Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XXII/2024 yang menambahkan syarat baru bagi jabatan Jaksa Agung itu telah memberikan penguatan terhadap independensi bagi Kejaksaan. Kejaksaan Republik Indonesia merupakan bagian dari sistem peradilan pidana yang wewenang utamanya adalah melakukan penuntutan terhadap perkara pidana dan pelaksana putusan pidana. Wewenang yang sangat penting tersebut pada akhirnya mengharuskan institusi Kejaksaan untuk bebas dari intervensi pihak manapun agar dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan dapat melakukan penegakan hukum yang seadil-adilnya. Hal ini disebabkan karena penegakan hukum yang adil merupakan harapan dari warga masyarakat yang seyogyanya dilakukan. Dengan kata lain, institusi Kejaksaan harus memiliki independensi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Namun mengingat pemimpin tertinggi dan penanggung jawab dari institusi Kejaksaan adalah Jaksa Agung, sedangkan Jaksa Agung itu sendiri tunduk pada Presiden karena merupakan bagian dari Lembaga Pemerintahan, maka proses penegakan hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan berpotensi di intervensi. Oleh sebab itu, untuk mencegah adanya potensi intervensi dari pihak lain, maka harus ada suatu aturan yang jelas mengenai kriteria ataupun syarat bagi jabatan Jaksa Agung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum (legal research) atau yang biasa disebut penelitian doktrinal (doctrinal research) dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan historis (historical approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa putusan tersebut telah memberikan penguatan independensi bagi Kejaksaan karena telah menutup celah bagi pengurus Partai Politik (Parpol) untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung kecuali telah berhenti sebagai pengurus Parpol sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebelum diangkat menjadi Jaksa Agung.