Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

Tradisi Pangngan Sebagai Sarana Moderasi Beragama Berbasis Kearifan Lokal di Toraja Rerung, Alvary Exan
Jurnal Dialog Vol 46 No 2 (2023): Dialog
Publisher : Sekretariat Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BMBPSDM) Kementerian Agama RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47655/dialog.v46i2.870

Abstract

Abstrak Penelitian ini berbicara tentang penguatan moderasi beragama berbasis kearifan lokal sebagai respon kampanye Kementerian Agama Republik Indonesia tentang moderasi beragama yang telah berlangsung sejak 2019. Moderasi beragama bertujuan untuk mencegah sikap, pemahaman, dan tindakan yang eksterm dari setiap agama, seperti intoleransi, kekerasan, ujaran kebencian hingga terorisme. Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dan pendekatan etnografi, dengan mekanisme pengumpulan data menggunakan studi pustaka, observasi, dan wawancara mendalam. Data yang dikumpulkan akan dianalisis dengan cara reduksi data, penyajian serta penulisan kesimpulan, dan verifikasi. Hasil kajian etnografi tersebut menghasilkan unsur toleransi yang terkandung di dalam tradisi pangngan, antara lain: Pertama, tradisi pangngan mengedepankan sikap toleransi. Sikap tersebut merupakan sebuah hospitalitas yang menghilangkan sekat-sekat sosial, seperti perbedaan agama dan golongan yang ada. Kedua, tradisi pangngan menghilangkan rasa curiga terhadap yang diberi atau menerima pangngan walaupun berbeda agama atau golongan. Hilangnya rasa curiga yang terbentuk pada relasi tradisi pangngan menjadikan hubungan antara satu dengan yang lain menjadi harmonis. Kedua unsur teologis inilah yang kemudian menjadikan tradisi pangngan sebagai salah satu sarana moderasi beragama berbasis kearifan lokal di Toraja. Abstract This research sheds light on strengthening religious moderation based on local wisdom in response to the Ministry of Religious affairs of the Republic of Indonesia’s campaign on religious moderation since 2019. Religious moderation is aimed to prevent extreme attitudes, mislead understandings of religious teachings, such as intolerance, violence, hate speech, and terrorism. This is a descriptive qualitative research based on ethnographic approach. Data were collected through literature review, observation, and in-depth interviews. These were analyzed through data reduction, categorization, conclusions, and verification. This study found that pangngan tradition shows attitude of tolerance. This attitude was shown in a form of hospitality that removed social barriers, such as religious and social-class differences. In addition, the tradition enabled to minimize suspicion. Suspicion was dismissed through food sharing. These two elements of pangngan tradition has been evidence of religious moderation based on local wisdom in Toraja.
Sikap Gereja Terhadap Partisipasi Politik dan Relevansinya Bagi Gereja Toraja Mamasa Jemaat Sapankale Rerung, Alvary Exan; Attu, Juliati
KINAA: Jurnal Kepemimpinan Kristen dan Pemberdayaan Jemaat Vol. 4 No. 1 (2023): Juni 2023
Publisher : IAKN TORAJA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34307/kinaa.v4i1.48

Abstract

Abstract: This research talks about the high number of unhealthy politics when holding democratic parties in Indonesia. Money politics to the practice of bringing each other down, is still often carried out when democratic parties take place. As a result of this unhealthy politics, it eventually led to disharmony problems that led to divisions in society. This reality occurs in the Toraja Mamasa Church of the Sapankale Congregation. Based on the data obtained through preliminary observations and interviews, the fact that political practices are unhealthy occurs because the church seems passive and does not take action. This is because the church also does not know how to act towards the ongoing political participation. This paper aims to provide an understanding of the Church's attitude towards political participation which is good and right, so that the church can actively express its prophetic voice by participating in politics. Departing from that problem, using qualitative methods, interviews, and literature, the results of this study provide an understanding that politics has good goals and becomes bad if it is no longer oriented to the interests of society. That is why the Church must present itself as a good example in its participation in political dynamics. This will help church members participate in political activities, so as not to cause problems of disharmony and division. Keywords: Church, politics, Sapankale Congregation, disunity      This work is licensed under a Creative Commons Attribution- -ShareAlike 4.0 International (CC BY-SA 4.0) Abstrak: Penelitian ini berbicara tentang tingginya angka politik tidak sehat ketika mengadakan pesta demokrasi di Indonesia. Politik uang hingga praktik saling menjatuhkan, masih sering dilakukan ketika pesta demokrasi berlangsung. Akibat dari politik tidak sehat tersebut, akhirnya menimbulkan masalah disharmoni hingga terjadi perpecahan dalam masyarakat. Realitas ini terjadi di Gereja Toraja Mamasa Jemaat Sapankale. Berdasarkan data yang didapatkan melalui hasil observasi awal dan wawancara, fakta bahwa praktik berpolitik tidak sehat terjadi karena gereja terkesan pasif dan tidak melakukan tindakan. Hal itu dikarenakan gereja juga tidak tahu bagaimana seharusnya bersikap terhadap partisipasi politik yang berlangsung. Tulisan ini bertujuan memberikan pemahaman tentang sikap Gereja terhadap partisipasi politik yang baik dan benar, agar gereja bisa secara aktif menyatakan suara kenabiannya dengan ikut berpartisipasi dalam bidang politik. Berangkat dari masalah itu, dengan menggunakan metode kualitatif, wawancara, dan studi pustaka, hasil penelitian ini memberikan pemahaman bahwa politik itu memiliki tujuan yang baik dan menjadi tidak baik jika tidak lagi berorientasi pada kepentingan masyarakat. Itulah sebabnya, Gereja harus memunculkan dirinya sebagai contoh yang baik dalam partisipasinya terhadap dinamika politik. Hal ini akan membantu warga gereja dalam berpartisipasi terhadap kegiatan berpolitik, agar tidak menimbulkan masalah disharmoni hingga perpecahan.   Kata Kunci: Gereja, Politik, Jemaat Sapankale, Perpecahan
PENDIDIKAN MODERASI BERAGAMA BERDASARKAN HERMENEUTIKA LUKAS 10:25-37 DALAM KONTEKS GEREJA TORAJA Rerung, Alvary Exan; Hermanus, Rio Rocky
Jurnal STT Gamaliel Vol 6, No 2 (2024): Jurnal Gamaliel Vol. 6 No. 2 September 2024
Publisher : STT Gamaliel

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38052/gamaliel.v6i2.207

Abstract

Penelitian ini berbicara tentang bagaimana Gereja Toraja dapat membangun persahabatan dengan agama lain. Gereja Toraja masih belum mewujudkan sikap bertoleransi dengan tepat. Tulisan ini menawarkan pendidikan moderasi beragama berdasarkan hermeneutika Lukas 10:25-37 dalam konteks Gereja Toraja. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuat narasi bagi Gereja Toraja yang dapat digunakan dalam membangun persahabatan dengan agama-agama lain. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan kritik naratif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada tiga poin penting yang terkandung dalam teks Lukas 10:25-37, yang semuanya mengusung konsep hidup tidak membeda-bedakan seseorang dalam masyarakat. Sikap tersebut harus direalisasikan dalam tindakan nyata dalam masyarakat. Ketiga poin ini selaras dengan narasi moderasi beragama yang juga mengusung konsep hidup toleransi dan anti kekerasan dalam masyarakat. Hasil penelitian ini akan bisa dijadikan sebagai pendidikan moderasi beragama dalam konteks Gereja Toraja. This research talks about how the Toraja Church can build friendship with other religions. The Toraja Church still has not implemented an appropriate attitude of tolerance. This article offers religious moderation education based on the hermeneutics of Luke 10:25-37 in the context of the Toraja Church. The aim of this research is to create a narrative for the Toraja Church that can be used to build friendship with other religions. This research uses a descriptive qualitative method with a narrative critical approach. The research results show that there are three important points contained in the text of Luke 10:25-37, all of which convey the concept of living without discrimination between people in society. This attitude must be realized in real action in society. These three points are in line with the narrative of religious moderation which also promotes the concept of tolerance and non-violence in society. The results of this research can be used as education for religious moderation in the context of the Toraja Church.
Yesus Mengutus Para Murid ke Seluruh Dunia dan Maknanya dalam Konteks Masyarakat Gereja Masa Kini Rerung, Alvary Exan
Teokristi: Jurnal Teologi Kontekstual dan Pelayanan Kristiani Vol 2 No 1 (2022): Mei 2022
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38189/jtk.v2i1.232

Abstract

Abstract In Christianity, different understandings of a narrative in the Bible are common. This certainly happens because there are many ways used to find a correct understanding of a narrative in the Bible. That’s why so much is different. But the difference is not a good reason to say that they are wrong and our understanding is the most correct. One example is about the commission that Jesus did in the gospels. Many churches explicitly say that the message that Jesus conveyed to the disciples was a command to Christianize all people. There are also those who say that the message is a command to evangelize. However, this article is a litle different. This paper provides an understanding that when the message of Jesus is understood contextually using qualitative methods and literature studies, then we will get a meaning that is more concerned with human values.AbtrakDalam kekristenan, berbeda pemahaman tentang sebuah narasi di dalam Alkitab adalah sesuatu yang biasa. Hal tersebut tentu terjadi karena ada banyak cara digunakan untuk mencari sebuah pemahaman yang benar pada sebuah narasi di dalam Alkitab. Itulah sebabnya banyak yang berbeda-beda. Tapi perbedaan itu bukan sebuah alasan tepat untuk menyatakan bahwa mereka salah dan pemahaman kitalah yang paling benar. Salah satu contohnya tentang pengutusan yang dilakukan oleh Yesus dalam kitab injil. Banyak gereja secara tegas mengatakan bahwa pesan yang disampaikan oleh Yesus kepada para murid tersebut merupakan perintah untuk mengkristenkan semua orang. Ada juga yang mengatakan bahwa pesan tersebut adalah perintah untuk menginjili. Namun, tulisan ini sedikit berbeda. Tulisan ini memberikan pemahaman bahwa ketika pesan Yesus tersebut dipahami secara kontekstual dengan menggunakan metode kualitatif dan studi pustaka, maka kita akan memperoleh makna yang lebih memandang nilai-nilai kemanusiaan.
Tradisi Cium Hidung: Sarana Moderasi Beragama Berbasis Kearifan Lokal di Nusa Tenggara Timur Hermanus, Rio Rocky; Rerung, Alvary Exan
Jurnal Dialog Vol 47 No 2 (2024): Dialog
Publisher : Sekretariat Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BMBPSDM) Kementerian Agama RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47655/dialog.v47i2.908

Abstract

Abstrak Fundamentalisme, radikalisme, ekstremisme, dan fanatisme berlebihan dari agama mana pun yang mengakibatkan kekerasan, intoleransi, dan skeptisisme terhadap perbedaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi salah satu model penguatan moderasi beragama berdasarkan kearifan lokal, seperti tradisi mencium hidung di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini ditulis menggunakan metode kualitatif deskriptif dan pendekatan etnografi, serta mekanisme pengumpulan data menggunakan studi literatur, observasi, dan wawancara dengan masing-masing sumber untuk memperkuat analisis dalam tulisan ini. Hasil penelitian ini memberikan pemahaman tentang elemen-elemen toleransi yang terkandung dalam tradisi mencium hidung, termasuk sebagai ikatan hubungan, simbol penyelesaian masalah, introspeksi diri, dan kontrol sosial masyarakat. Sikap tersebut adalah keramahtamahan yang menghilangkan batasan sosial, seperti perbedaan agama, etnis, budaya, dan bahasa. Tradisi mencium hidung dipahami sebagai sarana untuk menciptakan keramahan dan sebagai bentuk realisasi nilai-nilai yang terkandung dalam narasi moderasi beragama. Mencium hidung juga menghadirkan simbol kekerabatan yang lengket, simbol penyelesaian masalah, simbol toleransi, dan fungsi kontrol sosial dalam masyarakat untuk menciptakan hubungan harmonis antara satu pihak dengan pihak lainnya. Akhirnya, eksplorasi narasi moderasi beragama berdasarkan tradisi mencium hidung membawa kita pada kesimpulan bahwa ada beberapa elemen komitmen nasional, anti-kekerasan, toleransi, dan sikap akomodatif terhadap budaya lokal yang tergambar dalam tradisi mencium hidung.   Abstract: Fundamentalism, radicalism, extremism, and excessive fanaticism from any religion that results in violence, intolerance, and skepticism towards differences. This research aims to explore one model of strengthening religious moderation based on local wisdom, such as the tradition of nose kissing in Kupang City, East Nusa Tenggara. This research is written using a descriptive qualitative method and an ethnographic approach, as well as data collection mechanisms using literature study, observation, and interviews with each source to strengthen the analysis in this paper. The results of this research provide an understanding of the elements of tolerance contained in the tradition of nose kissing, including: as a bond of relationships, a symbol of problem-solving, self-introspection, and social control of the community. That attitude is hospitality that eliminates social boundaries, such as differences in religion, ethnicity, culture, and language. The tradition of nose kissing is understood as a means to create hospitality and a form of realization of the values contained in the narrative of religious moderation. Kissing the nose also presents a sticky symbol of relationships, a symbol of problem-solving, a symbol of tolerance, and a function of social control within the community to create harmonious relationships between one party and another. Finally, the exploration of the narrative of religious moderation based on the tradition of nose kissing leads us to a conclusion that there are several elements of national commitment, anti-violence, tolerance, and an accommodating attitude towards local culture depicted in the tradition of nose kissing.
TRAUMATIC MEMORY OF DI/TII CONFLICT VICTIMS IN 1951-1966 AS MYSTICAL EXPERIENCE IN LEMBANG KADUAJA, TANA TORAJA, SOUTH SULAWESI Rerung, Alvary Exan; Susanta, Yohanes Krismantyo
Penamas Vol 37 No 2 (2024): Volume 37, Issue 2, July-December 2024
Publisher : Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31330/penamas.v37i2.833

Abstract

The DI/TII rebellion in Lembang Kaduaja, Tana Toraja, commanded by Kahar Muzakkar, was highly detrimental to the local population. The rebellion caused them to endure suffering until it became a traumatic memory for the community. We employed a qualitative approach to interpret the traumatic memory they interpreted as a spiritual experience. Therefore, phenomenological investigation is employed. The trauma memory will be examined from the perspective of Simone Weil and Dorothee Solle’s esoteric theology. The ideas of these two mystics will be compared and contrasted in order to demonstrate that the experience of suffering can also be interpreted as a form of intimacy and hospitality with God and others. Based on the dialogue, we conclude that the trauma memory experienced by the residents of Lembang Kaduaja is a supernatural event. The trauma memory encountered by the community teaches them the significance of living in peace. Tosangrapu and Siangkaran represent two dimensions of the Kaduaja community’s response to their mystic experience.
Menelusuri Konsep Pemikiran John Calvin Tentang Manusia dan Relevansinya Terhadap Transformasi Sosial Rerung, Alvary Exan; Yohanis, Santi
DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani Vol 9, No 2 (2025): April 2025
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Intheos Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30648/dun.v9i2.1593

Abstract

Abstract. This article is a study of John Calvin's concept of thought about humans. By drawing on and analyzing John Calvin's thoughts, the author believes that the background of John Calvin's life needs to be explained comprehensively in order to understand his theology about humans. The background of the life in question includes: the background of Calvin's life, the influence of philosophical schools on the formation of Calvin's theology and the controversy over his life which makes many people wonder. By using literature study approach, the author examines it analytically and methodically and obtains three points that can be of actual relevance to social transformation efforts in Indonesia. First, the social human that Calvin meant was a human who always prioritizes an attitude of hospitality. Second, social humans are humans who abandon the tendency to prioritize individualistic attitudes. Third, social people are people who continue to fight for Indonesia as a "city of God," an area where people will feel peace because they accept justice and the virtues of life.Abstrak. Artikel ini adalah sebuah studi terhadap konsep pemikiran John Calvin tentang manusia. Dengan menimba dan menganalisis pemikiran John Calvin, penulis berpendapat bahwa latar belakang kehidupan John Calvin perlu dijelaskan secara komprehensif agar bisa memahami teologinya tentang manusia. Latar belakang kehidupan yang dimaksud, antara lain: latar belakang kehidupan Calvin, pengaruh aliran filsafat terhadap pembentukan teologi Calvin dan kontroversi hidupnya yang membuat orang banyak bertanya-tanya. Dengan menggunakan kajian kepustakaan, penulis mengkajinya secara analisis dan metodik, dan mendapatkan tiga poin yang bisa direlevansikan secara aktual pada upaya transformasi sosial di Indonesia. Pertama, manusia sosial yang dimaksudkan Calvin adalah manusia yang selalu mengedepankan sikap hospitalitas. Kedua, manusia sosial adalah manusia yang meninggalkan kecenderungan untuk mengedepankan sikap individualistik. Ketiga, manusia sosial adalah manusia yang terus memperjuangkan Indonesia sebagai “kota Allah,” daerah di mana masyarakat akan merasakan damai sejahtera karena menerima keadilan dan kebajikan hidup.
GEREJA YANG RAMAH UNTUK KESEHATAN MENTAL: MEMBACA 1 RAJA-RAJA 19:1-8 DENGAN LENSA NEUROSAINS DAN PSIKOANALISIS SIGMUND FREUD Rerung, Alvary Exan
Masokan Ilmu Sosial dan Pendidikan Vol. 5 No. 1 (2025): June 2025
Publisher : Institut Agama Kristen Negeri Toraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34307/misp.v5i1.139

Abstract

This paper discusses the phenomenon of mental health problems in Indonesia, which continue to increase in number. This reality must certainly make Christianity try to help the government to minimize the increase in this problem. The church must not become one of the perpetrators of the increase in mental health problems because it does not know what to do. That is why, by using a descriptive qualitative method, this paper offers the concept of a church that is friendly to mental health. This effort will be built based on reading the text of 1 Kings 19:1-8 through the lens of neuroscience and Sigmund Freud's psychoanalysis. The results of this study indicate three important things that the church must implement to become a church that is friendly to mental health, namely: first, eliminating the negative stigma on those who experience mental health problems as not having strong faith in God; second, focusing on the phase of mental health disorders experienced by a person so that the church can help in efforts to cancel the intention to commit suicide; and third, it must be able to be a comfortable community so that someone feels owned and has. Tulisan ini membahas tentang fenomena masalah gangguan kesehatan mental di Indonesia yang jumlahnya terus bertambah. Realitas ini tentu harus membuat kekristenan berupaya membantu pemerintah guna meminimalisir bertambahnya masalah ini. Jangan sampai gereja malah menjadi salah satu pelaku bertambahnya masalah gangguan kesehatan mental akibat tidak tahu apa yang harus dilakukan. Itulah sebabnya, dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif, tulisan ini menawarkan konsep gereja yang ramah untuk kesehatan mental. Upaya ini akan dibangun berdasarkan pembacaan terhadap teks 1 Raja-raja 19:1-8 dengan lensa Neurosains dan Psikoanalisis Sigmund Freud. Hasil penelitian ini menunjukkan tiga hal penting yang harus diterapkan gereja guna menjadi gereja yang ramah untuk kesehatan mental, yaitu: Pertama, menghilangkan stigma negatif pada mereka yang mengalami masalah kesehatan mental sebagai tidak memiliki iman yang kuat kepada Tuhan; Kedua, fokus terhadap fase gangguan kesehatan mental yang dialami seseorang agar gereja bisa membantu dalam usaha membatalkan niat untuk melakukan tindakan bunuh diri; dan Ketiga, harus bisa menjadi komunitas yang nyaman agar seseorang merasa dimiliki dan memiliki.
Peran Orang Tua Dalam Menciptakan Kepercayaan Diri Anak Usia 18 Tahun Menggunakan Teori Psikososial Erik Erikson Rerung, Alvary Exan
Harati: Jurnal Pendidikan Kristen Vol 3 No 1 (2023): HaratiJPK: April
Publisher : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Kristen IAKN Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54170/harati.v3i1.123

Abstract

The purpose of this study was to show the reality of low self-esteem among 18 year olds in Indonesia. This is certainly a dilemma, because self-confidence plays a very important role in interactions that will be carried out in a social environment. Not only that, losing self-confidence can trigger children to experience mental disorders and social anxiety, and can end in cases of suicide. Several aspects show that most children lose confidence in themselves because they receive inappropriate parenting from their parents. Seeing the reality of the problem, this paper uses descriptive qualitative methods, central studies and interviews to provide an understanding of how to apply proper parenting through Erik Erikson's Psychosocial theory. Erikson's theory will show how to treat (raise) children aged 0-1 years, 2-3 years, 3-5 years, 6-13 years, and 14-18 years. This will greatly assist parents in carrying out their role when raising their children. The findings of this study will help parents find out what things need to be done and avoided when raising children at a certain age. Tujuan penelitian ini adalah untuk menunjukkan realitas rendahnya tingkat kepercayaan diri pada anak usia 18 tahun di Indoensia. Hal ini tentu menjadi dilema, sebab kepercayaan diri sangat berperan dalam interaksi yang akan dilakukan di lingkungan sosial. Tidak hanya itu, kehilangan rasa percaya diri dapat memicu anak mengalami gangguang mental dan kecemasan sosial, dan bisa berakhir pada kasus tindakan bunuh diri. Beberapa aspek menunjukkan bahwa sebagian besar anak kehilangan rasa percaya pada dirinya sendiri dikarenakan menerima pola asuh yang kurang tepat dari orang tuanya. Melihat realitas masalah tersebut, tulisan ini menggunakan metode kualitatif deskriptif, studi pusata dan wawancara hendak memberikan pemahaman tentang bagaimana seharusnya menerapkan pola asuh yang benar melalui teori Psikososial Erik Erikson. Teori dari Erikson ini akan memperlihatkan bagaimana seharusnya memperlakukan (mengasuh) anak ketika berusia 0-1 tahun, 2-3 tahun, 3-5 tahun, 6-13 tahun, dan 14-18 tahun. Hal ini akan sangat membantu orang tua dalam melakukan perannya ketika mengasuh anak mereka. Temuan penelitian ini akan membantu para orang tua dalam mengetahui hal-hal apa saja yang perlu dilakukan dan dihindari ketika mengasuh anak pada usia tertentu.
Nilai Hospitalitas Budaya Raputallang Sebagai Upaya Gereja Dalam Moderasi Beragama Pada Relasi Islam-Kristen di Toraja Rerung, Alvary Exan
Skenoo : Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen Vol. 2 No. 2 (2022): Desember
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Tabernakel Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (180.232 KB) | DOI: 10.55649/skenoo.v2i2.34

Abstract

Tulisan ini fokus berbicara tentang memelihara kerukunan dan mencegah kekerasan dalam relasi antara agama Islam dan Kristen di Toraja. Toraja belum pernah mencatat terjadinya konflik antaragama dan menyebabkan tindakan kekerasan di daerahnya. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa dengan adanya suasana politik, ekonomi, dan keadaan sosial juga bisa memantik terjadinya konflik di Toraja kapan saja. Itulah sebabnya, daerah Toraja, secara khusus Gereja harus aktif berfungsi dalam melihat potensi masalah tersebut. Dengan menggunakan metode kualitatif dan pendekatan studi pustaka, tulisan ini menawarkan sikap hospitalitas Kristen yang diambil dari budaya raputallang. Raputallang memberikan setidaknya empat hal penting yang berkenaan dengan sikap hospitalitas Kristen, antara lain, sebagai simbol penyelesaian masalah, intropeksi diri, penguat relasi, dan simbol kontrol sosial. Keempat ini mengandung sikap keramahtamahan seperti saling menolong, mengingatkan, keterbukaan, lemah-lembut, saling menerima dan tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini tentu bisa menjadi tameng dalam menjaga kerukunan dan menghindari kekerasan beragama di Toraja.