70418/60jvte14

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mendalami nilai-nilai Oikumene Gerejawi (OG) yang dipraktikan dalam kerja-kerja organisasi Gerakan Makasiswa Kristen Indonesia. Pendekatan studi komparasi memudahkan penulis untuk melihat perbandingan Dokumen Keesaan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (DKG-PGI), secara khusus tentang Oikumene Gerejawi (OG) dan implementasi program kerja GMKI Cabang Makassar. Nilai OG secara khusus derajat keterhubungan (degree of connectivity) antar seluruh warga gereja yang dibina menjadi Aktivis Oikumene Gerejawi (AOG). Pada akhirnya penelitian ini sebagai upaya mengokohkan nilai-nilai OG misalnya pembelajaran, pemuridan (discipleship), dan pendewasaan umat melalui penyiapan SDM melalui program kerja GMKI Cabang Makassar sebagai upaya menghadirkan kader yang berintegritas dalam segala kepelbagaian.
TARI-TARIAN LITURGI BULAN BUDAYA SEBAGAI TARIAN PENERIMAAN TERHADAP “YANG LAIN” DI GMIT Hermanus, Rio Rocky
Melo: Jurnal Studi Agama-agama Vol. 5 No. 1 (2025): Juni 2025
Publisher : Institut Agama Kristen Negeri Toraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34307/mjsaa.v5i1.174

Abstract

Abstract: The context of the Evangelical Christian Church in Timor which has a diversity of tribes and cultures is an opportunity for theological efforts that are appropriate to the context. On the other hand, the theological efforts in question are theologizing to accept "the others" in the diversity of local cultures. This writing uses a qualitative-descriptive method with an ethnographic approach for the way to - through, following (meta) and the path, way, direction (hodos) approaching a topic of study on the Liturgy of the Cultural Month (LBB). The results of this study are a form of acceptance of others for GMIT through dances in LBB. GMIT accepts others from the perspective of Christian faith to create a life of mutual acceptance in a diverse context in GMIT. Abstrak: Konteks Gereja Masehi Injili Di Timor yang memiliki keberagaman suku dan budaya adalah sebuah peluang bagi upaya berteologi yang sesuai dengan konteks. Di sisi lain, upaya berteologi yang dimaksud adalah berteologi untuk menerima “yang lain” dalam kepelbagaian budaya lokal. Penulisan ini menggunakan metode kualitatif-deskriptif dengan pendekatan etnografi untuk cara menuju–melalui, mengikuti (meta) dan jalan, cara, arah (hodos) mendekati sebuah pokok kajian tentang Liturgi Bulan Budaya (LBB). Hasil dari penelitian ini adalah bentuk dari penerimaan terhadap yang lain bagi GMIT melalui tari-tarian dalam LBB. GMIT menerima yang lain dari perspektif iman Kristen untuk menciptakan kehidupan yang saling menerima dalam konteks yang beragam di GMIT.
Model Penerimaan Paul F. Knitter dalam Misi Kristen untuk Keberagaman Agama Hermanus, Rio Rocky; Silvia, Erlita; Parassa, Geovanius Wilson
Te Deum (Jurnal Teologi dan Pengembangan Pelayanan) Vol 14 No 2 (2025): Januari-Juni 2025
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi SAPPI Ciranjang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51828/td.v14i2.365

Abstract

Pluralism becomes a discourse in religious life, it cannot be denied that it then becomes a space for dialogue between different religions. In dialogue, it should reach the point of accepting differences because at any time there will be no common ground if the debate is about the teaching principles of a religion. The qualitative-descriptive method strengthens this article to see how Christian mission needs to be constructed properly to contribute to Christian religion positioning itself for dialogue with different religions. Starting from this basis, it is necessary to complete it by creating a basis for thinking as well as a basis for dialogue. One effective way is to use the approach offered by Paul Knitter regarding the Acceptance Model. So the result of this article is to create a space for harmonious dialogue that is able to penetrate the boundaries of space that claims mutual truth.